Orang-orang berseru. Tak laki, tak perempuan, mereka berteriak lantang sembari mengepalkan tangan. Segerombol orang tampak menyerang sebuah bangunan. Bahkan ada pula oknum yang berasal dari aparat desa hingga yang mengenakan seragam pemerintahan. Jam dinding terus berdetak. Sementara umpatan terus menerus keluar dari mulut yang bergelembung. Mereka yang berteriak-teriak itu meminta peribadatan dibubarkan. Setidaknya, ini adalah gambaran yang saya saksikan di media sosial akhir-akhir ini. Yakni, video viral terkait penutupan paksa rumah ibadah yang marak terjadi.

Ironisnya, intimidasi makin merajalela dari hari ke hari. Entah kekesalan macam apa yang mereka pendam. Barangkali bunyi lonceng tua yang menjadi musabab sehingga ketika berdenting ding, dong, ding, dong, ding, dong, saraf dalam otak ribut, sementara dinding jantung bergemuruh.

Saya tak tahu, musabab apa penindasan yang terkesan jumawa ini berasal. Sampai-sampai mereka yang ingin menyapa Tuhan mesti menempuh jalan sunyi nan terjal. Yang saya tahu, data dari Setara Institute saja dari tahun 2007 hingga 2018 mencatat, ada ratusan penolakan dan penyerangan terhadap rumah ibadah. Data ini diamini oleh Komnas HAM yang menyebut dalam 10-15 tahun terakhir, terdapat 500-600 pengaduan terkait kebebasan beragama. Sialnya, kasus-kasus ini tersebar di Indonesia dan tidak terjadi kepada non-muslim semata, tapi juga muslim.

Data ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang tersebar. Misalnya, penghentian paksa jemaat GKKD Bandar Lampung, penolakan pendirian gereja di Cilegon, pembubaran jemaat gereja di Binjai hingga kasus di Batam. Sayangnya, ketika kasus ini berseliweran di media sosial, netizen berbondong-bondong berpendapat dengan nada kebencian, kasar, dan tidak beretika.

Media sosial yang tidak memiliki alat penyaring lantas berubah menjadi tempat sampah pikiran orang-orang yang pro dan kontra. Aplikasi yang dibuat sebagai media silaturrahim, justru menjadi tempat cacian dan hinaan tanpa tedeng aling-aling. Tata krama yang diajarkan para leluhur seakan terkikis. Sungguh miris.

Keadaan ini dibuktikan dengan penelitian Microsoft yang dirilis Februari 2021. Penelitian ini menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia menduduki peringkat terbawah se-Asia Tenggara sebagai netizen paling tidak bertata-krama. Sangat ironis mendengarnya sebab sejak dulu kala bangsa ini dikenal sebagai bangsa beradab.

Beruntunglah, hiruk pikuk yang mengenaskan ini tidak terjadi di Dusun Paleran, Cumedak, Jember. Di sini, di bawah kaki Gunung Raung ini, aroma toleransi begitu kuat. Kubah masjid tampak bersanding dengan patung yang tersalib depan gereja. Pemandangan ini makin harmoni ketika petakan tembakau mulai menguning. Gunung Raung di sebelah timur seolah tersenyum. Sementara Hyang Argopuro yang memanjang di wilayah barat seakan memandang damai.

Anak-anak SD yang mengenakan jilbab mulai memasuki halaman sekolah yang terletak di seberang gereja, sembari bergandengan tangan dengan kawannya yang tak mengenakan kerudung.

“Sudah biasa buat kami di sini, Nak, berteman dengan non muslim,” kata ibu penjual bakso di samping sekolah. “Bahkan sejak dulu, kami sebisa mungkin menghindari konflik.”

Saya tersenyum mendapati pernyataan ibuk ini. Meski seorang remaja di sebelahnya ikut menimpali, dan berkata ketika SMP temannya yang beragama Kristen tidak mendapatkan pelajaran agama lantaran tidak adanya guru pengajar agama Kristen. Mendapati pengakuan remaja tanggung yang tak meneruskan pendidikan ke bangku SMA itu, saya segera menuntaskan semangkuk bakso.

Lekas-lekas saya menghidupkan mesin sepeda, dan mengarahkan laju kemudi menuju GKJW Paleran di seberang lapangan. Gereja ini berada di tengah-tengah kompleks masyarakat Muslim. Meski jumlah penganut agama Kristen hanya sekitar 35 orang, mereka merasa damai dan tidak merasa tersisih.

Bahkan salah satu jemaat yang ditemui mengaku, jika ada gotong royong pembangunan masjid, maka mereka akan membantu secara suka rela. Begitupula jika gereja ada perbaikan, masyarakat Muslim datang membantu tanpa imbalan apa-apa. Gotong royong ini telah ada sejak zaman dulu. Maka, tak heran jika dalam hubungan sehari-hari, entah sesama petani dan pedagang, mereka bertransaksi tanpa adanya diskriminasi.

Sementara terkait akses pendidikan untuk pelajar beragama Kristen yang tidak diperoleh di sekolah, jemaat tersebut mengakui jika gereja menyediakan alternatif, yaitu adik-adik remaja akan pergi ke gereja untuk ibadah anjangsana. Biasanya, kegiatan ini berlangsung pada hari Rabu. Nantinya, pendeta akan mengajarkan isi Al-Kitab, kisah Nabi atau Tuhan Yesus.

“Meski sekolah tidak memiliki guru agama Kristen, setidaknya anak-anak bisa belajar agama di gereja. Lagipula, sekolah sangat menghargai perbedaan dalam beragama dan tidak pernah membeda-bedakan muridnya. Misalnya, memaksa murid perempuan mengenakan jilbab padahal dia beragama Kristen.”

Saya tersenyum mendengar penuturan jemaat tersebut. Ada perasaan damai di tengah mirisnya kenyataan di mana sikap intoleran makin berseliweran.

“Tapi, ada yang unik di gereja sini, Nak,” kata jemaat tersebut membuyarkan lamunan saya. “Kalau biasanya doa yang dipanjatkan di gereja lain memakai bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, kalau di sini, kami memakai bahasa Madura.”

Jemaat tersebut makin terkekeh lantaran saya yang awalnya ikut tertawa, tiba-tiba membeku mendapati seekor anjing mendekat.

“Tenang, Nak. Di sini, anjing-anjingnya juga ikut toleransi,” katanya kembali terbahak-bahak.

Saya yang betul-betul takut mencoba menenangkan diri. Namun, ucapan jemaat ini benar-benar terbukti. Binatang ini tak menyerang saya. Ia hanya menjulurkan lidah saat mendekati tuannya.

Hari makin terik. Terlebih, jemaat tersebut pamit kembali ke sawah. Tembakau telah menguning. Bahkan di petakan lain, telah selesai dipanen. Tak sedikit celetuk canda tawa terlontar dari para buruh di tengah sawah. Speaker masjid yang hanya berjarak beberapa meter dari gereja menyiarkan tarhim. Anak-anak SD sudah pulang. Di persimpangan jalan, anak-anak yang berkerudung berjalan lurus menuju Gayasan. Sementara anak-anak yang tak mengenakan kerudung belok kanan, berjalan ke arah saya yang duduk di gardu depan gereja.

Anak-anak ini tersenyum ramah. Ah, mendapati senyuman mereka yang merekah, saya masih bersyukur. Setidaknya, di lereng Gunung Raung ini, saya masih melihat keindahan toleransi di tengah maraknya berita intoleran yang tersebar di media sosial.

Komentar