Islamsantun.org. Hari ini umat Buddha di seluruh dunia merayakan hari tri suci Waisak. Dinamakan demikian karena ada tiga peristiwa penting yang diperingati dalam perayaan Waisak, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta (sebelum menjadi Buddha) pada tahun 623 S.M; Pangeran Siddharta mencapai Pencerahan dan menjadi Buddha di bawah Pohon Bodhi, Bodhgaya, India pada tahun 588 S.M; dan peristiwa Buddha Gautama wafat pada usia delapan puluh tahun pada tahun 543 S.M.
Tiga fase kehidupan yang dilalui oleh Siddharta Gautama ini mengingatkan saya pada kehidupan Yesus atau Isa Almasih yang digambarkan oleh Al-Quran dalam Surat Maryam ayat 33: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Fase ini adalah tahapan-tahapan penting dalam kehidupan manusia.
Fase pertama dalam kehidupan adalah kelahiran. Semua manusia melewati tahapan ini sebelum mengenal kehidupan dunia. Dilahirkan dalam keadaan suci sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Ketika menikah kita bisa memilih siapa yang akan dinikahi atau tanggal unik resepsi seperti 2-2-2022, tetapi kita tidak bisa menentukan mau dilahirkan kapan, di mana dan dari keluarga seperti apa. Ini adalah kuasa Tuhan. Dalam hal ini manusia hanya dapat menerima dan mensyukuri apa yang diperolehnya.
Namun, kehidupan tidak berakhir pada fase kelahiran. Manusia terus beradaptasi dan belajar menjadi pribadi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jenjang inilah yang menjadi kunci kehidupan manusia, apakah menjadi manfaat atau justru benalu bagi yang lain.
Imam Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar memberikan penjelasan bahwa cahaya hakiki itu adalah yang bersumber dari Tuhan. Karenanya semakin dekat pada Tuhan, kian dekat pada pencerahan. Sebaliknya jika semakin jauh dari tuntunan, kehidupan hanya akan menjadi tontonan, tak jelas arah tujuan dan berakhir pada kegelapan dan kehancuran.
Tahapan pencerahan inilah yang dilalui dengan epik oleh Pangeran Siddharta. Beliau yang terlahir dari keluarga konglomerat kerajaan yang kekayaannya sudah cukup untuk tujuh keturunan, justru mau keluar dari zona nyaman dan memilih jalan sunyi petapa. Di saat banyak orang memilih jalan kekayaan dan kesenangan duniawi, Sang Buddha justru terpanggil untuk menepi, menjauhi kesenangan yang tak abadi.
Sebelum memilih jalan meditasi, Pangeran Siddharta melihat realitas yang kontras dari apa yang selama ini dirasakan di dalam tembok kerajaan. Ia melihat ada orang yang tua, sakit, dan meninggal. Di saat yang sama, ia juga melihat ada orang yang memilih jalan untuk bertapa. Beliau pun belajar bahwa yang muda pada akhirnya akan menjadi tua, yang sehat akan sakit, dan yang hidup akan mati, tiada yang abadi.
Jika kita hanya berorientasi pada yang fisik dan material, semua itu akan musnah di hadapan zaman yang terus berubah. Inilah yang menjadi “turning point” Sang Buddha untuk memilih “hijrah” dengan jalan hidup menyendiri (men-jomlo, hidup jomlo) dan mengekang hawa nafsu.
Sampai pada tahapan ini, kita belajar bahwa proses hijrah Sang Buddha itu berangkat dari kegelisahan sosial, alih-alih alasan teologis semata. Begitu juga kalau kita lihat hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, juga dilandasi atas respons ketimpangan sosial yang terjadi. Ada panggilan keprihatinan Nabi melihat potret masyarakat yang jauh dari tuntunan kemanusiaan dan keadilan.
Hijrah inilah yang seharusnya juga digalakkan oleh generasi milenial. Hijrah yang berangkat dari kegelisahan melihat ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Meski demikian, perjalanan hijrah Pangeran Siddharta untuk mencapai pencerahan pun tak mudah. Perjuangan demi perjuangan dilalui mulai dari cara yang paling ekstrem, tidak makan dan minum hingga badannya menjadi amat kurus. Beliau berpikir apakah ini adalah jalan yang benar, menyiksa diri untuk mencapai kesempurnaan?
Beliau pun menyadari bahwa untuk mencapai kesempurnaan tidak berarti meninggalkan eksistensi kemanusiaan. Ini adalah tantangan terberat dalam proses hijrah. Seringkali kita memaknai hijrah dalam arti proses menjadi “Tuhan” yang tanpa cacat dan cela. Padahal bagaimana pun juga, kita membutuhkan makan dan minum untuk menyambung kehidupan. Karenanya, hijrah itu bukan meninggalkan tapi mengendalikan kehidupan dunia. Makan, minum, istirahat, semua itu dilakukan dengan secukupnya saja. Hidup semacam ini adalah hidup yang seimbang, moderat, dan dicontohkan langsung oleh Pangeran Siddharta.
Pada posisi inilah beliau dapat mencapai puncak pencerahan. Pencerahan adalah momen ketika kita sadar di dalam dimensi kemanusiaan ada cahaya keilahian. Menangkap cahaya keilahian ini akan melahirkan sikap cinta kasih, welas asih, dan empati kepada sesama. Inilah yang menjadi inti dari ajaran Buddha.
Proses pencerahan demi pencerahan yang dilalui dalam kehidupan akan membawa kita pada fase terakhir yaitu kematian. Inilah yang menjadi penentu dari kehidupan seorang manusia. Jika pada tahapan kelahiran kita tidak dapat memilih, dalam tahapan ini kita dapat berjuang untuk mencapai akhir yang baik, happy ending, husnul khatimah.
Bagi mereka yang berhasil mencapai titik pencerahan, kehidupannya pun akan memberikan maslahat bagi kemanusiaan dan kematiannya akan selalu dikenang oleh segenap insan. Persis seperti kehidupan Buddha yang pada akhirnya banyak mencerahkan orang untuk mengikuti jejak langkah kebijaksanaannya. Tidak hanya umat Buddha, seluruh umat manusia patut mencontoh laku tapa sang Gautama.
Menjadi refleksi kita memperingati hari raya Waisak, bahwa semakin dekat pada tahapan kesempurnaan, seseorang akan semakin sadar dengan dimensi kemanusiaan dan akhirnya menumbuhkan sikap cinta kasih. Bukan sebaliknya, titik kesempurnaan justru membuat kita angkuh dalam beragama, merasa paling benar dan arogan, ini jauh dari teladan yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Selamat merefleksikan hari raya Tri Suci Waisak 2565 B.E untuk seluruh umat Buddha yang merayakan. Kiranya kehidupan Buddha menjadi teladan bagi kita untuk sampai pada titik pencerahan dan hidup yang mencerahkan. Wallahu a’lam bish showwab