Qur’an banyak menyodorkan hikayat atau kisah-kisah kepada kita tentang berbagai peristiwa dan perilaku orang-orang terdahulu. Tidak hanya perilaku orang-orang yang baik dan beriman yang dituturkan, tapi juga mengungkapkan berbagai tindakan yang bejat dari orang-orang yang jahat.

Apa sesungguhnya makna di balik kehendak Allah Ta’ala mengungkapkan berbagai kisah yang beraneka ragam itu? Rasanya tidak mungkin Tuhan semesta alam itu hanya ingin bertutur begitu saja tanpa adanya tendensi yang luhur dan terpuji di balik terungkapnya kisah-kisah tersebut.

Kisah-kisah itu tak lain merupakan sarana pendidikan sekaligus penyucian terhadap jiwa-jiwa umat manusia. Peristiwa demi peristiwa di masa silam itu merupakan cermin yang sangat efektif bagi langkah-langkah pembentukan perilaku manusia ke depan.

Peristiwa-peristiwa luhur dan terpuji di masa lalu bisa secara langsung kita pungut untuk kemudian kita kontekstualisasikan dengan kondisi kita sekarang. Ruh dari peristiwa-peristiwa itu mesti kita jadikan sais atau nakhoda untuk senantiasa melesatkan perilaku dan kondisi diri kita kepada martabat yang sebisa mungkin lebih luhur dan lebih terpuji.

Sementara kisah-kisah yang berlumuran darah, yang berisi tentang tindakan-tindakan yang bejat dan brengsek, yang penuh dengan penindasan dan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang lalim di berbagai belahan dunia, yang kebak dengan kedurhakaan dan dosa-dosa, semua itu mesti dijadikan alarm atau sinyal buruk yang apabila menimpa kita (na’udzu billah min dzalik) maka dengan kepala tertunduk kita akan dihalau menuju gemuruh bencana dan orkestrasi dukacita yang sangat getir dan mengerikan.

Berhadapan dengan kisah-kisah itu, tidak boleh tidak kita seharusnya menyalakan akal, mencakrawalakan pikiran, membersihkan jiwa dan mencahayakan ruh. Untuk apa? Tak lain agar kita bisa memperoleh pelajaran paling berharga dan mendapatkan spirit yang paling prima dari berbagai macam kisah tersebut.

Tanpa adanya peran perangkat-perangkat di dalam diri itu, tidak mungkin kisah yang paling indah sekalipun memiliki pengaruh yang konkret terhadap perbaikan perilaku dan tindakan kita. Ibarat musik yang paling merdu dan mengharu-biru di hadapan kawanan ular yang tuli. Sebagaimana sering kali kita saksikan di film-film India. Sungguh, merupakan sesuatu yang muspra dan buang-buang waktu saja.

Orang-orang yang suci dan bijak bestari dari kalangan para nabi dan rasul di bongkahan-bongkahan masa lampau telah melecut kita dengan bahasa tindakan yang sepenuhnya merupakan teladan agar kita berlari atau bahkan terbang secepatnya ke arah mereka. Dalam hidup yang sejenak ini kita mesti berlomba dengan umur. Jangan sampai usia habis sementara kita masih berlumuran dengan lalai dan dosa-dosa.

Sementara orang-orang yang durja, dengan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh seolah ingin dengan tandas mereka mau mengatakan: “Jangan pernah kalian meniru perbuatan-perbuatan kami yang busuk, apalagi sampai menularkannya pada orang-orang lain. Sama sekali jangan. Karena kalian akan menjadi binasa lantaran hal itu.”

Seandainya tidak ada contoh-contoh dari perilaku yang baik, mungkinkah secara otomatis kita akan tetap tertarik pada perbuatan-perbuatan yang terpuji? Rasa-rasanya tidak. Sebab, mungkin kita akan menyatakan bahwa mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terpuji itu tidak ada gunanya. Apalagi harus diperjuangkan dengan terus-menerus mengalahkan semburan-semburan nafsu ammarah.

Dan seandainya tidak ada kisah-kisah yang menceritakan tentang perilaku-perilaku yang sangat kelam dan memalukan, mungkin malah kita yang tampil sebagai pemeran-pemeran utamanya. Seandainya tidak ada Firaun, tidak ada Haman, tidak ada Namrud, tidak ada Jalut, tidak ada Abu Jahal, tidak ada Abu Lahab, tidak ada Hitler, tidak ada Mussolini dan lain sebagainya, mungkin malah kita yang akan memerankan perilaku-perilaku yang tidak kalah keparat dibandingkan dengan tindakan-tindakan mereka.

Berkaitan dengan perilaku-perilaku yang terpuji itu, yang tentu saja sangat bermanfaat kepada kita sebagai rujukan kemuliaan, secara haqqul yaqin kita bisa dengan tegas menyatakan bahwa mereka sesungguhnya mutlak diperankan oleh Allah Ta’ala. HadiratNya semata yang dapat dipastikan berada di balik kebaikan amal-amal mereka itu.

Lantas, bagaimana dengan perilaku-perilaku yang busuk yang secara substansial juga berfaedah bagi kita ketika kita sanggup menempuh jalur mafhum mukhalafahnya? Apakah Allah yang memerankan hal itu ataukah mereka?

Dalam konteks keterkaitan dengan kemanfaatan perilaku-perilaku busuk yang telah dilakukan oleh orang-orang bejat pada salah satu episode kehidupan di masa lampau, tetap saja dapat diafirmasi bahwa Allah Ta’ala jualah yang telah menganugerahkan adanya kemanfaatan-kemanfaatan itu. Tak mungkin ada yang lain. Dari hal-hal yang bobrok, ditumbuhkanlah bunga-bunga pengharapan pada taman keindahan Ilahi. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Komentar