Islamsantun.org – Sejatinya, halal bi halal adalah produk budaya untuk meneladani dan menjalankan makna minal ‘aidin wal faizin. Pertanyaannya adalah, sebenarnya apa makna dari kata yang kita ucapkan setiap tahun itu? Kita mungkin dapat berkata, bahwa secara harfiah kata-kata tersebut diartikan dengan ‘kembali ke asal (fitrah) dan menjadi orang-orang yang menang, sukses, atau berhasil’.
Pertanyaan lanjutannya adalah apa yang dimaksud asal yang fitrah itu?. Orang-orang biasa memahaminya dengan suci. Suci dari apa, dan bagaimana maksudnya?. Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksudnya fitrah atau asal di sini adalah kembali kepada asal penciptaan manusia atau Adam yang tempat tinggalnya di Surga. Karena Surga, hanya ditempati oleh orang-orang yang suci. Orang-orang yang berhasil masuk ke dalamnya adalah mereka yang menang, sukses atau berhasil [Q.S. Ali Imran (3): 185].
Nah, ada dua hal yang perlu kita singgung di sini adalah tentang surga dan ciri-ciri penghuninya untuk menjelaskan makna di atas. Pada kesempatan ini kita akan baca Q.S. Ali Imran (3): 133-134. Surga dalam Al-Qur’an digambarkan dalam beberapa symbol/tanda. Di antaranya adalah gambaran atau perumpamaan surga seluas dan selebar langit dan bumi. Redaksi ini, menurut pak Qurasih Shihab digunakan Al-Qur’an untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa luas surga sulit digambarkan. Nabi sendiri menjelaskan Ketika ditanya tentang surga, beliau menjawab ‘la udzunun sami’at wa laa ‘ainun raat (tidak ada satupun telinga pernah mendengar dan tak satupun mata pernah melihat).
Di dalam ayat yang lain diceritakan bahwa di dalam surga di bawahnya mengalir air, dan keindahan lainya, termasuk bidadari, makanan yang lezat, dan lainnya. Jika hendak melihat lebih jauh, silahkan baca Q.S. Waqi’ah (56): 10-26. Di sana dikisahkan tentang penghuni surga dari golongan as-sabiqun dan ashab al-yamin (golongan orang-orang taat terdahulu dan golongan orang-orang kanan).
Ada juga penyebutan surga dengan kata Darussalam (kampung damai). Nah, lalu di sinilah starting point-nya untuk kemudian kita masuk ke dalam pembahasan selanjutnya tentang ciri-ciri penghuni surga itu. Jika kita Kembali baca Q.S. Ali Imran [3]: 134, maka kita temukan bahwa di antara cirinya yaitu orang-orang yang secara terus menerus menafkahkan hartanya baik di kala lapang (berkecukupan, bergembira) maupun di kala sempit (kekurangan, bersedih).
Jika melihat ciri yang ini, masyarakat di Nusantara umumnya sebenarnya telah memiliki tradisi ini. Banyak sekali acara-acara tasyakkuran yang diselenggaran; seperti pernikahan, kelahiran, perjalanan, kesuksesan karir, bahkan kematian. Apapun keadaanya mereka tetap ‘diajari’ atau ditradisikan untuk berdoa dan bersedekah.
Lalu ciri yang selanjutnya adalah wal kadzimina al-ghaidza yang dimaknai dengan menutup rapat amarah agar tidak tumpah. Artinya adalah menahan amarah meski terkadang terlukai oleh orang lain. Ia mampu diam dan tidak melampiaskan amarahnya. Namun di dalam ayat yang sama, ada tingkatan yang lebih tinggi yakni wal ‘afina ‘aninnas (memaafkan manusia) yang berbuat salah padanya. Dan dua perbuatan ini merupakan perbuatan baik dan Allah suka.
Jika kita cermati ulang, ciri kedua ini sama halnya dengan makna halal bi halal yang setiap tahun kita jalani. Nilai-nilai ini tentu milik orang-orang yang hatinya penuh kedamaian. Oleh karenanya tak heran jika surga juga digambarkan dengan kampung damai. Kampungnya para pecinta damai, bukan sebaliknya. Para pecinta damai adalah mereka yang mampu menahan amarah dan suka memaafkan.
Selain itu, dalam konteks pergaulan, Nabi mengingatkan dengan menautkan perbuatan yang diajarkan pada keimanan seseorang pada Tuhannya. Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa “siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tamu. siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, agar tidak menyakiti tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir agar berkata baik atau diam”.
Menurut Gus Baha’, penyandaran kepada Tuhan semacam ini dinilai lebih kuat, karena sering kali hubungan sesama manusia yang hanya disandarkan dengan patokan sosial, sering kali luntur. Kiai nyentrik itu mencontohkan seseorang yang berbuat baik hanya karena ingin dibalas kebaikan oleh orang lain dan ia tak mendapatkannya, hanya rasa kecewa yang muncul. Oleh karena itu, Nabi mengajarkan cantolan ketuhanan dalam hubungan sosial sesama manusia. Dan inilah yang sering dilakukan oleh para wali sufi yang hidupnya hanya bergantung kepada Tuhan, sehingga melahirkan kedamaian.
Akhirnya, semangat halal bi halal ini perlu dihidupkan terus menerus. Tidak hanya setahun sekali, namun setiap hari, khususnya dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sehingga tercipta Indonesia yang damai.
Wallahu a’lam.