Heboh disertasi tema milk al-yamin oleh Abdul Aziz yang dipertahankan di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lepas dari kontroversi, pro-kontra terhadapnya, telah membawa hikmah positif. Tentu, dampak negatifnya juga ada, sebagaimana dinarasikan hingga “berbusa-busa” oleh mereka yang tidak setuju dengan simpulan Abdul Aziz, bernada caci maki, sumpah serapah, bullying tidak hanya kepada penulisnya tapi juga kepada istitusi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hikmah positif yang saya maksud adalah lebih terbukanya ruang publik, tidak lagi secara monoton membicarakan wacana politisasi agama, seputar demo bela ulama, kepemimpinan Islam dalam konteks pemerintahan era Jokowi, dan seterusnya. Tema milk al-yamin via Abdul Aziz memberi angin segar dan membuka alam kesadaran, bahwa sebagai masyarakat Indonesia patut berbangga, ada banyak persoalan-persoalan aktual yang menjadi diskursus publik.
Itu baik sebagai bagian dari demokratisasi. Bandingkan, misalnya dengan negara-negara otoriter atau negara yang menganut paham absolutisme agama, pemantik wacana seperti milk al-yamin bisa diberangus karena dianggap sebagai pemikiran menyimpang dan mengganggu stabilitas sosial-politik. Semetara di negara kita bisa sebaliknya. Aman sentosa. Soal ada yang setuju, ada yang tidak, hal biasa.
Di sini, saya tidak bermaksud membahas isi disertasi, apalagi menanggapinya. Tulisan-tulisan sebagai respons terhadap disertasi dan diri Abdul Aziz telah banyak beredar. Saya justru tertarik menerawang, apa yang akan dilakukan setelah wacana milk al-yamin ini mencuat ke publik? Mampukah para pengkritik, terutama kaum netizen, melakukan counter tulisan terhadap konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur yang diinterpretasikan sedemikian kontroversial oleh Abdul Aziz itu?
Saya khawatir, dan pesimistis, mereka yang terlihat vokal menghujat isi disertasi, tidak akan mampu melakukan kritik konstruktif dan sistematis terhadap bangunan epistemologi pemikiran Syahrur maupun interpretasi yang dilakukan oleh Abdul Aziz. Mungkinkah polemik panas tentang milk al-yamin ini terus berlanjut secara ilmiah, yang tidak hanya terkesan garang bak “harimau” di alam maya, namun begitu di alam nyata berubah menjadi “kucing” yang tak berdaya membaca teks Arab, lemah teori-teori sosial, dan tertatih menulis.
File PDF disertasi Abdul Aziz kini sudah menyebar dan bisa diakses secara luas. Kita akan lihat, minimal setelah baca langsung disertasi tersebut, berapa orang yang secara serius menyanggah argumen Syahrur dan Abdul Aziz. Jangan sampai, kritik pedas yang selama ini bersahutan di media sosial, justru menguap alias omdo (omong doang) yang tak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan realitas yang sebenarnya.
Sebab, kecenderungan manusia modern era teknologisasi seperti sekarang justru dalam praktik pengembangan pengetahuan kadang kembali pada masa jahiliyah, melebihi apa yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zayd sebagai “peradaban teks” (hadharah al-nas), tetapi juga didominasi oleh “peradaban tutur/lisan” (hadharah al-lisan). Artinya, orang lebih banyak bisa berbicara oral daripada tulisan.
Abdul Aziz telah menunaikan tugas akademiknya. Lulus dengan hasil memuaskan pada sidang terbuka beberapa waktu lalu tentu telah melewati tahapan ujian yang berlapis sebelumnya. Meski terdapat kecacatan dalam penyimpulan, sebagaimana diketahui publik, namun ia telah melakukan kerja-kerja akademik yang perlu juga diapresiasi.
Karena merupakan karya ilmiah, maka jikalau memang tidak setuju dengan pemikiran Syahrur dan interpretasi Abdul Aziz terhadapnya, perlu pula dianggapi secara ilmiah. Disertasi dibalas dengan disertasi, atau lewat tesis, atau dengan skripsi, atau makalah di jurnal, atau buku. Bukan komentar liar di media sosial yang tidak disertai oleh argumen kokoh.
Abdul Aziz, sebagai seorang penulis, meskipun sekali lagi, oleh persepsi publik dianggap salah dalam melakukan penyimpulan, tetap saja kita perlu menghormati kebebasan pendapatnya. Ia sebagai seorang mahasiswa doktoral memang wajib mengikuti saran revisi dari promotor dan penguji, tetapi sebagai seorang peneliti yang independen, di luar orientasi kelulusan disertasi, ia memiliki hak untuk berbeda pendapat dengan mainstream ulama sekalipun.
Pemikiran Syahrur telah menjadi teks terbuka, yang pembacanya diberi otonomisasi untuk menafsirkannya. Syahrur, bahkan tidak memiliki otoritas lagi untuk intervensi terhadap pemahaman pembaca karya-karyanya. Ia, jika mengikuti pendapat Roland Barthes, telah menjadi pengarang yang “mati”, the death of the author.
Begitu pula dengan Abdul Aziz, dan persepsi kita kepadanya.