Siang ini, sedang santai setelah melakukan meeting online bersama kawan, sebelum melanjutkan diskusi online lainnya, saya tidak sengaja membuka kitab yang sudah dikaji ketika dulu di pesantren, al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, karya Imam An-Nawawi. Tentu kitab ini tidak asing di kalangan para penghafal dan pengkaji Al-Quran.
Ketika saya membuka satu pembahasan seputar etika dalam mengajar dan belajar Al-Qur’an, khususnya seputar pentingnya meluruskan niat, saya terhentak dengan nasihat dari Imam Al-Qusyairi. Beliau merupakan salah satu ulama sufi yang terkenal dan karya-karyanya banyak dijadikan rujukan dalam mengkaji dan menjalani tradisi sufistik.
Beliau berpesan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi: Afdhal al-shidq istawa’u al-sirr wa al-‘alaaniyah, “Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun ketika ramai.” Pesan ini menjadi relevan di tengah situasi pandemi saat ini.
Di mana setiap dari kita dituntut untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Khususnya dalam konteks ibadah, yang biasanya dilakukan secara berjamaah atau komunal, sekarang diharuskan beribadah secara pribadi personal.
Maka kualitas ibadah kita dapat diukur masing-masing. Jika kita lebih semangat untuk beribadah berjamaah, sedangkan bermalas-malasan ketika ibadah di rumah. Keikhlasan ibadah kita patut ditanyakan kembali.
Benarkah kita beribadah karena Allah ataukah karena ingin dilihat oleh manusia? Jangan sampai justru semangat komunal keberagamaan kita ternodai dari niat yang keliru. Disinilah pentingnya menghayati ibadah dalam kesunyian.
Tak perlu menyalahkan pemerintah yang sudah bekerja atau ulama yang telah berfatwa terkait beribadah di rumah. Semua sudah dipertimbangkan dengan beragam aspek yang terkadang sulit dipahami oleh kita yang awam.
Tugas kita sebagai umat beriman saat ini adalah memaksimalkan ibadah di rumah dengan penuh kekhusyuan, ketundukan dan kepatuhan. Bukankah perintah Allah Swt jelas dalam Surat Al-A’raf ayat 55: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Kerendahhatian dan kelemahlembutan suara ini dapat dilakukan dengan beribadah di tengah kesunyian, di rumah saja. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian di tengah masyarakat. Bukan berarti ibadah secara komunal itu tidak baik. Tentu banyak pula dalil yang menjelaskan keutamaannya.
Poinnya adalah baik ibadah bersama atau pribadi, seharusnya kita taruh dalam kapasitas yang sama. Tidak berbeda atau berat sebelah sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Imam Al-Qusyairi di atas. Dalam ungkapan yang lain, kita butuh semangat moderasi dalam beragama.
Terlebih, beberapa minggu ke depan umat Islam juga akan memasuki bulan suci Ramadan. Sudah menjadi tradisi, Ramadan selalu dihadapi dengan kebersamaan. Mulai dari tradisi menyambut Ramadan di berbagai daerah.
Kemudian dilanjutkan dengan ibadah berjamaah di masjid, buka puasa bersama, shalat tarawih, tadarrus Al-Quran, dll. Maka ketika semua ibadah tersebut dialihkan (bukan dihapuskan) ke rumah masing-masing, jangan sampai mengganggu kualitas ibadah kita.
Pandangan Imam Qusyairi tersebut juga dikuatkan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyadh yang juga dikutip oleh Imam An-Nawawi, Al-Fudhail berkata: “Meninggalkan amal untuk orang banyak adalah riya dan beramal untuk orang banyak adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah jika Allah swt membebaskanmu dari keduanya.”
Oleh karena itu, mari kita kembali mengukur kadar keikhlasan kita. Sudah seberapa ikhlas kita beribadah kepada Allah? Wabah ini memberikan hikmah kepada kita bahwa keikhlasan tidak diukur dari semangat keberagamaan yang tinggi untuk beribadah di masjid atau kekhusyuan beribadah di tengah kesepian. Semuanya akan sirna jika kita beribadah untuk ditunjukkan kepada manusia. Sebab, Ikhlas adalah urusan hati yang kita tujukan sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Wallahu a’lam bish showwab.