“Manusia mengenali drinya melalui citraan yang lain (the others). Cermin (pengilon) adalah sarana menghadirkan citraan itu untuk memastikan keberadaan. Kadang, citraan dalam cermin terasa lebih nyata daripada diri. Manusia yang tidak bisa keluar dari tahap ini, akan berhenti di horizon cermin. Dalam spektrum lebih luas, bangsa-bangsa bekas jajahan umumnya tidak bisa beranjak dari tahap cermin. Dipenjara oleh mimicry, yakni mekanisme mental yang sibuk meniru citraan untuk menegaskan keberadaan. Hanya karena ingin menyandang identitas sebagai ilmuwan, orang menjadi sibuk dengan mimicry. Berpikir, bersikap, dan bertindak menyerupai kulit putih Eropa. Begitu juga, saat menegaskan identitas keagamaan dan kesalehan, orang harus pula meniru dan menyerupai Arab. Inilah individu dan bangsa yang terjerembab dalam citraan. Makhluk tiruan dan tidak memiliki karakter. Individu dan bangsa seperti ini harus mengalami pendewasaan dengan beranjak dari tahap cermin. Wallahu Al’am” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).

Sejarah umat manusia antara lain adalah sejarah tentang ekspansi, penaklukan, dan penjajahan. Sebuah bangsa tumbuh, berkembang, kuat, dan berjaya lalu tertarik melakukan perluasan wilayah kekuasaan atas nama eksplorasi atau apa saja. Bangsa yang tumbuh, berkembang dan berjaya terdorong mengklaim diri sebagai bangsa maju dan beradab dibanding bangsa lain. Atas dasar klaim ini ekspansi ditempuh, penaklukkan dijalankan lalu imperialisme atas bangsa-bangsa yang ditaklukkan tak terhindarkan, meski kemudian dibungkus dengan slogan: “Memberdayakan bangsa-bangsa yang terbelakang.”

Benua-benua baru ditemukan. Sumber- sumber daya alam melimpah di benua temuan. Bangsa pendatang yang mengaku diri lebih maju dan beradab dengan cepat menguasai sumber daya alam. Beberapa peristilahan dibuat oleh Sang Pendatang untuk menutupi atau menghaluskan praktik eksploitasi atau penghisapan yang mereka peragakan. Warga setempat, pemilik asli limpahan sumber daya alam; orang-orang lokal, tuan sebenarnya atas alam mereka yang kaya, keadaannya semakin terdesak, terpojok di ujung bedil dengan pilihan: kepala tegak lalu tak berdaya diinjak-injak sepatu kaum penindas, atau tertunduk mengiyakan apa saja kehendak sang penghisap lalu hidup selamat dalam selubung kehinaan dan perbudakan.

Dalam perjalanannya, bangsa-bangsa yang mengaku diri paling maju dan beradab, yang menguasai banyak wilayah jajahan, di antara mereka satu sama lain terjadi perselisihan bahkan peperangan. Banyak hal memantik mereka untuk berselisih dan bahkan berperang. Perebutan daerah jajahan mungkin salah satunya. Nyatanya, kata “beradab” hanya label atau klaim diri ketika yang bersangkutan menggunakannya untuk mengemas nafsu berkuasa atau keserakahan materil mereka. Di sisi lain, bangsa-bangsa tertindas yang terjajah, di antara mereka satu sama lain terjalin solidaritas dan perasaan satu nasib sepenanggungan.

Dalam perjalanannya pula, entah karena guratan “takdir”, atau lantaran dua kenyataan yang saya sebut di paragraf sebelum ini, bangsa-bangsa terjajah satu demi satu mampu melepaskan diri dari cengkeraman bangsa penjajah. Pertengahan abad 20 antara lain ditandai dengan kemerdekaan banyak bangsa terjajah. Kemerdekaan satu bangsa terjajah mengilhami bangsa terjajah lainnya. Rela atau tidak, sudi atau tidak, menerima atau tidak, bangsa-bangsa penjajah akhirnya harus melepas bangsa-bangsa jajahannya setelah sekian lama relasi yang terbangun antara keduanya menyerupai hubungan tuan-hamba, majikan-pelayan, bos-jongos.

Tapi, meski kaki para penjajah telah hengkang dari negeri-negeri jajahan, meski secara militer tidak ada lagi kokangan bedil Sang Tuan penuh kuasa di pelipis sahaya yang tak kuasa selain menghamba meski amat terpaksa; meski demikian tetap saja penjajahan dan penghisapan yang berlangsung terlalu lama membentuk sikap negatif pada diri bangsa terjajah. Yaitu, seperti pernah dikatakan Pak Rektor pada renungan terdahulu, kompleks inferioritas (inferiority complex) dengan ciri-ciri di antarnya: merasa insecure, tidak puas atau tidak berharga, menjauhkan diri dari aktivitas sehari-hari dan situasi sosial, membandingkan diri dengan kemampuan orang lain, perasaan frustrasi, gugup, atau agresi karena persaingan, dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas.

Mungkin inferioritas kita sebagai bangsa yang pernah lama dijajah tidak separah itu, ciri-cirinya pun tidak sebanyak itu. Namun harus diakui, apa yang dikatakan Pak Rektor pada renungannya kali ini bahwa “bangsa-bangsa bekas jajahan umumnya tidak bisa beranjak dari tahap cermin. Dipenjara oleh mimicry, yakni mekanisme mental yang sibuk meniru citraan untuk menegaskan keberadaan,” saya pikir benar belaka. Tidak sedikit, “hanya karena ingin menyandang identitas sebagai ilmuwan, orang menjadi sibuk dengan mimicry. Berpikir, bersikap, dan bertindak menyerupai kulit putih Eropa.”

Ternyata, seperti dengan jeli ditunjukkan Pak Rektor, inferioritas juga terjadi di ranah keagamaan dan kesalehan. Jika identitas keilmuwanan kerap dikaitkan atau bahkan diidentikan dengan pola pikir, sikap, dan tindakan menyerupai kulit putih Eropa, identitas keagamaan dan kesalehan sering harus meniru dan menyerupai Arab. Tiba-tiba saya teringat Hassan Hanafi, pemikir progresif Muslim Mesir, yang banyak mengkritik Barat tapi juga tak segan mengoreksi pola sikap internal umat Islam. Hanafi mengkritik Barat yang cenderung mendudukkan diri sebagai “guru”, di saat sama Hanafi juga kesal dengan sikap kebanyakan umat Islam yang pola pikir, sikap, dan tindakannya memang menjerebabkan mereka menjadi “murid abadi” ketimbang sebagai “mitra setara” terhadap Barat.

Komentar