Idul Fitri merupakan hari kemenangan umat Islam. Kemenangan fitri ini secara simbolis merupakan sebuah kepastian.

Semua umat muslim, termasuk yang tidak puasa Ramadan mengklaim mendapatkan kemenangan. Mereka sama-sama memiliki keinginan untuk menang atau kembali kepada jati diri (fitri).

Karena hari kemenangan, maka harus disambut dengan gembira. Kegembiraan ini bisa mengantarkan kepada hari yang istimewa. Hari istimewa ini adalah hari lahirnya pribadi-pribadi bertakwa. Pribadi-pribadi muslim yang tunduk patuh pada Rabb-nya.

Untuk sampai pada tahap itu, kita diperingatkan untuk meninggalkan sikap-sikap tercela. Pribadi ini harus mengubah kebiasaan secara nyata yang berpengaruh pada kehidupan personal sekaligus secara keseluruhan. Dari sini kita bisa melahirkan individu dan masyarakat bertakwa dan meraih kemenangan.

Meraih Kemenangan

Bukti maraih kemenangan, perilaku kita harus bisa beranjak dari hari sebelumnya. Berhentinya melakukan maksiat, tipu menipu, korupsi uang, dan tongkrongan yang sekadar mengobrolkan perbuatan tercela banyak orang.

Jika kehidupan kita bisa berubah pada tahapan seperti ini, maka agama tidak hanya eksis di masjid atau saat Ramadan. Agama bisa eksis, hidup dan menghidupi di tempat mana pun tak lekang oleh tempat dan waktu.

Sebab, sering melihat, bahwa kita selalu menghormati satu bulan Ramadan. Tetapi secara suka dan sengaja mengotori 11 bulan setelahnya.

Pada bulan-bulan lain, hawa nafsu dan akal manusia justru menjadi brutal dan gila. Seakan-akan, selain bulan Ramadan ini tidak ada dosa dan pembalasannya.

Ironi Kehidupan

Sungguh ironi. Pada bulan Ramadan perilaku culas dipendam. Sementara 11 bulan lainnya diedarkan sebagai permainan dan gaya hidup pada sebagian orang.

Pertanyaannya, apakah benar Idul Fitri hari kemenangan? Tentu saja kemenangan bagi mereka yang berhasil menahan hawa nafsu dan mengisi dengan berbagai ibadah. Namun hari kekalahan bagi mereka yang masih selalu berbuat culas dan kemaksiatan.

Lihatlah, jika setelah Ramadan ini masih banyak aneka kezaliman yang terjadi, maka Idul Fitri bukan menjadi hari kemenangan. Jika pasca Ramadan masih banyak orang mengemplang pajak, menipu dan mengambilalih hak hidup orang, sebenarnya ia tidaklah mendapatkan hari kemenangan. Jika hari-hari dan persaudaraan dia dikapitalisasi alias dibisniskan sekadar mencari cuan dan jabatan, sungguh dia tidak mendapatkan hari kemenangan.

Kondisi ini, adalah kondisi manusia mafia yang hidup berbarengan dengan moral yang lemah berkelindan dengan mental yang lemah pula. Mereka hidup hanya dengan menjilat, berbasa-basi dan menggadaikan harga diri.

Fakta Sosial

Dampak yang paling nyata, kondisi hidup yang memprihatinkan ini tenggelam dalam hidup yang tidak ajek, penuh tekanan, dan penuh kepalsuan yang berkepanjangan.

Dalam kehidupan yang seperti ini, berbagai kebodohan dilakukan demi menyenangkan majikan meski mengerjakan yang berlumpur dosa. Secara diam dan pelan-pelan, sebenarnya ia hidup dalam kerapuhan yang berlendir sikap korupsi bak kehidupan para politisi.

Dalam keseharian, muslim dan akademisi seperti ini, dipaksa menerapkan perilaku kufur yang bertentangan dengan agamanya. Bahkan tidak jarang ajaran Islam dijadikan bulan-bulanan, dijual dan dijadikan sebagai aset pengeruk uang dan jabatan.

Ironisnya, semua ini terjadi kepada seseorang muslim yang sering menyeru perdamaian, akademisi yang lantang menyerukan novelty dan kebaharuan, dan mereka yang sering berdakwah tentang keimanan.

Mereka memilih pura-pura tuli buta. Mereka diam seribu bahasa. Padahal, mereka punya segala sumber daya, termasuk keahlian, keimanan, etika, dan keilmuan yang tiada tara.

Memang benar kata orang, yang susah bukanlah soal manusia bisa orasi, berpidato dan menulis, melainkan melaksanakan kata-kata jujur itu. Lantas, Idul Fitri ini kita maknai seperti apa?

Komentar