Islamsantun.org. Cuplikan bab 4 buku “Rekonstruksi Islam Historis” tentang penyaliban Yesus dan penekanan pada kenabiannya dalam al-Qur’an yang saya “statuskan” sebelumnya adalah sedikit dari yang bisa kita pelajari jika kita fokus pada apa yang dikatakan al-Qur’an sendiri tentang dirinya dan sekaligus konteks kelahirannya. Di awal bab itu, saya memulai dgn meneliti kosa-kata kunci dalam al-Qur’an dan membandingkannya dgn bukti-bukti materiil, seperti inskripsi.
Tujuan saya ialah untuk memahami di mana al-Qur’an muncul. Kenyataan bahwa ia berbahasa Arab tidak otomatis menunjukkan Kitab Suci kaum Muslim ini muncul di Hijaz (Mekah-Madinah). Pembaca buku “Rekonstruksi Islam Historis” atau “Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis” akan tahu apa yang saya maksud. Kesimpulan bagian awal itu ialah: alternatif tempat munculnya al-Qur’an di luar Hijaz tidak cukup menjanjikan.
Namun demikian, jika al-Qur’an memang muncul di Hijaz, kita dihadapkan pada persoalan serius. Dalam sumber-sumber Muslim, Mekah digambarkan sebagai kota kaum musyrik (penyembah berhala), sementara keberadaan umat Kristiani di Madinah sangat minim.
Lalu, bagaimana menjelaskan “bahan-bahan Alkitab” dalam al-Qur’an yang sangat melimpah itu? Menariknya, “bahan-bahan Alkitab” dalam al-Qur’an tampaknya bersumber dari tafsir Kristen. Maka, saya merasa perlu meneliti bagaimana al-Qur’an berinteraksi dengan literatur Alkitab: Bagaimana ia menarasikan, merespons atau mengolah kembali narasi pra-Qur’an itu, tanpa mengabaikan keunikan teologi yang diajukannya.
Dalam konteks itu saya mendiskusikan keterlibatannya dalam perbincangan kristologi awal, termasuk soal penyaliban dan kenabian Yesus. Sepertinya, soal pertama dianggap bermasalah oleh kawan2 Muslim, dan soal kedua oleh teman2 Kristiani. Yg saya tulis itu ialah pandangan al-Qur’an yang saya pahami. Tentu, anda bisa memahaminya berbeda. Berikut lanjutan yg saya pelajari:
“Satu hal lagi perlu ditambahkan yang menjadi ciri dialog al-Qur’an dengan Alkitab dan literatur keagamaan pasca Alkitab, yakni cakupannya yang meliputi beragam sumber, termasuk kitab keagamaan yang tidak resmi atau tidak termasuk ke dalam Kitab Suci terdahulu.
Di atas disebutkan kemiripan narasi kelahiran Maryam dan Yesus dalam al-Qur’an dengan versi Protoevangelium of James (PeJ). PeJ ini dikenal dengan berbagai nama: The Gospel of James, The Book of James atau the Invancy Gospel of James. Walaupun ditolak untuk dijadikan bagian dari Perjanjian Baru, PeJ sangat populer dan berpengaruh terhadap praktik, tradisi dan keyakinan Kristen awal. Di kalangan Gereja Timur, Injil ini menjadi bagian dari kegiatan ritual dan liturgi. Kenyataan bahwa “gaung” Injil ini juga terlihat dalam al-Qur’an bisa dimaknai bahwa audiensnya sudah familier atau mengenal cerita Maryam dalam versi PeJ tersebut.
Beberapa mukjizat Yesus yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya menyerupai versi yang ditemukan dalam Perjanjian Baru, tapi juga Injil apokrifa seperti The Infancy Gospel of Thomas (IGT). Kemungkinan IGT berasal dari abad ke-2, seperti PeJ, dan mulai beredar luas beberapa abad setelahnya.
Mukjizat Yesus bisa berbicara ketika masih bayi untuk membela bundanya dari tuduhan zina (Q 3:46; 5:110; 19:30) atau menciptakan burung hidup dari tanah (Q 3:49; 5:110) dapat juga ditemukan dalam IGT ini. Beragam literatur keagamaan, dari Talmud hingga tulisan zaman Patristik, yang menjadi “partner” atau “counterpart” dialog al-Qur’an memperlihatkan bahwa Kitab Suci kaum Muslim muncul dalam iklim multi-religius, melebihi yang kita bayangkan.”
Bab 4 “Konteks Historis Al-Qur’an dan Narasi Alkitab: Menelaah Bukti Internal,” hal. 122.