Islamsantun.org. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, 15 abad yang lalu. Islam adalah ajaran-ajaran suci ilahiyah yang diturunkan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup di dunia. Nabi Muhammad yang ditunjuk oleh Allah sebagai penerjemah paling otoritatif atas kalam-Nya untuk kemudian bisa dipahami sebagai ajaran dan panduan hidup. Di tangan Nabi Muhammad, kalam suci Tuhan itu berhasil diterjemahkan menjadi pesan-pesan yang disebarkan hingga gaung resonansinya menggema ke seluruh pelosok tanah Arab dan belakangan bahkan ke seluruh belahan dunia.
Tersebarnya Islam tidak lepas dari sukses Sang Nabi mendakwahkannya dengan sabar dan telaten. Di tangan Nabi, islam sebagai nilai bergumul dengan tradisi dan kebudayaan tata hidup masyarakat Arab Pra-Islam atau yang masyhur disebut masyarakat Jahiliyah. Dalam proses pergumulan itu lah, perang nilai antara nilai Islam vis a vis tradisi Jahiliyah menemukan momentumnya.
Sebenarnya tidak tepat jika kita memahami Islam pada era Nabi benar-benar berhadap-hadapan secara frontal dengan tradisi sosio-kultural masyarakat pada waktu itu. Karena yang terjadi adalah proses dialog dan tawar-menawar antara nilai-nilai Islam sebagai hasil interpretasi Nabi atas kalam Tuhan dengan tradisi lokal masyarakat Arab kota Mekah. Karena itu, kalam suci Tuhan dalam proses pergumulan dengan tradisi lokal itu, pada perkembangannya nanti ketika Islam sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia, mengakibatkan apa yang disebut indigenisasi atau proses penerimaan masyarakat Islam sebagai unsur integral dalam kebudayaan peradabannya sepanjang sejarah.
Apa yang terjadi di Persia, Asia Tenggara, Afrika Utara, dan sub Sahara, dan juga kepulauan Nusantara (Melayu dan Jawa) menunjukkan indigenisasi itu. Sebenarnya indigenisasi ini sudah terjadi sejak Islam mulai didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW di jazirah Arab yang terus berlangsung setelah Nabi wafat dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shidiq yang didaulat menjadi khalifah kaum muslimin sepeninggal Nabi.
Indigenisasi atau pelokalan terjadi karena pergumulan nilai Islam berkelindan dengan nilai tradisi lokal di mana Islam itu berkembang. Di kepulauan Nusantara misalnya, di tengah masyarakat yang plural, indigenisasi atau pelokalan ini sudah sampai pada titik di mana ungkapan-ungkapan yang sejatinya “milik Islam” seperti ;”Alhamdulillah”, “assalamu alaikum”, “ya Allah”, “astaghfirullah”, dan sebagainya menjadi milik bahkan non-muslim. Mereka, non-muslim itu menganggap bahwa istilah-istilah itu adalah bahasa komunikasi yang tidak melekat dengan identitas satu agama tertentu yang biasanya menjadi batas pemisah di antara manusia.
Kegiatan-kegiatan sosial yang pada mulanya berkaitan dengan dakwah Islam di Nusantara ini, sekarang dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan kebudayaan seluruh masyarakat. Sekarang misalnya ada orang berkumpul berdoa bersama, baik dalam acara mendoakan orang yang sudah wafat atau tahlilan, ziarah kubur menjelang bulan Ramadan, lalu halalbihalal ketika idul fitri, dan aktivitas-aktivitas turun temurun lainnya sudah semakin populer dan sama-sama dilakukan oleh muslim maupun non-muslim. Ini adalah konsekwensi dari pergumulan nilai Islam yang ter-lokalkan dalam tradisi kebudayaan di Nusantara khususnya. Inilah indigenisasi Islam.
Dari sudut pandang tertentu, pengadopsian terhadap warisan-warisan budaya dalam skala yang luas seperti itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai kesuksesan yang cukup besar bagi dakwah Islam. Indigenisasi ini adalah proses akulturasi nilai Islam dalam dimensi lokal di mana Islam itu berkembang. Konsep Indigenisasi inilah yang disebut Gus Dur dengan istilah “Pribumisasi Islam”. Yaitu Islam yang bergumul dan berdiskusi dengan dimensi lokal. Islam yang berakulturasi dengan budaya tempatan. Islam yang ter-Indigenisasi seperti inilah yang kerapkali ramah dan mampu memberikan kontribusi bagi peradaban manusia, seluruhnya.
*Abdullah Mukti. Mahasiswa UNU Purwokerto