Hari raya Idulfitri atau lebaran adalah hari yang sangat ditunggu oleh umat muslim di dunia sebagai hari kemenangan setelah 30 hari penuh melaksanakan ibadah puasa. Idul Fitri sendiri memiliki makna kembali ke fitrah atau suci tanpa dosa. Hari raya yang jatuh pada tanggal 1 Syawal penanggalan Hijriyah ini, biasanya dijadikan sebagai momen berkumpulnya keluarga besar karena sanak saudara baik yang jauh maupun dekat akan merayakan lebaran bersama.
Di Indonesia sendiri memiliki beberapa tradisi turun-menurun yang sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan. Salah satu contohnya dimana setelah sholat idain, masyarakat muslim akan saling mengucapkan doa ”Minal ‘Aidin wal-Faizin”, yang mana kalimat “Minal ‘Aidin wal-Faizin” berasal dari kata “ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah SWT menjadikan kami dan Anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi, Minal Aidin Wal Faizin sendiri artinya adalah orang-orang yang kembali dan beruntung.
Selain itu sebagai momentum menyambung tali silaturahmi, terdapat juga tradisi bermaaf-maafan dengan berbagai keragaman. Contohnya terdapat tradisi bermaaf-maafan secara nonformal seperti budaya sungkem. Budaya sungkem sendiri adalah budaya di mana seseorang yang lebih muda akan meminta maaf kepada orang yang lebih tua dengan cara duduk dilantai dan orang tua duduk diatas kursi. Tradisi sungkem ini adalah tradisi jawa yang turun-menurun dan dilakukan hingga sekarang. Terdapat juga tradisi bermaaf-maafan secara formal yakni dengan mengadakan acara halalbihalal dengan tujuan mempererat tali persaudaraan antara keluarga besar, tetangga maupun teman sebaya.
Namun, faktanya hari raya Idulfitri yang seharusnya menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan mensucikan diri ini, justru menjadi ajang perbandingan diri. Berbagai pertanyaan atau perbandingan sering kali dilontarkan dengan bersembunyi di balik kata menasehati. Pertanyaan seperti “Keterima kuliah dimana?”,”Sudah lulus apa belum?”,“Kapan menikah?” atau kalimat perbandingan seperti “Kok kamu sekarang tambah gendut?”,”Lihat kakakmu kuliah di universitas ternama, lulus cepat lagi” menjadi tradisi yang ada di setiap tahunnya. Berbagai pertanyaan tersebut menjadi pemicu ketidaknyamanan sehingga banyak orang menjadi malas untuk berkumpul atau bersilaturahmi dengan sanak saudara yang pada kenyataannya hanya bisa berkumpul saat hari raya saja.
Dalam menanggapi hal ini, tentunya kita tidak bisa berargumen dengan keluarga walaupun faktanya kita sendiri merasa jenuh dengan pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Karena, jika kita mengungkapkan isi hati kita atau memperdebatkan hal tersebut, akan memecah belah tali persaudaraan dan dianggap tidak menghormati orang yang lebih tua. Maka dari itu, alangkah baiknya kita menahan diri untuk tida berkomentar lebih jauh walaupun kita terkadang tertekan atau merasa jengkel dengan hal tersebut. Jadikan itu sebagai kritikan untuk memotivasi diri agar kedepannya lebih baik lagi dan buktikan bahwa apapun pilihan hidup yang telah kalian jalani adalah yang terbaik untuk diri kalian sendiri.
*Pemuatan tulisan ini merupakan kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan media islamsantun.org.
Najma Nur Maulida, Mahasiswa program studi Perbankan Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.