Persaudaraan manusia adalah kunci kehidupan. Mengakui kesamaan dan persaudaraan bentuk dari konsep yang selama ini tidak dibaca orang. Alhasil, ia telah menimbulkan kehancuran dan kerusakan di banyak tempat dan kematian ribuan manusia.
Semua manusia punya elemen sama. Ia dibangun dari roh yang satu. Dan semua entitas kehidupan bergantung pada roh. Ia tidak bisa hidup tanpa roh. Proses berpikir misalnya, rohlah yang membuat otak bereaktif.
Hal tersebut sepenuhnya supraprerogatif Tuhan. Sebagaimana peciptaan yang berbeda-beda juga kekuasaan Tuhan. Bahkan pembuatan manusia seperti daging dan segala jenis yang melekat pada tubuh manusia menunjukkan kekuasaannya. Jenis manusia juga dibuat tidak sama. Putih, hitam, lemah lebut, kasih sayang, dan toleran dan tegak pendirian. Semuanya beda-beda.
Mengapa demikian? Bukanlah sesuatu yang sulit Tuhan untuk mencipta yang sama. Tetapi demikianlah bahwa Tuhan ingin mengajak manusia untuk satu tujuan, yakni melihat kebesaran Tuhan dalam proses saling memahami satu sama lain.
Sebagaimana kata Gumilar Rusliva Somatri (2019), manusia yang tunduk kepada keagungan Sang Maha Pencipta dan berdamai dengan sesama, berintikan roh yang terdidik. Sebabnya, mendidik roh tidaklah mudah. Ia harus dididik bukan di wilayah manusia. Ia adalah produk dari pertemuannya dengan Sang Khalik di area ritualistik atau pun nonritualistik di Istananya dalam segala waktu.
Disebutkannya, dalam konteks ini, ritualistik agama diturunkan oleh Tuhan dari nabi ke nabi–melalui wahyu–dalam rangka mendidik roh. Agar cahanya selalu berpendar agung mengalahkan gulita gegelapan.
Dengan demikian, maka ritualistik dan budi pekerti dan akal budi terpancar sebagai wujud cantik penuh kasih, damai, serta menebar kebaikan bagi sesama dan sekitarnya.
Sejatinya, agama tidak membawa gen perbedaan, tetapi bersumber kepada satu risalah, yakni Tuhan.
Konsepsi menganai Tuhan Maha Pencipta boleh jadi dibangun berbeda-beda di setiap melieun agama, sekte, dan mazhab. Namun, Tuhan yang menciptakan alam dan seisinya pastilah sama, tulis Gumilar.
Gumilar mencontohkan Al-Azhar dan Vatikan ketika menulis dukumen persaudaraan umat manusia di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019, sebagai simbolik untuk mendekatkan pemahaman mengenai hakikat umat manusia itu sendiri. Di tengah pertengkaran antarsaudara dan acaman kehancuran peradaban manusia.
Merebaknya paham ekstremisme, terorisme, dan perbuatan keji-terlarang lainnya menjadi ancaman kemanusiaan yang nyata. Perebutan tafsir kebenaran di atas tafsir lainnya penyebab sunyatan itu. Tusukan kata tafsir menyayat kulit perasaan orang, dan tikam menikam di atas tafsir kebenaran orang.
Dalam pesta perebutan ini, umat beragama ibarat sekumpulan orang yang salig cakar mencakar di atas perahu bocor yang melaju menuju pulau harapan. Mereka bukannya mencari titik persamaan nasib, untuk bersegara bersama mencari bahan untuk menutup kebocoran dan menjamin keselamatan pelayaran, malah sibuk mempertengkarkan klaim atas pulau harapan yang secara nyata belum pasti ada.
Lebih-lebih di media sosial, segala macam apa bisa lontarkan. Kebencian, kecemburuan, kekerasan, keresehan, kebahagiaan hingga kemesuman. Seperti kata Yudi Latif, di sana, orang-orang setiap hari hidup dan terhubung bukan untuk merajut persaudaran tapi membesikan permusuhan, bukan untuk mendekat tapi menjauh; bukan konvergensi tapi divergensi, bukan konsistensi tapi alienasi; bukan berbagi tapi negasi; bukan mengasihi tapi membenci.
Maka dari itulah, alangkah di bulan Ramadan ini baiknya jika kita saling menjaga perasaan. Menjaga hakikat persaudaraan dan berupaya untuk berpijak pada sisi kemanusiaannya yang dibangun oleh rasa budi pekerti arif sebagai wujud pemeliharaan roh yang diberikan oleh Sang Pemiliknya. Seperti kata imam besar Al-Azhar Mesir Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, “Kita harus mencari persamaan di antara berbagai paham yang berbeda.
Marilah kita menjaga masyarakat yang modern dan menerima perbedaan dan menjunjung tinggi persaudaraan.