Saya membaca buku Islam itu Ramah, Bukan Marah karya Irfan Amalee dan menemukan satu tulisan menarik. Tulisan itu berjudul “Seberapa Islamikah Kita?”. Tulisan dimulai dengan kisah para periset di George Washington University yang ingin mencari negara paling Islami di dunia. Mereka menginventarisir lebih dari 100 nilai-nilai Islam yang selanjutnya mereka sebut sebagai Islamicity index.
Para periset itu datang ke lebih dari 200 negara dan menemukan Selandia Baru sebagai negara yang paling Islami. Di mana posisi Indonesia? Rangking 140, satu level dengan negara-negara Islam lain yang berada di rangking 100-200.
Tak aneh jika kemudian Muhammad Abduh mengatakan: Saya tidak melihat Muslim di sini (Prancis), tapi merasakan (nilai-nilai) Islam. Sebaliknya di Mesir, saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam.
Hasil riset yang menempatkan Indonesia di posisi 140 ini menarik. Selama ini kita begitu bangga dengan titel “negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia”. Logika awam, harusnya kita berada di peringkat atas negara paling Islami. Namun, nyatanya, kita baru juara secara kuantitas, belum kualitas.
Jika Islam adalah bungkus, maka laku Islami adalah isi/esensi/substansi. Sampai di sini semoga kita tidak salah pilih. Bagus jika kita baik secara “kemasan” dan baik pula secara “substansi”. Menjadi persoalan jika kita sibuk dengan “kemasan” lalu melupakan isi.
Islam atau Islami? Di kelas yang saya ampu, pernah menghangat diskusi soal itu. Bermula dari pertanyaan: lebih penting mana, pemerintahan Islam atau pemerintahan Islami? Beberapa menjawab pemerintah Islam. Karena Islam mengatur segalanya, termasuk dalam urusan pemerintahan. Namun, sejumlah mahasiswa tak setuju. Bagi mereka lebih penting laku Islami daripada sekadar “citra Islam” atau “baju Islam”.
Salah seorang mahasiswa memberi contoh tentang sesuatu yang memperlihatkan “citra Islam” di luar, namun tidak Islami di dalamnya. Jadi, sebelum hari H pencoblosan mahasiswa ini menerima serangan fajar dari caleg partai X. Masalahnya, partai X ini adalah partai yang selalu mencitrakan diri sebagai partai Islam nomor satu. Di setiap kampanye mereka mengenakan atribut-atribut serba bertuliskan kalimat tauhid, mulai dari bendera, topi, ikat kepala, kaos. Menadi ironis ketika cara mereka menggaet pemilih dengan politik uang yang kotor (tidak Islami).
Mahasiswa lain menyampaikan Pancasila adalah sesuatu yang sangat Islami. Tidak ada kata Pancasila dalam Alquran, tentu saja. Tapi jika dicermati, Pancasila mencerminkan nilai-nilai Islam, oleh karena itu Pancasila dianggap sangat Islami. Di Pancasila kita menemukan konsep persatuan, musyawarah, keadilan dll. Konsep-konsep itu juga dengan mudah kita temukan dalam Islam. Sehingga, jika dihayati dan diamalkan (bukan sekadar “pajangan”) Pancasila dapat menjadi piranti mewujudkan masyarakat dan negara yang Islami.
Diskusi lalu berlanjut soal jurnalisme Islam. Adakah jurnalisme Islam? Istilah ini memang sempat jadi perdebatan. Andreas Harsono, pakar jurnalisme, cenderung menolaknya. Ia menyarankan sesuatu yang disebut dengan “jurnalisme Islam” itu bisa diganti dengan istilah “dakwah”. Lagipula, tanpa ada tambahan “Islam”, jurnalisme itu sendiri sudah Islami. Dalam jurnalisme terkandung prinsip cover booth side, faktual, dll. Prinsip-prinsip yang selaras dengan prinsip dasar Islam.
Diskusi tentang esensi dan substansi terus berlanjut. Mahasiswa menemukan banyak contoh terkait hal ini. Bagi mereka penting untuk membedakan Islam dan Islami. Nalar kritis membuat mereka tak ingin tertipu “kemasan”.