Akhir-akhir ini, publik dihebohkan dan disibukkan dengan penanganan kasus Corona. Semua elemen saling bahu-membahu menangani virus tersebut. Hingga mungkin sebagian dari kita lupa bahwa saat ini, kita memperingati satu peristiwa bersejarah, yaitu Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kita merayakan dengan gegap gempita penuh suka cita. Mulai dari perayaan resmi di istana negara, hingga masuk dalam kehidupan sosial pedesaan. Saat ini, di tengah pandemi corona, pilihan yang bijak adalah tidak merayakannya dengan skala besar nan meriah.
Ini juga dapat menjadi hikmah bagi kita semua. Sebab, kita selama ini seringkali terjebak dalam kegiatan seremonial yang melupakan substansi. Tentu idealnya, keduanya dapat berjalan bersama. Tetapi, jika hendak memilih, substansi kegiatan jauh lebih penting.
Karenanya, mari kita renungkan kembali spirit perjalanan Nabi Muhammad Saw. menghadap Tuhan dalam ruang-ruang keheningan. Jika penyair dan filsuf ternama, Muhammad Iqbal pernah diberi pesan oleh ayahnya, “Bacalah Al-Quran seolah-olah ia diturunkan kepadamu”. Maka boleh kita duplikasi ungkapannya menjadi, “Renungilah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi seolah-olah engkau sedang melakukan perjalanannya”.
Tentu hal tersebut tidaklah mudah. Dalam bahasa Hermeneutika Schleiermacher, untuk melakukan hal tersebut kita harus menyelami kondisi psikologis Nabi Muhammad kala melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj.
Melalui sejumlah literatur sirah nabawiyah, kita ketahui bahwa sebelum beliau diangkat ke langit, ada sejumlah peristiwa yang menyedihkan, sehingga disebut sebagai tahun penuh kesedihan (‘am al-huzn). Istri tercinta beliau, Khadijah wafat dan disusul paman Nabi yang selama ini berada di garda terdepan membela dakwahnya, Abu Thalib.
Di tengah kesepian, kesunyian, kesedihannya, dan ancaman dari orang kafir Quraisy, beliau memutuskan untuk mencari perlindungan ke Thaif. Alih-alih memperoleh perlindungan, justru cacian dan kekerasan yang diterimanya.
Sehingga lengkaplah penderitaan Nabi Muhammad. Perlu diingat, beliau tetap memiliki dimensi kemanusiaan yang membuatnya bisa sedih, menangis, marah, lapar, dll. Di tengah kesedihan tersebut, Allah pun memanggil kekasih-Nya. Melalui perantara malaikat Jibril, Nabi Muhammad diantar melakukan perjalanan di malam hari, dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, kemudian naik ke langit menghadap Ilahi Rabbi.
Sampai di sini, kita bisa membayangkan betapa di tengah kesedihan, Nabi Muhammad dikuatkan dengan perjalanan spiritual. Sama seperti kondisi saat ini, di tengah ketakutan dan kesedihan menghadapi wabah Covid-19, kita bisa belajar bahwa Allah selalu bersama kita. Innallaaha ma’ana.
Saat ini yang kita butuhkan bukan perjalanan ke Makkah, Madinah, atau tempat ibadah lainnya. Bukan. Perjalanan yang harus kita lakukan adalah perjalanan melihat diri, inner journey untuk mengetahui hakikat yang lebih besar, yaitu al-Khaliq, Sang Pencipta. Man ‘arafa nafsah, ‘arafa rabbah.
Perjalanan spiritual di tengah kesunyian perlu kita galakkan. Sebagaimana Nabi yang berjalan di tengah keheningan malam. Saat ini, waktunya kita beristirahat dari hiruk-pikuk kepenatan dunia. Waktunya kita kembali kepada ‘rumah’ kehidupan. Kita berdiam diri bukan karena kita tidak dapat melakukan apa-apa, tetapi itulah hal terbaik yang dapat kita lakukan saat ini.
Kita ketahui bersama juga, bahwa Nabi membawa ‘oleh-oleh’ dari perjalanannya menghadap Tuhan, yaitu ibadah salat. Salat sebagai mi’raj-nya orang beriman. Salat sebagai kekuatan kita dan meneguhkan kembali bahwa kita tidak boleh berputus asa.
Meski demikian, langkah-langkah medis seperti menjaga kebersihan, menjaga jarak di ruang sosial, dan anjuran kesehatan lainnya juga harus diperhatikan. Usaha fisik tetap dijalankan sebagaimana Nabi yang berusaha mengungsi ke Thaif, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Menemani usaha, doa yang kita panjatkan menjadi pelengkap yang tidak dapat dipisahkan.
Terakhir, belajar dari mi’raj-nya Nabi, betapa bahagianya beliau berjumpa dengan Tuhan, tidak membuatnya lupa dengan umatnya. Ia kemudian turun kembali ke bumi, membumikan pesan dari langit. Ini mengisyaratkan bahwa risalah yang dibawa Nabi merupakan risalah kemanusiaan. Seberapa dekatnya kita dengan Tuhan, tidak boleh melupakan tugas kita menegakkan kemanusiaan.
Maka menjadi manusia dan memanusiakan manusia menjadi pesan lain dari perjalanan Nabi Muhammad Saw. Tentu ada banyak lagi pesan dan hikmah yang dapat kite petik dari peristiwa bersejarah tersebut.
Pada akhirnya, social distancing menawarkan kondisi bagi kita untuk dapat melakukan perjalanan spiritual, bermunajat kepada Allah yang selama ini kita abaikan dalam perjalanan-perjalanan fisik material. Wallahu a’lam bish showwab.
Gamping, 21 Maret 2020 M/26 Rajab 1441 H, ditulis dalam ritual social distancing.