Jari-jari itu nguker di kaca. Memainkan tetesan air yang bergelantungan di kaca jendela karena ketumpahan air hujan besar. Jari-jari mungil itu terus memainkan air dengan menggambar orang berdoa. Tampak jari itu hanya manut apa kata pikiran orangnya. Jari itu berumur 5 tahun tahun.

Ketika masih sangat kecil, aku suka menggambar di mana saja. Di tanah, di pasir laut, di kertas, bahkan di kaca jendela langgar dan bis sering aku lakukan. Aku masih ingat saat bepergian melintasi selat samudra Sumenep-Situbondo. Saat itu aku hanya dibelikan kertas gambar, ketimbang buah rambutan oleh Ibu. Di perahu, aku menggambar ombak, kapal, dan orang-orang bersalat. Satu gambar yang masih aku ingat, dan menurutku itu gambar paling bagus dalam sejarah panjang hidup, saat menggambar gunung berperawakan muka wanita yang hidungnya mancung. Gunung ini memang disebut-sebut gunung wanita karena persis seperti muka wanita jika dilihat dari dasar laut. Aku menggambarnya di bawah terang bulan, di tengah lautan ombak pulau Penarukan, sebelum subuh tiba.

Di suatu ketika yang lain, aku menggambar di jendela langgar saat doa dipanjatkan. Dan aku dimarahin. Di masa itu, aku tidak tahu apa itu doa dan bacaan amin. Aku tidak tahu mengapa orang harus berdoa dan mengapa mereka begitu khusuk. Kadangkala, aku melihat, mereka memejam-mejamkan mata, melirik ke atas, ada tangannya diangkat ke langit, ada tangannya disisipkan ke mancong hidung, tetapi ada pula yang tangannya diayun-ayunkan ke atas ke bawah dengan disumpali tasbih yang dipelintir. Suara pun menggelagar. Ini di masjid.

Tetapi saat aku melihat orang bersalat di atas perahu dengan dihajar bantalan ombak, orang berdoa sangat lirih. Mereka hanya menunduk. Terasa sangat khawatir akan hadirnya “sesuatu.” Saat itu aku melihat kesamaan, yaitu orang-orang berpasrah. Apakah dengan berdoa, maka doa tersebut efektif dan memiliki hasil nyata dan tidak hanya berefek placebo?

Di suatu yang lain, aku juga menjumpai orang-orang berdoa. Mereka suaranya keras. Saling sahut-sahutan. Hal ini aku temukan saat aku pertama kali berziarah ke makam-makam terhormat, yang kini aku baru tahu adalah makam para wali. Orang-orang berdoa di samping makam para wali laki-laki. Saat itu aku tidak tidak tahu mengapa orang harus berdoa di samping makam, dan mengapa banyak makam yang dihampiri hanya makam wali laki-laki. Bukan wali perempuan.

Sampai saat ini pun, aku juga jarang melihat orang berdoa di samping makam perempuan. Apakah perempuan jarang yang jadi wali? Aku tidak tahu. Apakah wali laki-laki hidupnya sesama wali laki-laki bukan bersama perempuan? Dengan melihat keturunan yang hingga kini sering diperdebatkan “keturunannya” menandakan bahwa wali dulu hidup bersama perempuan. Layaknya Nabi Muhammad hidup bersama Siti Khotijah dan istri-istri yang lain. Saat ini aku agak yakin, Nabi Muhammad hebat dan wali dulu hebat (jangan-jangan) karena dorongan dari perempuan yang lebih hebat. Tetapi nama mereka “terlupakan.”

Di umur sejagung kriuk itu, aku suka melihat dan meniru cara orang berdoa pula. Kalau ke langgar, aku meniru cara berdoa guru langgar. Kalau ke Jumatan, aku meniru imam atau orang-orang yang berdiam tepat di sampingku saat Jumatan. Atau, kalau berziarah, aku sering meniru cara jemaah lain saat berdoa. Intinya, aku meniru cara berdoa yang berbeda. Itu aku lakukan kalau tidak ketiduran. Namun saat itu, aku jarang meniru cara berdoa seorang perempuan, utamanya ibu sendiri. Apakah karena perempuan jarang menjadi “tukang” di setiap perjumpaan orang? Itu bukan urusanku.

Saat beranjak dewasa, aku baru tahu kalau berdoa adalah sebuah permintaan. Tetapi mengapa harus meminta? Bukankah kalau Tuhan maha kaya, dia secara sendirinya akan mengasihi. “Tuhan itu tidak butuh doamu. Justru kamu yang butuh Tuhan. Kalau pun kamu berdoa atau tidak berdoa, Tuhan tetap ngasih apa pun yang tiada manusia berikan,” ceramah kiai yang pasti sering kita dengar baik di radio atau pengajian.

Ucapan kiai itu masih sangat membekas di ingatan hingga kini. Meski celoteh Bertrand Russell dalam Why I Am Not a Christian mengatakan bahwa doa hanya harapan palsu, dan karena itu tidak berguna, aku masih yakin kata kiai. Tetapi ketika Richard Dawkins dalam The God Delusion mempertanyakan apakah doa benar-benar memengaruhi realitas, aku agak berpikiran keras. Soalnya…

Aku dulu rutin ikut kompolan pengajian. Malam Sabtu ikut dibaan, lalu pembacaan kitab Ihya’ oleh lulusan senior pondok Sidogiri. Saat malam Senin ikut kompolan tahlilan, lalu diisi pengajian kitab Safina kadang Al-Hikam oleh kiai langgarku sendiri. Saat malam Jumat, aku ikut pengajian masyarakat. Malam Rabu ikut kompolan tani. Dan malam Kamis sebulan sekali, aku ikut pembacaan kitab macapat, yang sama sekali aku tidak tahu maksudnya. Malam Senin aku ikut berfutshal. Tetapi semuanya di atas itu kumpulan laki-laki. Perempuan hanya menjadi pembuat teh, kopi, dan makanan di dapur. Tidak ikut pengajian dan berdoa.

Pengalaman berdoa berlanjut hingga dewasa ini. Di setiap tempat, di setiap waktu, pembacaan doa sama saja. Namun yang unik, tatkala kiai-kiai menyuruh untuk mengisi doa sendiri saat di kalimat….. (silakan isi dan dan niatkan untuk keinginan para jemaah). Saat ada intruksi semacam itu aku jadi bingung mau berdoa macam apa. Karena di pikiran hanya terngiang-ngiang pemain bola. Maka saat itu aku cuma berdoa “Ya Allah, kalau ajunan mau, silakan saya jadiin seperti Delpero. Kalau nggak, ya Ronaldo nggak papa”.  Aku malu mengingatnya.

Kekosongan otakku membawaku berdoa seperti itu. Makanya, setiap aku disuruh berdoa, aku selalu mangkir, karena ingat kejadian itu. Sampai saat ini, aku seperti malu-malu ketika berdoa. Rasanya tidak pantas aja. Merasa tidak percaya diri.

Karena itu pula, pekerjaanku dulu, tiap ketemu kiai atau teman keluaran pondok yang selalu ngobrol tasawuf, aku selalu minta dituliskan teks doa. Aku biasa mengumpulkan teks-teks doa itu banyak banget. Ada yang panjang, ada yang singkat. Bahkan aku pernah dituliskan teks doa berbahasa Sumba. Biasanya mereka menuliskan keterangan doa diijazah daru guru ini-itu.

Saat aku di Jakarta, bahkan tanpa meminta aku diberi amalan doa oleh salah satu jemaah perempuan yang berziarah ke habib Kwitang. Anehnya, dia hanya menulis teks “subhanallah, laila ha lillallah.. Sollu alaihi Muhammad”. Sepanjang hidup, Ini baru pertama kalinya aku dikasih doa oleh perempuan tanpa meminta. Dan aku tidak tahu siapa dia dan berasal dari mana. Tampaknya mukanya sudah berkerut dan sepuh.

Di suatu kesempatan lain, aku melihat orang berdoa. Orang-orang ini menghampiri seorang habib. Dia bersimpuh di depannya. Dia menyodorkan amplop putih dan dimasukkan ke kantong jubah habib. Lalu tangan habib mengusab ubun-ubun sambil mendoakan orang ini.

Di tempat lain, aku juga melihat orang berdoa. Para perempuan datang ke hadapan ustaza ini. Mereka menyodorkan pecahan uang. Uang itu dimasukkan ke ember besar. Lalu orang ini didoakan sekecap dua kecap oleh ustaza ini. Yi, aku melihatnya pun kegirangan. Sekarang mendoakan orang dapat uang. Enak!

Di tempat lain aku juga melihat “jasa mendoakan” orang. Jasa ini kadang bentuknya bergerombol atau malah privat. Tergantung manajemen strategi marketing mendoakannya.

Kalau kita hari Minggu pagi jalan-jalan ke CFD Solo, maka kita akan menemukan orang membawa plang besar bertulis “Jasa Mendoakan”. Di bawah tulisan tersebut tertera nomor WA dan nomor rekening BRI. Jadi, kalau kita malu meminta didoakan saat di keramaian seperti fenomena habib dan ustaza di atas, kita bisa membuat janji lewat WA. Kemungkinan jasa doa ini tidak akan mencela orang, seperti doa-doa yang sering kita dengar saat demo dan acara-acara besar.

“Jalur pusat iki bolo, insyaallah manjur,” begitu komentar orang saat melihat bentangan plang “Jasa Mendoakan”. Kata orang, fenomena jasa mendoakan bentuk komodifikasi praktik keagamaan karena doa dikemas menjadi layanan yang dapat dibeli. Lah, sejak kapan doa gratis? Sejak saat aku kecil hingga tua kini, aku merasa pola konsumsi masyarakat modern terkait keagamaan cenderung mengutamakan efisiensi dan kemudahan, termasuk dalam praktik spiritual, termasuk cara mendoakan nasib dirinya sendiri.

Menurutku, fenomena jasa mendoakan menggambar dua hal. Ini mencerminkan kesenjangan sosial. Orang yang merasa tidak mampu atau kurang percaya diri untuk berdoa dengan baik mungkin memilih menggunakan jasa ini. Di saat bersamaan orang yang memiliki sedikit keagamaan malah menfaatkan ilmu agamanya untuk dijadikan “pasar doa” sehingga terjadi jasa mendoakan.

Apakah doa tersebut membuat seseorang pasif dalam menghadapi masalah hidup? Jika sudah melakukan transaksi jasa, apakah akan dijawab Tuhan bahkan untuk hal-hal yang baik dan mendesak? Wah, pertanyaan apa ini. Kayak Sam Haris aja. Oh ya, Sam Harris dalam The End of Faith mengatakan bahwa doa sering kali digunakan untuk menghindari tanggung jawab pribadi dan sosial orang. Apakah demikian? Ngeri sekali.

Tapi apa pun itu, orang mempertanyakan jasa mendoakan yang kerap kali kita lihat di pengajian dan di jalan, doa tetap harus kita panjatkan sebagai ritual kewajiban meski sedikit keikhlasan. Pembuka tahun baru sudah berdoa? Kalau malu-malu berdoa silakan kontak jasa mendoakan.

Bis Sugeng Rahayu, 31 Desember 2024

Komentar