Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi
“Mamas sebentar lagi pulang wamil. Kyaaaaa … “
Terpampang nyata foto seorang lelaki lengkap dengan sragam tentara khas Korea Selatan, lengkap dengan baret dan berpose menunjukkan salutation di depan kamera. Ok Taecyeon, salah satu former dalam grup idola lelaki korea selatan, 2PM, besutan agensi JYP Entertainment. Konfirmasi atas kepulangan Taecyeon dari tugas wajib militernya nyatanya membuat sejumlah penggemar K-POP kegirangan.
Mereka yang menyebut diri mereka sebagai fan K-POP akan sangat gemar menceritakan perkembangan keseharian serta kehidupan idolanya bersama dengan sesama penggemar yang lainnya. Bahkan, tak jarang mereka akan menabung agar bisa menyaksikan idola mereka melakukan konser di tanah air, dengan jarak yang tentu sangat jauh dari rumah, ditambah dengan harga tiket yang tidak semurah tiket masuk pertunjukan tong setan di pasar malam.
Kalimat dalam tanda kutip di atas adalah pesan singkat dari salah satu teman yang mengaku menjadi pengagum 2PM (Hottest), terutama Ok Taecyeon. Memanggil dengan kata “mamas” (dalam Bahasa Jawa bermakna kakak laki-laki, juga sebagai panggilan seorang istri kepada sang suami).
Receh memang. Namun hal ini benar adanya. Bagaimana kemudian banyak muslimah yang menggemari K-POP saat ini cenderung memiliki rasa kekaguman yang besar terhadap beberapa idola laki-laki yang tergabung dalam grup boy band Korea Selatan. Jika kemudian dipertanyakan, mengapa harus boy band Korea Selatan, mengapa tidak Indonesia saja? Jawaban menarik yang muncul adalah justru karena mereka dari Korea Selatan, dan bukan Indonesia.
Tidak bermaksud mendiskreditkan penyanyi ataupun grup idola dari Indonesia. Saya pikir banyak artis dan talenta-talenta muda Indonesia yang juga berbakat baik di dalam maupun di luar negeri. Afgan dan Raisa mungkin menjadi contoh mereka yang berbakat di bidang musik secara nasional. Lalu Agnes Mo, siapa yang tak kenal dara penyanyi yang juga memboomingkan karyanya di luar negeri ini. Akan tetapi, bukan di sini poin yang dibahas.
Grup idola Korea Selatan, baik boy band maupun girl band, pada akhirnya tidak akan terlepas dari lingkup kehidupan remaja muslimah Indonesia saat ini. Korean wave dan hallyu menjadi budaya pop Korea yang sarat penggemar ketika merambah ke Indonesia. Sekilas, hal ini boleh jadi tidak mungkin tidak beralasan. Menilik pada kekuatan Korea yang mengubah industrinya menjadi sebuah senjata negara. Bahkan, Winter Sonata (salah satu drama televisi terkenal di Korea tahun 2002), mampu menciptakan sebuah cerita mengesankan bahwa pria korea adalah “pacar” yang mengagumkan (Hong, 2014: 181).
Bicara tentang budaya korea, K-Drama boleh jadi merupakan salah satu penanda masuknya hallyu ke Indonesia. Namun demikian, perkembangan hallyu mulai merambah dan semarak seiring dengan munculnya idola dalam format boy band dan girl band yang mampu menghiasi sejumlah desktop background pada komputer dan laptop, latar laman chat pada android yang digunakan, sampai pada track list lagu yang kesemuanya berbahasa korea.
Masakan korea, kimchi dan teokbokki, seolah menjadi makanan kesukaan yang tiba-tiba dikonsumsi setiap hari. Di setiap kesempatan selalu memberi salam menunduk sembari berkata “annyeonghaseyo annyeonghaseyo”, yang entah pada siapa salam ini disebutkan dan boleh jadi tidak semua orang paham dengan apa maknanya. Sampai pada outfit of the day (OOTD) dengan boot ataupun wall shoes serta mantel berbulu yang dikenakan hanya menyampir di pundak. Percaya tidak percaya, sejumlah hal ini kerap dijumpai pada mereka yang menjadi penggemar EXO, BTS, Seventeen, dan Super Junior.
Salah satu teman mahasiswa yang juga penggemar hallyu pernah berkata bahwa dia mendapatkan beberapa video Korea bahkan dari teman lain yang merupakan anak pondok. Muslimah, anak pondok, namun banyak mengoleksi drama korea dan paham benar boy band group yang menjadi idola. Sejumlah member seolah menjadi tambatan hati sekaligus hiburan yang pada akhirnya menciptakan halu—sebutan yang kerap ditujukan pada penggemar berat dan fanatik.
Oke, mungkin hal ini cenderung kontradiktif. Di saat banyak remaja muslimah mengidolakan boy group Korea, ada pula yang menyebut bahwa menggemari idola Korea sama saja menggemari pemuja setan, terlalu berlebihan, disebut bid’ah dan tidak sesuai syariat. Menggemari para lelaki dan perempuan dari sebuah negara yang pada dasarnya kurang mengenal agama, cenderung atheis, dan terlalu duniawi. Tentu ini pada akhirnya memunculkan sejumlah perdebatan.
Segala sesuatu yang sifatnya terlalu berlebihan memang tidak baik. Dalam Islam pun juga dijelaskan demikian. Sama halnya dengan mengonsumsi makanan yang berlebih, pada akhirnya menyebabkan kita sakit perut dan tidak sehat. Namun, di luar dari itu semua, fenomena yang terjadi justru berkebalikan. Tanpa harus mencoba menghakimi satu sama lain, mengakui banyaknya perempuan muslim Indonesia yang memang menggemari K-POP, pada dasarnya lebih bersifat sosial dan pragmatis seiring dengan kemudahan informasi serta perkembangan teknologi saat ini.
Halu salah satunya, menjadi bentuk berlebihannya kekaguman penggemar terhadap idola. Bahkan, ketika sudah menunjukkan identitas dan polarisasi dalam kelompok fandom yang diikuti, tak jarang akan terjadi fan war pada beberapa kelompok berbeda tetapi bersinggungan. Padahal, sepanjang kekaguman ini dinyatakan secara wajar, tentu ini akan menjadi persoalan lain.
Hallyu dan halu pada akhirnya menjadi dua hal yang mengiringi keterkaguman para penggemar K-Pop di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tak dimungkiri, bagaimana keterkaguman ini sudah menjadi rujukan tersendiri bagi mereka yang menjadi penggemar. Fandom, merupakan kuasa kelompok yang mampu menunjukkan identitas tertentu bagi para penggemar. Gejala ini nyata dan memang perlu untuk disikapi. Namun, bukan berarti harus disalahkan ataupun disisihkan dengan sejumlah nilai yang diyakini secara sepihak. Marilah menjadi penggemar yang cerdas.
Penikmat Seni dan Media. Dosen KPI IAIN Surakarta.