Siapa yang tidak tahu kata ‘hoax’ saat ini?. Mulai dari orang kota hingga masyarakat pelosok desa, anak muda juga generasi tua, semuanya paham karena disebutkan berulang kali. Memang istilah hoax baru booming akhir-akhir ini ketika media sosial mulai digandrungi oleh setiap insan.
Tetapi, permasalahan hoax sebenarnya telah menjadi isu global dan menyejarah sejak Alquran pertama kali diturunkan. Bahkan, dosa pertama yang dilakukan oleh Adam dan Hawa ketika di surga juga diakibatkan oleh berita hoax yang disebarkan oleh iblis seputar khasiat buah khuldi.
Lantas bagaimana Alquran menyikapi hal tersebut?. Imam Abdul Rahman Nashir bin Abdullah Al-Sa’di (w. 1956 M) -ulama tafsir dari Arab Saudi- dalam kitabnya, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir Alquran, menjelaskan sebagai berikut:
يأمر الله بالتثبت وعدم العجلة في الأمور التي يخشى من عواقبها ويأمر ويحث على المبادرة على أمور الخير التي يخشي فواتها
“Allah memerintahkan agar mengecek kebenaran perkara-perkara yang dikhawatirkan akan mendatangkan keburukan dan tidak segera mengambil tindakan terhadapnya, tetapi memerintahkan dan menganjurkan bergegas melakukan kebaikan yang dikhawatirkan akan luput”.
Memahami kaidah tersebut, setidaknya ada dua poin utama, pertama, upaya tabayyun/klarifikasi terhadap berita yang berpotensi memecah belah masyarakat dan tidak segera membagikan berita tersebut. Cek kembali kebenaran beritanya atau jika tidak mampu, lebih baik diam, tidak perlu disebarkan. Hal ini senada dengan firman Allah dalam Surat al-Hujurat ayat 6:
- Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Al-Sa’di menambahkan untuk bagian pertama ini termasuk kesadaran dan kemauan untuk berdialog dan bermusyawarah pada setiap urusan dan tidak mengatakan sesuatu yang belum diketahui kebenarannya. Jika dialog ini dihilangkan, maka yang ada hanya monolog. Kita selalu berkicau di media sosial, berbicara asal, tapi bisa menjadi viral, urusan moral, tak perlu jadi soal.
Dialog itu penting agar kita bisa mengklarifikasi kebenaran dan melihat realitas kehidupan yang beragam. Hidup bukan hanya soal diri pribadi, tetapi juga keterbukaan untuk melihat sang ‘liyan’ sebagaimana diri ini ingin diperlakukan. Karenanya saring sebelum sharing adalah upaya Qurani yang harus dilakukan agar kita tidak terjerumus pada dosa hoax.
Kedua, kaidah tersebut juga mengajarkan kita untuk bersegera melakukan kebaikan, menarasikan perdamaian, dan menyebarkan Islam yang penuh kesejukan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 148:
- Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.
Ayat tersebut memerintahkan kita untuk bersegera melakukan kebaikan, bukan berlomba untuk merasa paling benar. Sebuah anomali yang saat ini terjadi, di mana kita lebih sering mengklaim kebenaran daripada menampilkan kebaikan.
‘Ala kulli hal, jika hendak menyederhanakan kaidah tersebut, Allah menyuruh kita untuk mengecek kembali berita-berita yang berpotensi menyakiti orang lain, bernada kebencian dan permusuhan serta menyebarkan secepatnya narasi perdamaian, santun, dan penuh kesejukan.
Namun realitanya, jauh panggang dari api. Berita hoax lebih laku di pasaran daripada narasi kerukunan. Sehingga pertanyaannya, tuntunan apa yang kita ikuti jika prinsip Alquran kita abaikan. Alih-alih mengejar surga, justru yang ada hanyalah neraka.
Surga itu tempatnya cinta, maka mari tebarkan cinta untuk bisa masuk ke dalam surga. Sebaliknya, neraka itu tempatnya kebencian dan kesengsaraan. Jika tak ingin menjadi penghuninya, jangan tanamkan kebencian. Oleh karena itu, mulai dari sekarang mari bijak menggunakan media sosial. Dengan media sosial yang hanya sepanjang ketikan tangan, jangan tanam apa pun kecuali cinta.
Pada akhirnya, semua kembali pada netizen yang mulia. Apakah mau lanjut dengan nyinyiran permusuhan ataukah hendak hijrah bersama Islam Santun, “Wani Urip, Wani Santun”.