Setiap tahun, saat Ramadan tiba, jutaan umat Islam di seluruh dunia berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam. Bagi banyak orang, ini berarti perubahan sementara, yaitu jadwal makan yang berubah, salat malam tarawih, dan kesempatan untuk merefleksikan diri.
Namun, di luar ketaatan beragama, puasa memiliki makna sosial yang lebih dalam. Ia berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman pribadi dan keadilan sosial. Dengan berpuasa, seseorang menumbuhkan empati bagi mereka yang merasakan rasa lapar setiap hari, memikirkan ketimpangan yang ada, dan memantik pemahaman baru tentang kemiskinan.
Puasa bukan sekadar ujian ketahanan, tetapi latihan solidaritas yang radikal, yang tidak hanya mengubah individu, melainkan juga cara masyarakat memandang keadilan dan kepedulian .
Kelaparan sebagai Realitas yang Tak Terlihat
Bagi banyak orang yang berpuasa, rasa lapar adalah sensasi yang asing, yang secara instingtual ingin dihindari, tetapi itu hanyalah ketidaknyamanan yang dapat dengan mudah diatasi begitu azan magrib berkumandang. Namun, bagi jutaan orang di seluruh dunia, rasa lapar bukanlah pilihan, melainkan realitas sehari-hari.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 800 juta orang menderita kekurangan gizi kronis, tetapi mereka yang tidak pernah menghadapi kekurangan pangan sering kali kesulitan memahami beratnya penderitaan tersebut.
Dalam hal ini, puasa memberikan gambaran sekilas tentang realitas ini. Dengan sengaja menahan diri untuk tidak makan dan minum, bahkan untuk waktu yang terbatas, seseorang mulai memahami kerentanan dan kesulitan yang dialami banyak orang.
Kekosongan yang menggerogoti perut, tenggorokan yang kering, dan kelelahan yang menyertai puasa bukan sekadar tindakan simbolis. Semua itu merupakan pengalaman hidup yang menciptakan jembatan pemahaman antara mereka yang beruntung dan mereka yang kurang beruntung.
Rasa lapar sementara ini dapat menjadi pelajaran yang kuat bagi semua muslim di bulan Ramadan. Hal ini mengalihkan fokus dari melihat kemiskinan sebagai masalah abstrak menjadi mengalami—dalam cara yang terbatas—apa artinya kekurangan.
Yang lebih penting, hal itu dapat menyadarkan ketidakpedulian yang sering kali melingkupi percakapan tentang kemiskinan. Tiba-tiba, statistik tentang kelaparan tidak lagi menjadi angka yang jauh, melainkan justru statistik tersebut menjadi sangat pribadi, sebab dialami sendiri.
Lebih lanjut, puasa juga menggasibawahi kontras yang mencolok antara keberlimpahan dan kelangkaan. Di banyak masyarakat, konsumsi makanan yang berlebihan dan pemborosan hidup berdampingan dengan kemiskinan ekstrem. Supermarket dipenuhi dengan berbagai pilihan, restoran membuang makanan yang tidak dimakan, dan, tidak jauh dari situ, ada orang-orang yang berjuang untuk menemukan makanan untuk hari berikutnya.
Puasa Ramadan membuat ketidakseimbangan semacam itu tidak dapat lagi diabaikan. Penantian lapar dan haus hingga matahari terbenam, persiapan makanan yang cermat, dan rasa syukur atas makanan saat berbuka puasa menciptakan kesadaran akan konsumsi.
Banyak orang, saat berpuasa, mulai merenungkan hak istimewa mereka sendiri, seperti betapa mudahnya mengakses makanan, seberapa banyak yang mereka anggap remeh, dan seberapa sering mereka menyia-nyiakan apa yang sangat dibutuhkan oleh orang lain.
Kesadaran tersebut secara alami menuntun kita pada pertanyaan etika yang lebih dalam: tanggung jawab apa yang kita miliki terhadap mereka yang mengalami kelaparan bukan sebagai ketaatan beragama, tetapi sebagai kondisi yang tidak dapat dihindari dalam hidup mereka? Maka, puasa menuntut evaluasi ulang tidak hanya terhadap kebiasaan pribadi, tetapi juga ketidakadilan sistemik yang menciptakan dan mempertahankan kemiskinan.
Amal dan Distribusi Ulang Kekayaan
Salah satu prinsip dari inti puasa dalam Islam adalah hubungannya dengan amal, khususnya zakat dan sedekah. Ramadan dianggap sebagai bulan kedermawanan, dan umat Islam didorong untuk memberi lebih banyak kepada mereka yang membutuhkan. Namun, amal dalam konteks ini bukan hanya tentang memberi, melainkan utamanya mengenali dan mengatasi kesenjangan sosial.
Dengan kata lain, puasa mengajarkan bahwa kelaparan bukan sekadar perjuangan individu, tetapi kegagalan sosiologis. Jika jutaan orang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sementara yang lain malah hidup berlebihan, maka masalahnya bukan hanya kemalangan pribadi, tetapi ketidakadilan struktural.
Oleh sebab itu, tujuan amal bukan sekadar untuk meringankan penderitaan sementara, tetapi untuk memikirkan ulang dan menantang sistem yang menciptakan dan mempertahankan disparitas atau kesenjangan ekonomi.
Dalam banyak hal, tindakan puasa itu sendiri adalah tindakan simbolis perihal distribusi ulang. Dengan mengalami kekurangan secara sukarela, individu yang berpuasa menyelaraskan diri—meskipun hanya sebentar—dengan penderitaan orang lain.
Kendati demikian, keadilan sosial sejati menuntut lebih dari sekadar gerakan simbolis. Hal ini membutuhkan tindakan. Inilah sebabnya mengapa Ramadan menekankan pemberian, pembagian, dan advokasi untuk perubahan, menjadikan puasa bukan sekadar disiplin pribadi, melainkan panggilan religius untuk tanggung jawab sosial.
Melampaui Ramadan: Puasa sebagai Panggilan untuk Keadilan
Tantangan sesungguhnya dari puasa dan keadilan sosial terletak pada apa yang terjadi setelah Ramadan berakhir. Apakah pengalaman kelaparan memudar begitu pola makan normal kembali? Atau apakah hal itu meninggalkan dampak yang bertahan lama, membentuk kembali pemahaman seseorang tentang keadilan dan ketimpangan?
Agar puasa benar-benar berkontribusi secara riil pada keadilan sosial, puasa seseorang mestinya menginspirasi tindakan di luar Ramadan. Ini dapat berupa dukungan terhadap program bantuan pangan, advokasi upah yang adil, pengurangan sampah pribadi, atau keterlibatan dalam upaya masyarakat untuk mengatasi kesenjangan. Inti dari puasa bukan sekadar merasa lapar, tetapi juga membiarkan rasa lapar itu mengubah pandangan dunia seseorang.
Artinya, dalam Islam, puasa adalah pengingat bahwa iman tidak terpisah dari tanggung jawab sosial. Puasa menyerukan umat beriman untuk tidak hanya mencari kesalehan personal, melainkan utamanya juga untuk memperjuangkan dunia yang lebih adil dan penuh kasih sayang.
Ringkasnya, puasa, dalam bentuk terbaiknya, bukan hanya tentang berpantang makan. Ini tentang “berbuka puasa dengan rasa keadilan yang baru”, tentang memastikan bahwa, dalam jangka panjang, lebih sedikit orang yang mengalami rasa lapar, tidak hanya selama Ramadan, melainkan setiap hari dalam hidup mereka sehari-hari.