Catatan Perjalanan Anjangsana Pancasila #7
Ada beberapa catatan penting dari anjangsana Pancasila yang dilakuan tim BPIP ke Jawa Tengah kali ini. Catatan ini bisa dijadikan bahan kajian untuk melihat daya tahan ideologis masyarakat, strategi mempertahankan nilai dan tradisi di tengah kontstasi ideologi dan budaya, proses munculnya ide kreatif untuk melakukan gerakan serta faktor-faktor pendorong gerakan.
Terkait dengan munculnya ide kreatif, rata-rata berasal dari rasa keprihatinan terhadap situasi yang ada. Berdirinya Rumah Pancasila di Semarang didorong oleh rasa keprihatinan melihat kemiskinan dan banyaknya penderitaan yang dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Sedangkan komunitas Merah Putih dan Kebhinekaan Solo serta Jamaah Kopdariyah Magelang muncul sebagai keprihatinan atas munculnya fenomena keretakan sosial yang ada di masyarakat karena pengaruh medsos. Munculny hoax, caci maki dan ujaran kebencian yang marak di medsos telah berdampak pada terjadinya polarisasi dan segregrasi sosial. Fenomena inilah yang mendorong mereka melakukan tindakan untuk menjebol sekat-sekat yang ada di masayrakat melalui gerakan komunitas.
Selain karena adanya fenomena segregasi sosial dan polarisasi masyarakat, gerakan ini muncul sebagai respons atas tergerusnya berbagai tradisi dan budaya adiluhung yang memiliki nilai-nilai luhur dan relevan dengan Pancasila. Ini tercermin pada gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh komunitas seni Borobudur, Magelang, kampung Seruni dan masyarakat desa Buntu, Wonosobo serta jamaah masjid Al-Mansyur, Wonosobo. Pada komunitas ini, dorongan untuk menggali dan mengaktualisasi nilai-nilai yang ada pada seni dan tradisi lokal terlihat kental sekali. Hal ini berbeda dengan kelompok pertama yang pijakannya bukan pada tradisi tetapi pada kebudayaan secara umum, meski tetap mengggali seni tradisi.
Jika dicermati ada kesamaan pola terbentuknya gerakan kebudayaan komunitas. Pola tersebut adalah; Pertama, adanya keresahan terhadap situasi dan realitas sosial yang menumbuhkan kesadaran untuk peduli dan membangkitkan rasa empati. Kesadaran inilah yang mendorong sang aktor (inisiator) untuk melakukan sesuatu, merespons keadaan. Dia mulai mencari teman yang sevisi untuk melakukan gerakan bersama hingga terbentuk komunitas kecil yang aktif melakukan kegiatan. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh komunitas kecil ini muncul jaringan dengan stake holder lainnya. Dari sini muncul dorongan untuk melakukan konseptualisasi atas gagasan dan gerakan untuk ditawarkan kepada mitra. Setelah berkembang, muncul kebutuhan untuk membentuk lembaga sebagai wadah gerakan; sanggar, yayasan dan sebagainya. Melalui lembaga ini, mereka kembali melakukan kegiatan.
Dalam konteks ini, saya melihat pelembagaan benar-benar difungsikan sebagai wadah dan instrumen untuk melakukan gerakan, bukan sekedar sistem formal untuk memenuhi tuntutan birokrasi. Ini dibuktikan, banyak sanggar yang secara formal tidak memenuhi stradar birokratik, sehingga mereka tidak bisa memperoleh bantuan dari pemerintah, karena dianggap tidak memenuhi persyaratan. Meski demikian mereka tetap beraktivitas, menggerakkan komunitas melakukan gerakan kesenian dengan biaya swadaya. Spirit dan komitmen mereka melampuai sttandar birokratik formal yang ditetapkan pemerintah.
Hal lain yang manarik dicatat adalah, semua gerakan komunitas tersebut merupakan gerakan kebudayaan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom). Artinya, kearifan lokal menjadi sumber inspirasi untuk membangun gerakan sekaligus kekuatan yang mendorong tumbuhnya kesadaran melakaukan gerakan. Sebagaimana dijelaskan Haba ( 2007), kearifan lokal menjadi pendorong atas terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak solidaritas komunal.
Alfian (2013: 428), mendifinisikan kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Merujuk pada pengertian tersebut, maka kearifan lokal di sini diartikan nilai-nilai, ide, dan pandangan bijak yang berlaku di suatu komunitas lokal yang ditanamkan, dijalankan, dipatuhi dan diwariskan oleh para anggora komunitas tersebut. Sebenarnya nilai kearifan tersebut bersifat universal, kelokal terletak pada bentuk penerapan, ekspresi serta cara menanamkan dan mewariskannya. Kearifan lokal ini terbentuk dari kumpulan pengalaman dan pemahaman masyarakat terhadap alam dan lingkungan masyarakat. Inilah yang menyebabkan kearifan yang universal tersebut menjadi lokal karena diekspresikan dan dekonstruksi sesuai dengan kondisi lingkungan dan pengalaman hidup komunitas tersebut. Kearifan lokal pada umumnya diwariskan dari mulut-ke mulut melalui kesenian atau permainan rakyat.
Wujud kearifan lokal yang bisa dilihat dari komunitas yang ada di Jawa Tengah ini adalah nilai peduli pada sesama yang ditunjukkan oleh Rumah Pancasila melalui kegiatan sosial budaya yang bernuansa lokal, sikap teposliro dan menjaga kerukunan yang tercermina pada komunitas Bhineka Tunggal Ika dan Merah Putih di Solo, Kesadaran menjaga lingkungan dan menegakkan nilai-nilai Pancasila yang ada dalam berbagai bentuk tradisi tercermin pada gerakan komunitas seni Magelang dan relief yang ada di Candi Borobudur, kesadaran membangun toleransi beragama terlihat pada warga desa Buntu dan jamaah masjid Al-Mansyur serta transformasi budaya yang terlihat pada warga Dusun Seruni.
Dalam perspektif sosiologi, kearifan lokal di sini berperan dalam membangungun atau memperkuat interaksi asosiatif (Soerjono Soekanto; 1986) yaitu hubungan sosial dalam masyarakat yang terbangun karena adanya kehendak rasional dan penuh kesadaran antar elemen untuk menjalankan berbagai bentuk kesepakatan bersama dan menjaga serta menghormati norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat.masyarakat. Proses ini mengarah pada penguatan ikatan sosial yang ada dalam masyarakat. Di sisi lain, kearifan lokal di sini juga berperan sebagai respon sekaligus penangkal atas terjadinya interaksi dissosiatif, yaitu bentuk hubungan yang mengarah pada terjadinya percahan, segregrasi dan konflik sosial.
Dari laku hidup komunitas-komunitas ini kita juga bisa melihat, bagaimana wajah agama yang yang selama ini terlihat sangar, garang, menyeramkan dan menakutkan itu menjadi terlihaat ramah, teduh dan menyenangkan. Apa yang mereka laukan merupakan cermin sikap beragama dan bertuhan yang berkebudayaan, sebagaimana yang diinginkan Soekarno saat menjelaskan sila-sila Pancasila dalam pidatonya di sidang BPUPK.
Di tangan para seniman dan aktivis penggerak sosial budaya, kearifan lokal telah menjadi “vaksin kultural” yang mampu meningkatkan “imunitas” ideologi Pancasila. Artinya, kearifan lokal yang diejawantahkan dalam berbagai gerak sosial budaya telah membuat masyarakat merasakan secara nyata indahnya hidup berpancasila. Mereka merasakan langsung manfaat Pancasila dalam kehidupan. Kondisi inilah yang menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sehingga mereka bisa menolak ideologi lain yang akan menggantikan Pancasila. Peningkatkan daya tahan ideologis masyarakat terhadap Pancasila inilah yang saya sebut dengan “imunitas ideologis” yaitu kemampuan menolak dan melawan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
“Imunitas ideologis” ini akan meningkat jika “vaksin kultural” bisa disebarkan secara massif di kalangan masyarakat dan seluruh warga bangsa Indonesia. Melalui penyebaran “vaksin kultural” yang bisa meningkatkan “imunitas ideologis” inilah masyarakat akan menjadi benteng efektif gerakan radikalisme, intoleransi, liberalisme dan ideologi lain yang menggerogoti bangsa dan negara Indonesia. (Bersambung)***