Tarjuman al-Asywaq, yang berarti, Tafsir Kerinduan, ditulis oleh Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Penulisan karya ini dilatari oleh respons positif penduduk Mekkah atas ajaran sufinya.

Ibn ‘Arabi mendatangi kota Mekkah pada 598 H/ pertengahan 1202 M. Di sana, ia mendapat perhatian besar dari seorang bernama Abu Syaja’ Zahir ibn Rustam dan putrinya, Nizam. Zahir ibn Rustam sendiri adalah seorang guru sufi yang menduduki posisi penting di kota Mekkah saat itu.

Dari sanalah cerita ini dimulai.

Ibn ‘Arabi menggambarkan bahwa putri guru (Zahir ibn Rustam) itu adalah seorang perempuan yang berparas “super-cantik” dan mempesona, memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, serta pengalaman spiritual yang mendalam. Pada dirinya kecantikan jasmaninya berpadu dengan kebijaksanaan rohani yang agung.

Bagi Ibn ‘Arabi, tulis Henry Corbin (1969), Nizam adalah laksana Beatrice bagi Dante; baginya ia adalah sebagai manifestasi duniawi, tokoh teofanik, dari sophia aeterna.

Pada akhirnya, Ibn ‘Arabi terilhami oleh perempuan “super-cantik” itu untuk menulis sekumpulan puisi amat indah, yang terangkum dalam kitab berjudul Tarjuman al-Asywaq.

Sampai di sini, adakah di antara kita yang juga mengalaminya? Menulis puisi cinta untuk pujaan hati, meski kadang berakhir tragis, bertepuk sebelah kaki. (Sekadar intermezzo)

Kembali lagi ke perempuan “super-cantik” Nizam yang menginspirasi.

Meski demikian, karena tulisan itulah, Ibn ‘Arabi oleh sebagian ulama di masanya, justru dituduh telah mengumbar hasrat melalui puisi-puisi tentang cintanya yang didorong oleh hawa nafsu. Dan secara lahiriah, Tarjuman al-Asywaq, memang terkesan membenarkan tuduhan itu, tetapi secara batiniah, karya tersebut, sebagaimana dibelanya kemudian dalam Zakha’ir al-‘Alaq, ditujukan kepada Allah, perkara-perkara samawiyah dan kenikmatan menyatu dengan Allah.

Sungguh menarik. Bahwa perempuan bagi Ibn ‘Arabi menjadi ilham dan inspirasi yang kuat dalam olah rohani-spiritualnya. Pengetahuan tentang makna spiritual dari perempuan itu juga terbukti pada bab terakhir dalam Fusus al-Hikam, di mana ia menafsirkan sabda Nabi: “Ada tiga hal yang dicintakan kepadaku di dunia ini: perempuan-perempuan, wewangian (parfum), dan shalat”.

Sedangkan bagi para ulama eksoterik, pada umumnya menolak puisi sebagai sesuatu yang sesuai dengan perasaan-perasaan religius yang, menurut mereka, terlalu erotik untuk kepekaan kesalehan.

Tarjuman al-Asywaq menjadi populer lantaran Ibn ‘Arabi sendiri menuliskan syarh atas karyanya itu, demi membuktikan kepada sebagian ulama, bahwa puisi tersebut menjelaskan kebenaran (cinta) spiritual, bukan cinta profan.

Ibn ‘Arabi bahkan tidak hanya menulis komentarnya dalam Zakha’ir al-‘Alaq, tetapi di Futuhat-nya, ia juga menyelipkan beberapa pembelaan atas puisi-puisinya itu: “Semua puisiku itu berkaitan dengan kebenaran-kebenaran Ilahi dalam pelbagai bentuk, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat-tempat, dan bintang-bintang”.

Di lain sisi, ini juga menunjukkan betapa Ibn ‘Arabi merupakan seorang penyair Arab yang produktif dan layak diperhitungkan.

Komentar