Sebagaimana kelahiran, kematian bagian titah Tuhan. Keberadaan manusia di dunia, datang dan pergi. Ada kebahagiaan dan juga kesedihan, saat kelahiran dan atau kematian tiba.

Kematian bukan kebalikan kehidupan. Karena kematian adalah kepulangan, saat Sang Mahacinta memanggil ruh ciptaan-Nya: irji’ī… dan kita diajarkan, kelak kepulangan adalah bagian dari panggilan yang indah. Bagaimana tidak, kita dipanggil oleh Sang Kekasih. Seruannya juga romantis: wahai jiwa yang tenang. Begitulah logika Allah yang diajarkan kepada manusia melalui firman-firman-Nya.

Tapi, boleh jadi tidak semua manusia dalam seruan itu. Setiap diri akan mati, tapi kematiannya bukan dalam ruhaniah pulang yang indah. Bukan dalam panggilan yang mesra. Itulah sebabnya, sebagian orang takut mati. Ia takut hakikatnya bukan karena memasuki dunia kematian, tapi takut karena kehilangan kematerialan yang fana. Kita sering bicara indahnya keabadian, tapi sebagian orang lebih suka kefanaan. Itulah ambiguitas manusia. Atau, bisa jadi tidak percaya pada keabadian. Atau percaya tapi setengah hati, karena hanya muncul saat kesulitan mendera.

Apakah kematian itu sakit? Banyak orang bertanya seperti itu. Bukankah kita belum pernah menjalaninya? Yang lain menimpali juga dengan tanya. Sakit itu terjadi, bisa jadi, bukan karena kematian, tetapi karena kita takut meninggalkan dunia. Susah melepas dari semua atribusi material yang menempel pada diri. Berat melepas dari apa yang dipersepsikan sebagai kenikmatan di dunia. Maka, para guru sufi mengajarkan kepada kita untuk belajar “meninggalkan dunia” sebelum “meninggal dunia”. Meninggalkan dunia dalam pengertian memosisikan dengan benar segala atribusi dunia, laku dunia serta segala rasanya yang didefinisikan sebagai kenikmatan dunia.

Tidak sedikit orang memburu kenikmatan dunia itu, tapi keliru yang diburu dan keliru pula cara dan tujuannya. Karena tidak memiliki peta ruhaniah yang digunakan untuk memandu.

Begitulah. Datang dan pergi, setiap saat, kematian dan kelahiran. Ribuah bayi lahir, dan ribuan orang mengalami prosesi kepulangan: mati. Di era pandemi ini, berita kematian datang bertubi-tubi, silih berganti. Meski ada peristiwa kelahiran, tetapi ia tenggelam dalam hiruk berita kematian. Belum lama tetangga wafat. Lusa kerabat wafat. Kemarin teman atau suami/istri teman wafat. Dalam satu hari dua guru spiritual wafat. Hanya berselang dua hari para penerus Nabi  itu wafat. Belum sempat duka diluruhkan, berita kematian tiba, bertubi-tubi.

Sedihkah? Tentu. Ketika para guru sufi, kiai dan para Kekasih wafat, kita kehilangan mata air keilmuan dan sekaligus sumber keteladanan. Kesedihan dan air mata boleh jadi dalam sebulan mulai surut, tapi keteladanan dan ilmu-ilmu mereka tak mudah dicari gantinya. Tak mudah dikloning.

Sudah ratusan para kiai wafat di era pandemi ini dan juga ribuan orang dengan beragam atribusi yang melekat pada diri. Meski tidak semuanya disebabkan virus Covid-19. Tapi nyata, bahwa virus ini telah menjadi salah satu dari sekian jalan kematian.

Kebetulan istri saya bekerja di Dinas Kesehatan dan setiap hari mentracing orang-orang yang kena virus Covid-19 dan mereka yang kontak erat dengan pasien. Setiap hari, berita tentang orang-orang yang bergejala, suspek, positif, dan kontak erat, datang tanpa kenal jeda. Hari-hari begitu sesak dengan haru-biru mengatur dan mendampingi pasien. Kalau rumah sakit sudah mulai sesak di sejumlah tempat, sungguh itu fakta yang terjadi.

Reaksi pasien, saudara, kerabat, atau orangtua mereka, beragam. Nano-nando pokoknya. Ada yang patuh dan ada yang abai. Ada yang tak mau diswab, karena takut sakit. Tapi ada yang merasa tak perlu swab, karena setiap hari tubuhnya telah disiram air wudu. Ada juga yang merasa aman karena, setiap hari, ribuan bacaan fatihah telah diwiridkan. Mereka yakin, dengan lelaku itu, virus Covid-19 tak menembus tubuhnya. Ada juga yang merasa cukup dengan meditasi corona bisa  sirna dari tubuhnya.

Reaksi yang beragam ini, boleh jadi, disebabkan oleh pandangan mereka mengenai kehidupan dan kematian. Pandangan ini yang membentuk perilaku dan sikap dalam menghadapi kehidupan, termasuk dalam menghadapi virus. Seringkali manusia silap bahwa banyak jalan, yang menjadi penyebab, kematian datang. Dan virus Covid-19 adalah salah satunya.

Sebagai jalan kepulangan, kematian selaiknya tidak perlu  dirisaukan. Tapi bukan berarti kita abai pada jalan-jalan yang menjadi penyebabnya. Bukankah menjaga kehidupan diri bagian dari tugas kemanusiaan.

Untuk para guru, kiai, santri, kawan, kerabat, dan semua diri yang telah pulang ke abadian, baik disebabkan  sakit atau tidak, karena covid atau tidak, semoga pulang dengan husnul khatimah. Memperoleh maqam yang membahagiakan. Lahum al-fātihah.[]

Komentar