Nur Kholis*
Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
(Di depan memberi teladan, di tengah menjadi penyemangat, dari belakang memberi dukungan).
Spirit pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara dewasa ini, tak hanya guru dan dosen selaku pendidik formal yang mengemban amanat dari filosofi tersebut, melainkan segenap bangsa Indonesia wajib hukumnya untuk mengamalkan, karena hakikat setiap insan adalah pendidik.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Efendi di kolom opini Kompas edisi Jumat (03/5/19) menulis: Bangsa yang cerdas kehidupannya tidak saja merupakan amanat, tetapi sekaligus gambaran yang diberikan bapak bangsa dalam menyusun konstitusi dengan mengabadikannya ke dalam alinea keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan dari pendidikan nasional ialah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, hal ini sesuai yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Muhadjir Efendi, tujuan tersebut merefleksikan perlunya sumber daya yang memiliki kecerdasan literasi yang komprehensif dalam bingkai moralitas bangsa Indonesia yang religius dan demokratis.
Hadirnya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah naungan Kementerian Agama (KEMENAG) diharapkan mampu untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Dalam hal ini, ikhtiar pemerintah melalui Kemenag dirasa tepat untuk mencetak generasi yang religius, bertanggung jawab, kreatif, dan mandiri. Akan tetapi, jumlah PTAIN dengan wilayah seluas Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dirasa masih sangat kurang.
Mencetak generasi yang religius bertanggung jawab, kreatif, dan mandiri tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada banyak aspek yang harus disiapkan, mulai dari kurikulum pembelajaran, sarana prasarana, fasilitas kegiatan belajar, dosen yang kompeten hingga regulasi yang matang.
IAIN Surakarta, kampus kita, mempunyai visi “Menjadi World Class Islamic University di Level Asia Dalam Kajian Sains yang Terintegrasi Dengan Kearifan Lokal pada 2035.” Visi ini terbilang berat jika mengaca pada kondisi mutakhir. Sebelum menindaklanjuti visi tersebut, para pemangku kebijakan hendaknya peka dan peduli pada kondisi anak didiknya.
Sejauh ini tak semua mahasiswa yang mendaftar di IAIN Surakarta adalah alumni pesantren yang sudah memiliki bekal ilmu agama. Banyak di antara kawan saya yang belum bisa membaca Quran dengan lancar, bahkan belum bisa membaca sama sekali.
Tak aneh jika para mahasiswa baru akan memperoleh program wajib, yang biasa disebut dengan SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Program ini ditujukan bagi mahasiswa baru, dengan tujuan menyaring mahasiswa yang sudah kompeten dalam bidang agama dan mana yang belum. Adapaun materi yang diujikan ialah ubudiyah dan Qiroatul Quran beserta tajwidnya. Mahasiswa yang tidak lolos dalam tes, akan memperoleh bimbingan dari dosen. Antusiasme mahasiswa dalam program ini terbilang tinggi. Salah satu teman saya tidak bisa tidur sebelum tes berlangsung, dia rela begadang demi menghafalkan doa-doa salat dilanjutkan dengan belajar membaca Quran. Dia takut betul karena jika gagal, otomatis tidak akan memperoleh sertifikat yang konon akan berguna sebagai syarat ujian munaqosah.
Sayangnya, pembekalan SKL bagi mahasiswa yang tidak lolos terkesan tidak serius. Mahasiswa hanya disuruh setoran kepada dosen pembimbing tanpa adanya bimbingan terlebih dahulu. Hal ini jauh berbeda dengan metode yang berlaku di pesantren. Pembelajaran di pesantren mengedepankan proses belajar, santai, tidak grusa-grusu, tapi mengena. Dosen hendaknya menuntun, membekali, dan mengarahkan secara pelan-pelan sehingga mahasiswa yang notabene belum pernah mengenyam ilmu agama sama sekali dapat menerima dan mencernanya dengan baik. Orang yang mendapatkan sesuatu tanpa menikmati proses cenderung tidak bertahan lama (fast getting fast forgetting).
Ada SKL ada pula P3MBTA (Program Pendampingan Pelatihan Muhadharah dan Baca Tulis Alqur’an) yang digagas oleh Fakultas Ushuludin dan Dakwah. Setali tiga uang dengan SKL program ini juga diperuntukkan untuk mahasiswa baru, yang membedakannya dengan SKL yaitu mahasiswa yang dinyatakan lulus SKL tidak akan dibebani untuk bimbingan, pada program ini seluruh mahasiswa disamaratakan, tak pandang bulu, mereka yang pernah mengenyam ilmu agama di pesantren maupun yang sama sekali tak pernah mengaji, wajib hukumnya untuk mengikuti P3MBTA. Perbedaan lain terletak pada pembimbingnya, jika dosen yang bertanggung jawab di SKL, mahasiswa senior lah yang mengampu P3MBTA, terlepas dari skil dan kemampuan yang dimiliki olehnya. Lagi-lagi mahasiswa baru ditakut-takuti oleh selembar kertas, yakni sertifikat sebagai persyaratan utama untuk ujian munaqosah.
Alih-alih ingin memberdayakan mahasiswa dan memberi bekal ilmu dasar agama, SKL dan P3MBTA tidak berjalan maksimal. Terlebih program yang kedua hanya berjalan beberapa kali, tidak ada kelanjutannya. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Tumpang tindih antara SKL & P3MBTA harus segera dituntaskan jika menginginkan output mahasiswa yang berkualitas.
Jika terus menerus seperti ini, nampaknya IAIN Surakarta akan kalah bersaing dengan kampus lain, sulit untuk mewujudkan cita-cita mulianya. Butuh kerja keras dari semua lini, bahu membahu untuk mewujudkannya. Jika sekadar SKL dan P3MBTA belum bisa berjalan dengan baik bagaimana bisa mencapai cita-cita tersebut?
Seyogyanya PESMA (Pesantren Mahasiswa) difungsikan secara optimal untuk mendukung proses kegiatan belajar mahasiswa, khususnya dalam pengembangan ilmu keagamaan. Hingga saat ini, baik pesma institut maupun fakultas belum memberikan sumbangsih nyata bagi para mahasiswa. UIN Malang adalah salah satu kampus yang terbilang sukses mengoptimalkan pesma. Mahasiswa baru diwajibkan mukim selama setahun. Mereka digembleng setahun penuh mendalami ilmu agama sekaligus bahasa. Kini, bermunculan mahasiswa unggul yang mahir berbahasa asing, baik Inggris maupun Arab.
Saya sadar akan keterbatasan yang dimiliki oleh IAIN Surakarta. Tidak mudah untuk mendirikan ma’had skala besar yang mampu menampung ribuan mahasiswa baru sebagai langkah alternatif untuk mendongkrak kualitas mahasiswa.
Kalaupun terasa berat untuk mengikuti jejak UIN Malang, ada baiknya berkaca pada IAIN Purwokerto yang cukup kreatif dan inovatif. Meski tak memiliki ma’had seperti UIN Malang, IAIN Puwokerto berani mewajibkan mahasiswa barunya untuk tinggal di pesantren selama setahun penuh. Pesantren pesantren itu merupakan mitra kampus. Bekerjasama, bersinergi untuk membekali ilmu agama bagi segenap mahasiswa.
Mampukah IAIN Surakarta berkaca pada saudara-saudaranya? Kita tunggu saja.
*Mahasiswa KPI IAIN Surakarta