Islamsantun.org – Sore itu, di teras rumah saya, secangkir teh tanpa gula mengepul di atas meja kayu yang telah menghitam oleh waktu. Angin ringan menggoyang dedaunan, menciptakan irama kecil yang seolah menjadi latar belakang sempurna untuk berita yang baru saja saya baca: Donald Trump kembali memenangkan kursi presiden Amerika Serikat. Kemenangan ini, meskipun dirayakan sebagian orang, menciptakan gelombang kecemasan yang mendalam, terutama di Timur Tengah. Di kawasan itu, sejarah tidak hanya hidup dalam ingatan, tetapi juga dalam trauma yang diwariskan, seperti hantu yang terus menghantui masa kini.

Langit sore yang berwarna jingga mengingatkan saya pada teori Jean Baudrillard  tentang simulasi dan simulakra. Dunia kita hari ini, menurutnya, tidak lagi dihuni oleh realitas, tetapi oleh simulasi—representasi yang menggantikan kenyataan dan pada akhirnya melampaui kenyataan itu sendiri. Ketika Trump mengumumkan kebijakannya yang kontroversial, seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, ia bukan hanya menciptakan kebijakan. Ia menciptakan simulakra, sebuah realitas palsu yang dibungkus oleh narasi politik, tetapi diterima oleh banyak orang sebagai kebenaran.

Kemenangan Trump bukan hanya tentang politik domestik Amerika; ia adalah sebuah algoritma konflik global. Dunia modern, terutama di era globalisasi, bekerja melalui logika algoritmik yang menciptakan dan memperbesar konflik. Seperti dalam teori Baudrillard, konflik hari ini tidak lagi tentang substansi, tetapi tentang citra—tentang bagaimana suatu narasi diproduksi, disebarkan, dan dipercayai. Timur Tengah adalah panggung di mana simulasi ini dimainkan dengan intensitas tinggi, di mana kenyataan tentang penderitaan manusia sering kali terkubur oleh representasi media dan retorika politik.

Sambil menyeruput teh yang mulai dingin, saya merenungkan bagaimana globalisasi tidak hanya menghubungkan dunia, tetapi juga menciptakan keterasingan. Di bawah permukaan keterhubungan ini, terselip kerentanan yang sering kali tak terlihat. Globalisasi memaksa nilai-nilai tradisional untuk berhadapan dengan modernitas, menciptakan konflik identitas yang mendalam. Dalam banyak kasus, ini bukan hanya tentang politik atau agama, tetapi tentang bagaimana orang-orang berjuang untuk mempertahankan rasa diri mereka di dunia yang semakin dikendalikan oleh narasi besar.

Baudrillard mengingatkan kita bahwa di dunia simulasi, nilai-nilai asli sering kali dihancurkan oleh representasi. Ketika Trump menggunakan retorika Islamofobia untuk membenarkan kebijakannya, ia tidak berbicara tentang Islam sebagai agama, tetapi tentang simulakra Islam yang telah ia ciptakan. Simulakra ini adalah bayangan dari kenyataan yang sebenarnya, tetapi ia jauh lebih kuat karena ia hidup dalam imajinasi kolektif, memperkuat rasa takut dan kebencian yang tidak berbasis fakta.

Algoritma konflik bekerja dengan cara yang serupa. Ia menciptakan siklus umpan balik yang memperbesar perbedaan, memecah komunitas, dan menciptakan polarisasi. Di Timur Tengah, konflik-konflik ini sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan besar untuk memperkuat kepentingan geopolitik mereka. Tetapi siapa yang membayar harga paling tinggi? Bukan para politisi atau penguasa, tetapi orang-orang biasa—mereka yang hidupnya terjebak di antara narasi besar yang sering kali tidak mereka pahami sepenuhnya.

Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (2018) menulis bahwa dalam dunia hiperrealitas, simulasi tidak hanya menggantikan kenyataan, tetapi juga menghancurkan kemampuan kita untuk membedakan antara yang nyata dan yang palsu. Di Timur Tengah, simulasi ini bekerja dalam bentuk berita, propaganda, dan narasi konflik yang terus-menerus direproduksi. Dunia tidak lagi melihat penderitaan nyata, tetapi hanya representasi dari penderitaan itu, yang sering kali dipolitisasi untuk tujuan tertentu.

Sambil memandang langit yang perlahan berubah warna menjadi gelap, saya teringat pada Jonathan Haidt dan gagasannya tentang moralitas. Menurut Haidt (2013), manusia membuat keputusan moral mereka berdasarkan emosi, bukan logika. Dalam konteks Timur Tengah, emosi seperti ketakutan dan kebencian sering kali dimanipulasi untuk menciptakan dukungan terhadap kebijakan yang sebenarnya destruktif. Narasi-narasi ini bekerja seperti algoritma, memperbesar emosi negatif dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Namun, apa yang membuat situasi ini semakin kompleks adalah bagaimana kebohongan menjadi bagian tak terpisahkan dari simulasi ini. Tom Phillips dalam bukunya Truth: A Brief History of Total Bullsh*t (2019) menunjukkan bahwa kebohongan tidak hanya menjadi alat untuk mengubah persepsi, tetapi juga menciptakan realitas alternatif yang sangat sulit dihancurkan. Trump adalah salah satu contoh paling mencolok dari politisi yang menggunakan kebohongan untuk menciptakan simulakra yang menggantikan kebenaran.

Dalam politik global, kebohongan sering kali digunakan untuk menciptakan narasi yang membenarkan konflik. Timur Tengah telah menjadi laboratorium besar di mana kebohongan-kebohongan ini diuji dan disebarkan. Kebijakan Trump terhadap Palestina, misalnya, dibungkus dalam narasi tentang “perdamaian,” tetapi pada kenyataannya, ia hanya menciptakan lebih banyak penderitaan. Kebohongan ini bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang representasi yang diterima sebagai kebenaran oleh sebagian besar dunia.

Teh saya hampir habis, tetapi pikiran saya terus bergulat dengan pertanyaan besar: bagaimana kita bisa melawan algoritma konflik ini? Baudrillard mungkin akan mengatakan bahwa solusi tidak terletak pada menghancurkan simulasi, tetapi pada memahami bagaimana ia bekerja. Dunia membutuhkan kesadaran kritis yang mampu membedakan antara yang nyata dan yang palsu, antara fakta dan narasi yang dipolitisasi.

Di sejumlah belahan dunia, banyak negara yang menjadikan pendidikan sebagai alat penting untuk menekan jumlah konflik dan mengajarkan pentingnya perdamaian. Melalui kurikulum yang inklusif, pendidikan dapat menjadi jembatan bagi masyarakat yang terbelah, membantu individu memahami perbedaan, dan mengatasi trauma kolektif yang diakibatkan oleh konflik. Negara-negara seperti Finlandia atau Rwanda, misalnya, menunjukkan bahwa pendidikan yang dirancang dengan fokus pada rekonsiliasi dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan mampu membangun kembali tatanan sosial yang damai pascakonflik.

Namun, tidak sedikit pula negara-negara yang justru menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperbesar polarisasi. Dalam konteks ini, kurikulum sering kali diisi dengan narasi-narasi yang mempromosikan identitas tertentu secara berlebihan atau bahkan menghapus memori tentang kekejaman masa lalu. Alih-alih menciptakan generasi yang berpikiran terbuka, pendidikan di beberapa negara malah menjebak siswa dalam algoritma konflik, di mana prasangka dan polarisasi terus direproduksi. Hasilnya adalah masyarakat yang terus-menerus berada dalam siklus perpecahan, alih-alih bergerak menuju perdamaian.

Di negara-negara pascakonflik, efektivitas pendidikan dalam membangun perdamaian sering kali tergantung pada niat kekuasaan yang mengatur. Jika pendidikan dirancang untuk menyembuhkan luka sosial dan membuka ruang dialog, ia bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk transformasi. Tetapi jika kuasa hanya ingin mempertahankan dominasi dengan menanamkan narasi yang bias, maka pendidikan kehilangan potensinya sebagai sarana perdamaian. Di dunia yang dipenuhi simulasi dan narasi buatan, keputusan untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perdamaian atau konflik sepenuhnya berada di tangan para pemegang kekuasaan.

Langit telah gelap, dan angin malam mulai terasa dingin. Saya menyadari bahwa dunia tidak akan berubah hanya dengan refleksi, tetapi dengan tindakan. Namun, tindakan apa yang dapat kita ambil ketika realitas itu sendiri telah menjadi medan perang? Mungkin langkah pertama adalah menerima bahwa dunia ini tidak lagi bekerja berdasarkan realitas, tetapi berdasarkan simulasi yang terus-menerus direproduksi. Dari sini, kita bisa mulai membangun narasi baru yang lebih jujur dan manusiawi.

Kemenangan Trump adalah pengingat bahwa dunia masih terperangkap dalam algoritma konflik yang menghancurkan. Tetapi di balik setiap algoritma, ada manusia yang menciptakannya. Dan mungkin, jika kita mampu mengubah cara kita memandang dunia, kita juga bisa mengubah dunia itu sendiri.

Komentar