Selain isu PKI yang muncul secara musiman setiap akhir bulan September, isu lain yang kontroversial adalah soal gerakan intoleran-radikal yang berlabelkan Islam. Perilaku kelompok ini tidak hanya memancing kontroversi, tetapi juga mengancam keutuhan bangsa sebagaimana terlihat pada sikap mereka mempersekusi penganut Syi’ah dan Ahmadiyah. Isu pelarangan kegiatan dan penggunaan simbol FPI yang muncul di penghujung tahun 2020 telah berhasil membuat masyarakat terfragmentasi dalam dua kelompok, antara yang pro-dan kontra. Fragmentasi ini menjadi kian kuat karena dibumbui dengan issu agama dan ditunggangi berbagai kepentingan politik.
Melihat fenomena yang muncul dipermukaan seolah menunjukkan bangsa ini sedang retak. Masing-masing pihak berdiri pada cara pandang dan pendapat masing-masing, meski sama-sama mengaku demi kepentingan bangsa dan negara. Dalam kondisi demikian patut kita bertanya, apakah fenomena ini merupakan pertanda rapuhnya budaya Nusantara? Apakah tradisi dan budaya Nusantara dapat mencegah terjadi benturan antar kelompok yang sudah mengarah pada terjadinya konflik?
Tradisi Nusantara sebagai Pengikat
Tradisi lokal Nusantara merupakan tali pengikat sekaligus penyangga terhadap keberagaman yang ada di negeri ini. Inilah yang menyebabkan berbagai kebudayaan, agama dan sistem keyakinan yang masuk ke Indonesia bisa hidup berdampingan secara damai dan tentram, tanpa ada konflik dan benturan yang berarti.
Fakta sejarah menunjukkan, faham Suni dan Syi’ah (juga faham keislaman lainnya) masuk ke Indonesia secara bersamaan. Beberaapa wali, habaib dan ulama yang masuk ke Nusantara membawa faham asli mereka yang beragam termasuk Suni dan Syi’ah (Agus Sunyoto; 2012). Setelah masuk ke Indonesia terjadi silang budaya (istilah Denys Lombard; 1993) antara pemahaman keislaman Suni dan Syi’ah dengan kebudayaan lokal Nusantara. Melalui proses inilah wajah Suni dan Syiah mengalami perubahan. Wajah asli keduanya yang garang dan penuh ketegangan ketika di Timur tengah, berubah menjadi sejuk dan teduh, sehingga masing-masing bisa berinteraksi secara rukun dan damai.
Berkat rajutan kebudayaan Nusantara, sekat-sekat keduanya menjadi lebur tanpa kehilangan pemahaman dasar masing-masing. Beberapa tradisi Syi’ah seperti Tabot/tabuik, Asyura’ dan lain-lain dilaksanakan secara meriah oleh para penganut Suni Nusantara tanpa mereka merasa kehilangan keSuni-annya. Bahkan mereka tidak tahu kalau tradisi tersbut bersumber dari Syi’ah. Apa yang dilakukan oleh penganut Suni Nusantara ini sangat berbeda dengan Suni Timur Tengah yang menganggap Syi’ah sebagai faham sesat dan kafir.
Demikian sebaliknya, para penganut Syi’ah di Nusantara tidak pernah melakukan caci maki terhadap sahabat Nabi yang lain. Mereka menghormati ketiga khulafa’ur rosyidin (Abu Bakar, Umar dan Utsman). Mereka juga tidak pernah mengumpat Siti A’isyah dan kempok yang pernah terlibat konflik dengan Sayyidina Ali. Dengan berpijak pada tradisi dan budaya Nusantara, penganut Syi’ah Nusantara bersikap santun dan berinteraksi secara damai dengan kaum Suni. Sikap ini berbeda sama sekali dengan beberapa penganut Syi’ah di Timur Tengah yang suka mencaci maki para sahabat, menista sayyidah Aisyah (istri Nabi).
Apa yang terjadi menunjukkan, ketika sekte-sekte dan aliran pemikiran keagamaan yang ada di Indonesia berdiri di atas untaian nilai-nilai kebudayaan Nusantara. Dengan menjadikan nilai dan budaya Nusantara sebagai pijakan dalam melakukan interaksi sosial, maka bisa tercipta kedamaian dan kerukunan di antara sesama manusia dengan beragam sekte dan pemahaman agama. Sebaliknya, jika masing-masing paham keagamaan, atau salah satu di antara mereka mengabaikan nilai-nilai etik budaya lokal Nusantara dan kembali pada tradisi asli mereka (di Timur Tengah), maka akan terjadi benturan sosial yang berujung pada konflik.
Demikian juga yang terjadi dengan para penganut Ahmadiyah yang sudah masuk ke wilayah Nusantara pada tahun 1925. Sebagaimana kaum Syi’ah, para penganut Ahmadiyah ini juga diterima secara baik oleh ummat Islam Nusantara, meski sempat juga menimbulkan perdebatan. Sebagaimana disebutkan dalam laman historia.id, ada 28-29 September 1933 terjadi debat untuk membahas keberadaan Ahmadiyah. Debat diikuti 10 ormas Islam, termasuk NU, Persis, Al-Irsyad dan sebagainya. Debat tersebut berlangsung damai dan meski beberapa ulama tidak sepakat dengan pemikiran Ahmadiyah, namun mereka tetap memberi tempat Ahmadiyah di bumi Nusantara. Mereka tidak mempersekusi apalagi menista para penganut Ahmadiyah. Inilah budaya Nusantara yang tidak mempersekusi dan menista pada mereka yang berbeda.
Pudarnya Budaya Nusantara
Munculnya konflik dan kekerasan akhir-kahir ini mencerminkan pudarnya budaya Nusantara sebagai tali pengikat dan pijakan perilaku para penganut faham keagamaan. Di antara mereka sudah tidak lagi menggunakan prinsip-prinsip dan nilai kebudayaan Nusantara dalam membangun relasi sosial. Kelompok ini ingin membawa nilai-nilai, tradisi dan budaya asli mereka yang ada di Tumur Tengah untuk diterapkan di Indonesia, karena dianggap lebih otentik dan lebih benar. Mereka menganggap nilai, tradisi dan budaya Nusantara sebagai sesuatu yang tidak islami. Mereka tidak lagi merasa sebagai bagian dari warga bangsa Indonesia, tetapi menjadi bagian dari komunitas Islam internasional yang harus menghancurkan tradisi lokal yang dianggap mengotori Islam.
Sikap seperti ini terlihat pada pengahancuran budaya tepo-sliro (empati), guyub-rukun (solidaritas), gotong royong (kerjasama) dan sebagainya. Padahal dalam tradisi berpikir ulama Nusantara, nilai-nilai dan tradisi adiluhung ini dielaborasi dalam membangun konstruksi fiqh yang kemudian menjadi tuntunan etik dalam kehidupaan sosial seperti tercermin dalam kaidah “darr al mafaasid muqaddam ala jalb al-mashaalih” (mencegah kerusakan harus lebih di dahulukan daripada mencari kebaikan), “al ‘aadah mukhakkamah” (adat bisa dijadikan petimbangan dalam merumuskan hukum) dan sebagainya. Kaidah-kiadah inilah yang bisa membuat para ulama bisa menerima bentuk Negara NKRI yang berdasarkan Pancasila, sehingga Indonesia menjadi utuh dan bersatu dalam perbedaan. Tanpa ini Indonesia akan menjadi ajang konflik dari berbagai ideologi dan faham keagamaan.
Jika saja cara pikir seperti ini dipakai oleh masyarakat maka konflik akan bisa dicegah, karena masing-masing pihak akan mengedepankan pencegahan kerusakan (konflik) daripada ego kelompok. Dalam kasus Puger Misalnya, sebagai bagian dari warga bangsa tentunya akan mengizinkan ketika ada kelompok lain yang ingin mengungkapkan perasaan nasionalismenya melalui karnaval, sekalipun kelompok tersebut berbeda dengan kelompoknya.
Sebaliknya bagi kelompok yang ingin karnaval, pasti tidak akan memaksakan diri untuk melaksanakan karnaval jika resikonya bisa mendatangkan kerusakan (mafaasid) yang lebih besar, toh upaya mengekspresiskan nasionalisme bisa diwujudkan dalam bentuk lain. Sekalipun karnaval itu baik tapi jika ujungnya bisa membawa mafsadah maka sebaiknya tidak dilaksanakan demi menjaga terjadinya kerusakan.
Sayangnya, pandangan dan sikap seperti ini tampaknya sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat. Akibatnya mereka seolah kehilangan hati dan kata-kata untuk sekadar berdialog dan saling memahami sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama yang tercermin dalam tradisi Nusantara.
Jika nilai-nilai, tradisi dan kebudayaan Nusantara yang menjadi pengikat dari berbagai perbedaan telah retak dan hancur, maka tinggal tunggu waktu Indonesia akan menjadi ladang Kurusetra, medan perang saudara seperti yang terjadi di Lybia, Iraq, Mesir, Syiria. Apakah kita rela negeri yang indah, aman damai ini menjadi hancur? Saatnya kembali pada kearifan budaya Nusantara sebagai tali pengikat perbedaan dan sarana mengaktualisasikan pemahaman keagamaan yang kita yakini. Inilah agenda penting kebudayaan yang mesti kita kerjakan di awal tahun ini.