Muhammad Alfatih Suryadilaga*

Bulan Ramadan sebentar lagi akan berakhir. Hal tersebut terlihat dengan kesibukan umat Islam menyambut kehadiran hari raya iedul fitri. Mereka yang mudik ke kampung halaman sudah melakukan persiapaan dan dalam perjalanan. Beragam keramaian di akhir bulan ini lebih pada persiapan hal tersebut baik di jalan raya, stasiun, bandara dan sebagainya. Dengan demikian, terdapat pergeseran dalam hal ini.

Kenyataan di atas adalah kebiasaan yang hanya ditemukan di Indonesia. Setidaknya mudik dan halal bihalal atau silaturrahim menjadi bagian dari kegiatan akhir Ramadan. Upaya mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah swt. sudah dilaksanakan dengan sepenuh jiwa dan keyakinan selama di bulan penuh berkah dan ampunan ini. Dengan demikian, budaya yang ada tersebut adalah dalam konteks membangun relasi kemanusiaan yang baik.

Relasi kehidupan manusia dalam kehidupan keseharian menjadi penting dibangun secara baik dengan kedamaian. Hal inilah merupakan bagian dari amanat pengembangan pribadi yang telah ditempa melalui pendidikan yang penuh keberkahan selama Ramadan. Dengan kegiatan ini, manusia dalam spiritualnya semakin baik dari sebelumnya.

Kenyataan di atas dapat dilihat dalam kapasitas pribadi manusia. Setelah dalam diri manusia tercerahkan dengan beragam kemuliaan baik bulan dan tentunya kemuliaan Tuhan menjadikan manusia sebagai seorang yang lebih baik dan sempurna. Hal ini harus tercermin dalam kegiatan perilaku dalam kehidupan dengan sesama manusia termasuk dalam menempatkan kasih sayang kepada manusia yang lain. Hal-hal yang termait erat dengan menyakiti orang lain harus dihindari baik dari perkataan atau perbuatan yang mengakibatkan hilangnya derajat kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian, terdapat kesinambungan antara kesuksesan dalam ramadhan dan kehidupan setelahnya.

Bergulirnya Ramadan dengan hadirnya fajar hari raya iedul fitri menjadikan kegembiraan di kalangan umat Islam. Hal tersebut merupakan ekspresi telah terselesaikannya ibadah puasa Ramadan. Bentuk kegembiraan itulah dilakukan dengan melantunkan takbir, tahlil dan tahmid oleh semua komponen masyarakat baik anak-anak, remaja dan dewasa maupun generasi lainnya. Dengan demikian, ekspresi kegembiraan sebagai tanda dari wujud syukur manusia.

Dalam perkembangannya, wujud syukur atas suksesnya melaksanakan puasa Ramadan pun dapat bergam aktivitas. Setidaknya secara sederhana dapat dilakukan dalam rumah, masjid dan atau mushola. Kegiatan tersebut juga berkembang ke beragam kegiatan seperti festifal dan kreatifitas serta pawai. Namun, hal itu menjadikan keramaian tersendiri di beragam wilayah Indonesia dalam menyambut datangnya Iedul Fitri. Dengan demikian, beragam kegiatan tersebut menjadikan kegembiraan tersendiri bagi seluruh komponen masyarakat yang merayakannya.

Kemuliaan Ramadan pun terus berlanjut ke bulan sesudahnya. Hal ini terlihat sebagaimana semangat atas spirit Ramadan di bulan sesudahnya, yakni Bulan Syawal. Kenyataan ini dapat juga diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Namun, puasa di bulan ini terkadang susah karena mayoritas tidak dalam bulan puasa lagi. Mereka yang puasa syawal sering menjadi minoritas. Ketika berkunjung ke saudara dan keluarga serta teman maka banyak sekali makanan baik berupa snack maupun lainnya. Sehingga, berpuasa enam hari tersebut agak terasa sulit diimplementaaikan secara langsung.

Kegiatan puasa enam hari adalah bagian dari puasa sunnah. Hal inilah maka di sebagian ummat Islam terutama yang anak-anak atau kawula muda jarang yang melakukan. Namun, apabila dilihat secara utuh dalam teks hadis yang menjelaskan puasa tersebut, maka fungsinya adalah setara dengan puasa selama setahun lamanya. Tentunya bagi yang selalu ingin menjalankan ibadah yang tidak hanya wajib melaibkan juga ibadah sunnah. Sehingga dengan puasa 36 hari mendapat pahala sefara 360 hari atau setahun lamanya. Dengan demikian, pahala tersebut menjadi bagian terpenting dalam mendapatkan kemuliaan Ramadhan.

Dalam tradisi Jawa ada lebaran ketupat. Hal ini adalah merujuk kegiatan mulia ramadhan dan puasa enam hari Syawwal. Sehingga mereka yang mampu menyelesaikan Islamya sudah sempurna atau kaffah. Pengakuan kesempuraan ini juga diiringi dengan pengakuan kesalahan sehingga kesempurnaan keimanan seseorang akan sempurna dengan memperbaiki hububgan horizontal dengan sesama manusia yakni prosesi memafkan sesama saudara dan tetangga serta handai taulan. Dengan demikian, kegiatan ini syarat akan makna yang mendalam.

Hidangan dalam kegiatan kupatan ini memiliki makna mendalam. Hal ini setidaknya mereka yang mampu menyelesaikan puasa enam hari yakni di hari ke delapan dapat melaksanakan tradisi ini. Hidangan kupat segi empat dan lepet menjadikan kegiatan ini penuh makna. Pengakuan atas kesalahan dalam simbol lepet menjadi penting. Demikian juga kupat yang bermakna kesempurnaan kaffah. Dengan demikian, kegiatan ini merupakan bagian dari rutinitas yang terjadi di masyarakat Jawa.

Kenyataan di atas setiap muslim setidaknya melaksanakan puasa sunnah. Hal tersebut dijalankan pada bulan Syawal saja. Melaksanakan puasa syawal tidak harus beringan dan langsung esok harinya. Selain masih dalam suasana berhari raya dan berbahagia, dapat juga dimaknai menghormati orang lain yang memberikan hidangan kepada setiap orang yang berkunjung. Atau dapat dilaksanakan secara tidak berurutan misalnya hanya seminggu dua kali hari senin dan jumat maka akan dapat selesai di akhir bulan. Dengan pemahaman seperti ini, upaya mendapatkan kualitas puasa yang bernilai setahun lamanya tetap berjalan meski tidak dilaksanakan di awal bulan. (MAS)

Komentar