Para sejarawan, di antaranya, mencoba “merekonstruksi” (me-reka ulang) kejadian-kejadian masa silam, sehingga kita bisa “berimajinasi” tentang peristiwa yg dulu telah terjadi. Berbekal sejarah itu, terkadang dibuat film utk “menghidupkan” suasana masa lalu tersebut.
Di antara film yg aku suka untuk melihatnya, selain Mahabarata dan Yuzarsif, adalah film “Omar”, yg setiap Ramadan biasanya diputar di sebuah TV swasta itu. Film-film ini, bagiku, sangat mempesona, karena dialog-dialognya yg (sangat) cerdas, dan juga sering filosofis.
Utk film yg aku sebut terakhir, yaitu film “Omar,” beberapa hari lalu menyuguhkan, di antaranya, panggung “kerinduan, pada kampung halaman.” Saat Umat Islam yg dikomandani langsung oleh Kanjeng Nabi hendak menziarahi Mekkah, kampung-halaman mereka, harus “ter-lock-down” sementara di Hudaybiyah, karena diberlakukan “PSBB” oleh kaum Quraisy, muncullah percakapan antara Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Suhail, bahwa karena posisi ke Mekkah sudah sangat dekat, aroma kampung halaman seolah sudah sangat menyengat-lekat.
Memang, kerinduan pada “kampung halaman” atau “asal-usul” itu sesuatu “fitrah” manusia, sebagaimana filusuf-penyair Muhammad Iqbal, seperti dikutip Annemarie Schimmel, juga mengkonfirmasi kerinduan Kanjeng Nabi Muhammad terhadap kampung halaman, Mekkah. Karena kerinduan pada “kampung halaman” atau asal usul itu sesuatu yg fitri, maka terkadang ia juga dipakai oleh para Sufi untuk menggambarkan “kerinduan pada Tuhan, Sang Asal-usul manusia” (إنا لله، وإنا اليه راجعون), sebagaimana “kerinduan seruling bambu, pada rumpun bambu”…(asal-usulnya).
Angin kerinduan pada “kampung halaman” dan Sang Asal-usul ini, menurut M.H. Thabathaba’i, terkadang dihembuskan pada manusia, agar manusia sering teringat pada-Nya. Itulah mengapa, di antaranya di bulan Ramadan, “pintu surga dibuka” (فتحت ابواب الجنة), agar aroma “kampung halaman” nenek moyang kita dahulu (Adam-Hawa) tercium di “indera” jiwa. Sayangnya, meskipun angin kerinduan ini telah dihembuskan (نفحات الأنس), seringkali ia harus membentur tembok “PSBB” nafsu, sehingga jiwa “ter-lock-down” karenanya.
Oleh karenanya, bagi mereka yg blm terlatih (well-trained) dalam tradisi Sufi, puasa Ramadan, di antaranya, merupakan upaya awal, agar jiwa-jiwa yang seharusnya mengikut-jejak aroma kampung-halaman surga (Adam-Hawa itu), bisa memulai membebaskan diri dari wabah-virus nafsu “epi-thumia” (makan, minum, seks: الفم والفرج). Jika mereka sudah mulai terbiasa “membebaskan diri” dan mengontrol nafsu tersebut( و نهي النفس عن الهوي، إمساك), berarti mereka telah memulai perjalanan pulang, ke kampung halaman.
Hanya saja, itu baru “separuh” perjalanan, karena mereka masih harus melewati “check-point” di pemberhentian nafsu berikutnya, “thumos” (ego-diri). Manakala mereka berhasil melewati “pemeriksaan” ini, dan ego-diri telah “disatukan” dengan Kehendak-Tuhan (حتي يكون هواه تبعا لما جئت به, homo-iosis theoi), maka gerbang kampung halaman, sudah mulai kelihatan. Dan, kerinduan akan asal-usul, kampung halaman, yg merupakan “fitrah” itu, bisa dirayakan…(‘Id al-Fitr).
#Apakah kalian rindu kampung halaman, kawans? Tapi untuk sementara, mudik jangan… (kecuali mungkin terdesak-darurat).
Ditulis, di “perantauan”.[]