“Sebagaimana teh, pada seduhan pertama belumlah dapat dirasakan nikmatnya. Cita rasa dan nikmat teh baru didapat setelah seduhan berulang kali. Begitulah hukum yang berlaku juga pada manusia. Karakter dan kualitas seseorang tidak akan lahir hanya dengan sekali tempa. Kualitas dan karakter hanya akan lahir setelah ditempa dengan berbagai macam pengalaman, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Hanya bila semua proses itu dilewati, maka muncul aroma jiwanya, kematangan berpikirnya, kebijaksanaan tindakannya. Itulah karakter, itulah jati diri. Itulah manusia paripurna. Wallahu a’lam” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).
Kesejatian dan keparipurnaan hidup meniscayakan adanya proses untuk mendapatkannya. Itulah aturan yang berlaku pada kehidupan, terutama kehidupan manusia. Kehidupan manusia bukan cerita tentang kesuksesan tanpa proses-proses usaha yang berkesimbungan; bukan cerita tentang pencapaian tanpa proses-proses dedikasi yang lestari; bukan cerita tentang temuan bongkahan emas tanpa proses-proses penggalian yang penuh kesungguhan. Kesejatian dan kesempurnaan hidup manusia bukan tentang mimpi tadi malam lalu pagi harinya dunia menjadi serba indah.
Manusia, untuk bisa lahir saja harus menunggu hingga sembilan bulan. Sembilan bulan bukan waktu sebentar untuk sebuah kelahiran makhluk. Hanya saja memang makhluk bernama manusia diciptakan Tuhan dalam sebaik-baik bentuk (QS al-Tin: 4). Makhluk dalam bentuk terbaik tentu kelahirannya pun perlu proses dan kesiapan yang matang.
Selain sebagai sebaik-baik bentuk, manusia juga merupakan makhluk yang dimuliakan Tuhan (QS al-Isra`: 70). Makhluk mulia dengan bentuk terbaik itu juga memikul amanah berat tapi agung lagi mulia, yaitu memakmurkan bumi (QS Hud: 61) dan menjadi wakil-Nya di bumi ini (QS al-Baqarah: 30).
Tiga kualifikasi ini saja sudah cukup menjadi alasan bagi manusia untuk berproses secara cermat, massif, dan terpola menuju kesempurnaan dalam memikul setidaknya dua amanah: mewujudkan imarah (kemakmuran bumi) dan menegakkan khilafah (merealisasikan kemaslahatan manusia di bumi).
Begitu lahir, tidak seperti sejumlah binatang yang dapat langsung cari makan sendiri, manusia bahkan harus menunggu sekian tahun untuk bisa makan tanpa disuapi. Begitu lahir, tidak seperti anak ayam yang bisa langsung berlari, anak manusia bahkan harus menunggu satu tahun untuk dapat mulai belajar berjalan. Tahapan-tahapan ini serta nama baku untuk setiap tahapannya sudah mapan dalam ilmu perkembangan anak.
Di sini bukan tempatnya untuk mengupas itu. Hanya ingin menegaskan bahwa yang namanya proses sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Baik proses yang sifatnya alamiah-bawaan, seperti tahapan-tahapan perkembangan hidup manusia sejak lahir hingga tuanya, maupun proses dalam mewujudkan apa yang kemudian menjadi pilihan mereka setelah tumbuh menjadi manusia mandiri yang dapat menentukan pilihan sendiri.
Pak Rektor lewat renungannya kali ini membuka cakrawala kita tentang kesempurnaan manusia. Tidak dipungkiri, banyak orang menunjuk kesempurnaan seseorang terletak pada capaian-capaian materilnya; kemashyuhan namanya, ketinggian jabatannya, dan kelimpahan hartanya. Dengan tidak mengharamkan capaian-capaian itu sejauh direngkuh dengan cara yang benar dan diperagakan dengan tidak melukai hati sesama, Pak Rektor menyebut keparipurnaan sejati ada pada keelokan jiwa, kematangan berpikir, dan kebijaksanaan tindakan. Hal penting lain yang ditekankan Pak Rektor adalah bahwa keparipurnaan sejati itu tidak mungkin direngkuh dengan hanya sekali mengayuh, tidak mungkin diraih dengan hanya sekali mendayung, tidak mungkin dicapai hanya dengan sekali memanjat, tidak mungkin digapai hanya dengan meniti satu anak tangga.
Seperti halnya raihan-raihan kesuksesan dalam medan kehidupan yang harus ditempuh dengan aneka pengorbanan dan didahului dengan berkali-kali percobaan, beragam usaha serta upaya, pun demikian dengan keparipurnaan hidup. Ia tidak akan terbentuk dengan hanya satu-dua tempaan. Dalam renungan Pak Rektor, tempaan-tempaan itu berupa berbagai macam pengalaman, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Sambil mengamini apa yang direnungkan Pak Rektor bahwa kesejatian, kesempurnaan dan keparipurnaan hidup menghajatkan proses dan tempaan berlapis, kita berharap di antara tempaan itu tidak ada yang bernama “kesengsaraan”.