Islamsantun.org – Disadari atau tidak disadari, dalam lika-liku perjalanan hidup—melakukan hal yang terkait alam bawah sadar maupun alam bawah tidak sadar, kita menjumpai hal-hal yang sebelumnya tak diketahui dan diri kita tak bisa membayangkan sebelumnya. Itulah kenyataan hidup yang mesti kita terima bersama dengan arif dan lapang dada. Oleh sebab itu, manusia yang memiliki hakikat sebagai makhluk berpikir, tugas penting dalam menjalankan hidup salah satunya, tidak lain adalah mengaktifkan akal budi.

Adalah sejarah, dinamika dan perkembangan yang dalam kenyatannya menjadi bagian penting bagi sebuah generasi untuk mencari jaring-jaring antara satu dengan yang lain. Agar kita tahu antara yang selesai dan belum selesai, antara yang benar dan masih kliru dan antara tantangan dan perjuangan yang mesti hendak dilakukan. Tentang PMII, apakah Anda pernah berpikir akan bagaimana hingga saat ini ia telah masuk usia yang ke-60? Semoga saja sudah, agar niat mulia kita memilih dan menjadi bagian dari PMII adalah konfigurasi yang kompleks yang kemudian menyusun sel-sel dalam sebuah organ bernama PMII.

“Saya itu ndak harus yang ngundang itu dari pengurus PB ataupun PKC, Mas. Sekalipun itu undangan dari anak-anak Rayon, ketika diberi kesehatan saya akan berangkat. Saya berterima kasih pada seluruh kader PMII yang karena doa mereka, saya masih diberi umur panjang dan kesehatan hingga sekarang,” begitu ucap Kyai Munsif Nahrawi ketika saya berkesempatan menemui pada 15 Maret 2020 di rumah beliau daerah Singosari, Kabupaten Malang. Beliau melanjutkan cerita bahwa terakhir diundang oleh Pengurus Besar PMII (PB PMII) dalam pengambilan nomor urut calon Ketua Umum dan Kopri PB PMII pada kongres yang sebelumnya diagendakan pada bulan April ini.

Dalam kesempatan tersebut, beliau juga menyampaikan bahwa perwakilan Panitia Kongres ke-XX dan Pengurus PB PMII yang menjemput langsung dari Malang menuju ke Jakarta. “Sebenarnya kami dari deklarator yang masih diberi umur itu diundang semua, Mas. Hanya saja pada waktu itu Pak Nuril Huda sedang sakit dan Pak Chalid Mawardi berhalangan hadir karena ada agenda lain. Jadi, saya saja yang berkesempatan ikut dalam pengambilan nomor urut untuk Kongres PMII tersebut. Pada waktu di kegiatan, saya bisik-bisik sama Mas Agus Herlambang, tanya calon yang terkuat kira-kira siapa. Mas Agus menyampaikan semua calon bagus, memiliki kualitas dan rata-rata sedang menempuh program Pascasarjana.”

Saya kemudian banyak bertanya dan mencari tahu akan hal-hal yang sejauh ini belum saya ketahui tentang PMII. Kyai Munsif Nahrawi seakan kemudian menyampaikan segala hal sebagai jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pertemuan singkat yang kurang lebih dua jam tersebut. Saya memulai dengan menarik keikutsertaan beliau dalam tiga belas tokoh perwakilan yang pada 17 April 1960 mendeklarasikan PMII di Surabaya. Kyai Munsif Nahrawi adalah salah satu perwakilan dari Yogyakarta. Yang mana, ketika itu beliau sedang menempuh studi di departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kyai Munsif sebelum hijrah ke Yogyakarta dan menjadi bagian dari Pengurus Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) merupakan Ketua PC IPNU Kabupaten Malang. Sementara itu, posisi Kyai Munsif secara struktur di PP IPNU kala itu, ungkapnya merupakan Wakil Sekretaris. Namun, ada hal yang menarik atas paparnya. Bahwa, meskipun sebagai Wakil Sekretaris, namun dalam kenyataannya beliau menjalankan tugas dan fungsi sekretaris. Penjelasan beliau bahwasannya Sekretaris pada masa itu punya kesibukan lain.

Pada serangkaian pembahasan akan upaya untuk mendirikan PMII, Kyai Munsif merupakan sosok yang kala itu berperan untuk keliling di daerah-daerah guna konsolidasi (penguatan) dan penyamaan persepsi yang tentunya di kalangan anak-anak muda Nahdliyin pada waktu itu.”Saya yang berperan keliling ke daerah-daerah, Mas pada waktu itu,” ungkap beliau. Hingga kemudian tibalah beliau menjelaskan hal-hal penting yang terkait mengenai sejarah berdirinya PMII.

Dalam serangkaian pertemuan yang ada, salah satu kuncinya ternyata adalah masih-masing perwakilan tiap kota maupun kabupaten yang ada. Seperti halnya tatkala sejarah lahir di Surabaya pada 17 April 1960, sebab sebelumnya perwakilan dari Surabaya bersedia menjadi tuan rumah. Pertemuan tersebut tak terlepas dari pertemuan sebelumnya yang berlangsung di Kaliurang, Yogyakarta pada 14-16 Maret 1960. Uniknya, pada pertemuan di Surabaya terlaksana tepat mada momentum lebaran yakni pada tanggal 21 Syawal 1379 H.

“Ya, pas di Surabaya itu kan tepat di bulan Syawal, Mas. Kalau berbicara kuantitas hadirnya perwakilan tiap-tiap daerah, namanya mahasiswa, kan. Masa lebaran, ada yang liburan di kampung halaman, masih ada kesibukan di masa liburan, dan lain sebagainya. Ya, dalam forum berjalan sebagaimana mestinya. Pembahasan terkait nama ya ada alot-alotnya, Mas. Banyak pendapat yang diusulkan oleh teman-teman. Kemudian, intinya dalam forum itu, kan kita ingin adanya organisasi yang dinamis, maka kemudian tercetuslah Pergerakan. Konteks organisasi di kalangan anak muda di perguruan tinggi, tercetuslah Mahasiswa. Terus kita itu kan juga mau membawa spirit keislaman, tercetuslah Islam. Terakhir, kita kan juga membawa semangat kebangsaan, tercetuslah Indonesia. Nama PMII kemudian disepakati bersama.”

Ingatan tentang Mahbub

Kyai Munsif juga menyampaikan ingatan-ingatan akan sosok Bung Mahbub Djunaidi, yang kita ketahui bersama merupakan ketua Pengurus Pusat (PP) PMII pertama dan memimpin selama tiga periode, dalam kurun waktu 1960-1967. Padahal, notabene pada waktu itu, Bung merupakan ketua di Departemen Pendidikan Tinggi PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). “Nah ini yang mungkin kerap ditanyakan oleh Sahabat-sahabat terkait kemudian Mahbub yang menjadi ketua pertama PMII, padahal Mahbub saja ndak hadir dalam pertemuan di Surabaya pada waktu itu. Tak cerita, Mas. Didengarkan dengan betul, ya!”

Tentang Bung Mahbub, Kyai Munsif menjelaskan mulai dari aktivitas Bung pada masa itu. Salah satunya, Bung pada waktu itu merupakan pimpinan redaksi koran Nahdlatul Ulama (NU), Duta Masyarakat. Jelas Kyai Munsif, tiap hari Bung tak kehabisan ide maupun akal dalam membuat tajuk di koran tersebut. Persebaran maupun distribusi koran tersebut tak dapat dipungkiri bisa dikatakan ke banyak daerah yang ada di Indonesia. Itu juga yang membuat sosok Bung dikenal banyak orang. Bahkan, banyak wartawan di pelbagai media cetak pada waktu itu kagum dan hormat pada sosok Bung Mahbub. “Pada masa itu, bahkan tak sedikt pula orang menamakan anaknya dengan menggunakan nama Mahbub. Mahbub, Mahbub, Mahbub,” terang Kyai Munsif.

“Jadi dalam serangkaian pertemuan di Surabaya setelah mendapat kesepakatan akan banyak hal, satu hal yang menjadi bahasan penting adalah penunjukkan ketua, Mas. Perlu diketahui secara administratif dan sentrumnya nanti di Jakarta, to. Nah, pada waktu itu, forum mempersilakan perwakilan dari Jakarta, yang terdiri dari Chalid Mawardi, Said Budairy dan Shobich Ubaid untuk membahas hal tersebut. Ya, semacam diberikan hak prerogatif. Ketika kemudian mereka mengusulkan nama Mahbub, semua peserta forum tak sedikitpun yang tidak setuju maupun mengungkapkan keberatannya, Melainkan dari itu sepakat akan penunjukkan Mahbub.”

Kyai Munsif juga bercerita interaksinya secara langsung dengan sosok Bung. Di masa-masa saat ke Jakarta, selesai beraktivitas kerap ditanyai Bung akan tidur di mana. Bung kerap menawarkan dan mempersilakan Kyai Munsif tatkala berkenan singgah di rumah Bung yang ada di daerah Tanah Abang. “Saat di Jakarta, kerap Mahbub tanya, Mas ke saya, ‘Ente nanti tidur di mana, Syif? Kalau mau, tidur di rumahku saja.’ Wuhh.. Sampeyan perlu tahu, Mas, Mahbub itu sosok yang tekun akan bacaan. Waktu itu di rumahnya saya lihat tumpukan buku pada rak yang tersusun dari batu bata dan papan bekas untuk ngecor bangunan. Jadi ketika sudah penuh, nanti ditambahi tumpukan batu bata dan papan lagi. Saking segitunya, ya. Saat saya bangun pukul dua dini hari, saya menjumpainya belum tidur. Dia masih asyik membaca buku.”

Harapan pada Kader

Tatkala bercerita akan perjalanan paling mengesankan saat berinteraksi dengan Kader PMII, Kyai Munsif menyebut saah satunya adalah tatkala diminta hadir di PMII Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Tadinya agak bertanya-tanya akan benar atau tidak di sana itu sudah ada PMII-nya. Namun, saat berada di sana, beliau mengaku kaget tatkala melihat dengan langsung ratusan anak muda yang mengenakan identitas PMII pada hadir. “Saya lihat, satu orang yang dengan kawalan berjalan menuju saya pada waktu itu, Mas. Saya meyakini pasti dia pejabat penting di daerah tersebut. Makin dekat, saya lihat identitas yang dikenankan memang begitu. Saya terharu, anak muda itu kemudian menyalami saya sembari bilang, ‘Pak Kyai saya ini Kader PMII. Sekarang jadi bupati di sini’. Hebat, hebat, dan hebat.”

Itu membawa pada dinamika perkembangan PMII hingga saat ini. Yang secara kuantitas dapat dibilang PMII termasuk organisasi mahasiswa besar di Indonesia. Kurang lebihnya di tataran 260 cabang yang telah ada di Indonesia. Sebab itu, Kyai Munsif berpesan akan perlunya disyukuri dan terus dikhidmati keberadaan PMII yang telah melahirkan banyak kader yang kemudian dapat berperan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. “Syukur alhamdulillah ya, Mas PMII terus berkembang hingga sejauh ini. Yang terpenting khidmat dan ikhlas, Mas dalam mengembangkan PMII. Saya berharap ndak ada kelompok ‘Mualaf PMII’, tiba-tiba ikut dan masuk PMII tapi punya maksud yang tidak baik.”

Kyai Munsif Nahrawi merupakan satu dari tiga deklarator PMII yang masih diberi umur hingga saat ini selain Kyai Nuril Huda Suaidy dan Kyai Chalid Mawardi. Saat waktu menunjukkan usaia PMII di angka enam puluh tahun, mereka adalah sosok yang tak akan terlupakan oleh zaman. Mereka yang pastinya tetap punya harapan, cita-cita dan keinginan yang semoga saja diwujudkan oleh para kader PMII di mana pun berada. Pastinya, dengan ketulusan dan keikhlasan, pada setiap lantunan dan puncak doa tak akan lupa ditujukan terhadap kader PMII se-Indonesia. Al Fatihah

Komentar