Kata “natal” berasal dari bahasa Latin yang berarti kelahiran. Namun, saat ini sepertinya yang terlintas di benak kita ketika mendengarkan kata tersebut adalah kelahiran Yesus Kristus atau Isa Almasih, Sang Junjungan yang diimani oleh umat Kristiani. Persis seperti penggunaan kata “maulid” dalam tradisi Islam; sepertinya kata tersebut juga sudah melekat pada peristiwa kelahiran Nabi Muhammad.
Natal tahun ini cukup istimewa karena jatuh di hari Jumat. Hari yang juga diagungkan oleh umat Islam. Hari ini disebut sayyidul ayyam, penghulunya hari. Bertepatannya natal dengan hari Jumat ini dapat dipahami sebagai simbol persatuan sekaligus persaudaraan antara umat Kristiani dan umat Islam. Kedua komunitas ini punya sejarah perjumpaan yang panjang, sejak Nabi Muhammad masih hidup.
Sayangnya perdebatan kita dari tahun ke tahun hanya mengulang isu saja, yaitu terkait boleh tidaknya mengucapkan selamat natal. Sehingga kita luput untuk menyelami makna yang lebih jauh; apa sebenarnya esensi kelahiran Isa Almasih ke bumi. Apakah sebagai seorang muslim kita dapat merefleksikannya?
Jawabannya tentu saja bisa. Sebab, tokoh ini juga diabadikan dalam Al-Quran. Bahkan, nama bunda Maryam diabadikan secara khusus menjadi nama surat. Ini menunjukkan betapa pentingnya sosok Isa dan Maryam dalam Al-Quran.
Kelahiran Isa Almasih dapat kita lihat pada Surat Maryam ayat 16-36. Secara khusus, pada ayat 21, Allah menegaskan bahwa kelahiran Isa sebagai tanda kebesaran Tuhan juga sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada manusia.
Mengapa Isa disebut sebagai tanda kebesaran-Nya? Sebab, kita ketahui bahwa Nabi Isa lahir dari rahim perawan tanpa melalui proses biologis. Ini jelas merupakan tanda keagungan Tuhan. Nalar manusia tidak dapat memahaminya. Imanlah yang membuatnya terjawab, bahwa ada campur tangan Tuhan dalam peristiwa yang irrasional tersebut.
Sedangkan risalah yang dibawa oleh Nabi Isa tak lain adalah kasih sayang kepada sesama, khususnya pada kaum yang sering terpinggirkan. Melalui kehadiran Isa, Allah membantu orang-orang yang dikucilkan; orang yang terkena penyakit menular atau menjijikkan seperti pengidap penyakit lepra dan kusta. Begitupula seharusnya kita menyikapi pandemi. Alih-alih mengucilkan, lebih baik kita mendukung dan membantu orang-orang yang terjangkit penyakit.
Hampir setahun sudah pandemi berlangsung, kita menyaksikan betapa sulit dan rapuhnya jiwa manusia modern. Di tengah canggihnya teknologi, kita semua seolah tak berdaya melawan satu makhluk Tuhan yang kecil bernama corona tersebut.
Ini juga seharusnya menjadi tanda bagi kita, bahwa jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin. Kelahiran Isa yang tanpa ayah atau kehadiran corona yang membuat kita tak berdaya, seharusnya menjadi pengingat bahwa kita ini makhluk yang lemah tanpa kehadiran Tuhan.
Tepat kiranya jika tahun ini tema Natal yang dipilih adalah “Mereka akan menamakan-Nya Immanuel” yang disadur dari Matius 1:23. Immanuel bermakna Allah bersama kita. Kalimat tersebut merupakan pesan yang disampaikan malaikat ketika menampakkan diri kepada Yusuf yang saat itu berencana memutuskan Maria secara diam-diam setelah mengetahui tunangannya mengandung. Di tengah gejolak jiwa, kita harus kembali kepada-Nya. Sebab, Allah selalu bersama kita.
Kalimat yang mirip juga diabadikan dalam Al-Quran, ketika Nabi Muhammad dan Abu Bakar dikejar oleh orang kafir Quraisy dan hendak dibunuh. Lantas mereka sembunyi di Goa Tsur, di tengah ketakutan Abu Bakar, Nabi memberikan keteguhan, Laa tahzan, Innallaaha ma’ana,jangan bersedih, Allah bersama kita.
Dari dua narasi kisah tersebut kita dapat belajar bahwa kekhawatiran Yusuf juga ketakutan Abu Bakar adalah hal yang manusiawi. Pun demikian kecemasan kita pada kondisi negeri saat ini. Namun, seharusnya kita tidak berhenti sampai di situ, sebab, ada Allah bersama kita.
Immanuel, Innallaaha ma’ana, seharusnya tidak sekadar menjadi mantra sakti bagi umat beriman, tetapi juga dibuktikan dalam kehidupan nyata. Mari kita bertanya pada diri pribadi, apakah selama ini kita telah menghadirkan Allah dalam kehidupan atau justru semakin menjauh dari ajaran-Nya?
Oleh karena itu, mari keluar dari perdebatan soal boleh tidaknya mengucapkan selamat natal. Jelas bahwa ini masalah khilafiyah, ulama berbeda pendapat. Silakan diikuti mana fatwa yang dirasa tepat. Saatnya kita menyelami lebih jauh, apa makna kelahiran Isa Almasih bagi seorang muslim?
Tentu bukan tanpa makna, Allah menceritakan kelahiran Isa Almasih. Sehingga refleksi kita seharusnya bukan lagi soal pengucapan, tetapi sudahkah kita menjadikan Isa Almasih sebagai teladan? Jangan sampai kita hanya manis diucapan atau menolak mengucapkan selamat natal, tetapi tidak belajar dari sosok Isa yang kelahirannya sebagai tanda dan rahmat bagi semesta.
Sebagaimana Al-Quran merekam ucapan keselamatan atas kelahiran Isa Almasih, maka saya pun mengucapkan selamat merefleksikan kelahiran Yesus Kristus atau Isa Almasih bagi kawan-kawan Kristiani, Muslim, dan siapa pun yang hati dan pikirannya terbuka untuk belajar dari beliau, ibn Maryam.
Tentunya kehadiran Isa Almasih tidak hanya untuk umat Kristiani, tetapi untuk alam semesta. Teladannya tidak hanya berlaku untuk zaman itu saja, melainkan dapat diimplementasikan sepanjang waktu. Bersama Nabi Muhammad, Isa menjadi panutan kemanusiaan. Sehingga sebagai seorang muslim, kita pun dapat bersuka cita dengan kelahiran Nabi Isa, tanpa harus menciderai akidah yang kita jaga. Wallahu a’lam.
Berau, 25 Desember 2020