Seorang khatib shalat jum’at dua minggu yang lalu (minggu pertama Ramadan), memulai khutbahnya dengan menjelaskan bahwa Ramadan adalah bulan meneladani sifat Allah. Ia mengatakan bahwa sebenarnya puasa sama halnya dengan meneladani atau meniru sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum. Pernyataannya ini diambil dari firman Allah Q.S. 6:14.

Apa yang disampaikan sang khatib ini juga dijelaskan oleh Professor Quraish Shihab dalam bukunya ‘membumikan Al-Qur’an’. Di sana pak Quraish juga menjelaskan esensi dari puasa itu sendiri secara panjang lebar.

Asma’ (nama-nama) Allah sendiri oleh para ulama’ terdapat perbedaan pandangan. Ada yang mengatakan 99 sebagaimana biasa ditampilkan dalam cover mushaf Al-Qur’an. ada pula yang mengatakan jumlahnya hanya puluhan saja. Namun yang jelas, di antara nama Allah yang biasa dikenal adalah nama al-Rahman (Sang Maha Pengasih).

Jika puasa sebagai ajang meneladani sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, maka seharusnya puasa juga digerakkan untuk meneladani sifat Allah yang lain yakni sifat Rahman-Nya. Sebab, saat ini banyak orang yang berpuasa, namun hatinya penuh dengan amarah. Dengan amarah itu, kemudian mereka tak punya lagi rasa kasih sayang kepada sesamanya. Jangan dengan yang berbeda keyakinan dengannya, kepada yang yang seiman saja mereka marah dan menganggapnya sesat. Hal itu tentu jauh dari teladan kasih sayang.

Salah satu sifat Allah yang setiap hari kita baca adalah al-Rahman. Bahkan dalam setiap memulai aktifitas apapun kita ucapkan nama dan sifat Allah itu. Lantas mengapa kita masih sering benci-benci dan maki-maki?. Memang kelihatannya kecil, namun sulit sekali melakukannya.

Lebih jauh dari pada itu, banyak pakar yang mengatakan bahwa manusia ini diciptakan dari cahaya Allah. Ari Ginanjar pakar ESQ, dalam sebuah pelatihan mengatakan bahwa manusia diciptakan dari sifat-sifat Allah. Sifat Rahman (kasih sayang) itu salah satunya. Argumennya adalah, semua manusia pasti mendambakan kasih sayang. Tak ada manusia di muka bumi ini yang tidak mau dikasihi, disayangi dan dicintai. Semua mendambakan hal itu. Lagu-lagu, buku-buku, film-film, dan karya-karya lainnya yang berbicara tentang cinta dan kasih sayang pasti laris terjual. Lalu mengapa kita masih terus membenci dan memaki ?.

Momentum puasa memang seharusnya tidak hanya dimaknai dengan menahan lapar dan dahaga, namun juga harus digerakkan untuk ajang refleksi meneladani sifat-sifat Allah. Sebagaimana perintah Nabi Muhammad S.A.W. “Berakhlaklah (bersifatlah) kamu sekaliah dengan sifat-sifat Allah”.

Masih banyak lagi sifat Allah yang harus kita teladani. Namun kita bisa memulainya dengan meneladani sifat Allah yang setiap hari kita baca yaitu sifat rahman (pengasih) dan sifat rahim (penyayang).  Dengan begitu, perdamaian dan keharmonisan kita sebagai manusia dapat tercipta.

Wallahu a’lam.

Komentar