Ragil Listiyoningsih*

Sexy Killers disebut-sebut akan menjadi film terseksi tahun ini. Film dokumenter besutan rumah produksi Watchdoc ini memang menjarah perhatian publik. Banyak orang yang memberikan sanjungan. Namun tak sedikit pula yang memperdebatkan. Bukan hanya karena pro dan kontra mengenai substansi film, tetapi juga mengenai posisi karya ini. Apakah layak jika Sexy Killers disebut sebagai karya jurnalistik?

Film ini mencoba mengembalikan fitrah sinema sebagai barang publik. Kita tak perlu membeli apalagi didapuk sebagai segmen pasar. Di mana dewasa ini sinema dipandang hanya sebagai komoditas. Tak lain karena sinema menjadi barang komersial yang dijual ke penonton. Pembuat film pun seolah dikendalikan pasar. Tak ada ruang untuk idealisme.

Dalam hal ini Sexy Killers mencoba mengajukan sebuah opini mengenai gurita industri yang bermasalah di Indonesia. Film ini coba mengangkat tentang “bayaran mahal” industri batu bara. Dibayar dengan kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, politik dan lainnya. Industri besar yang merusak itu kebetulan dimiliki oleh para elit politik yang gemar mengumbar jargon pro rakyat.

Penayangan Sexy Killers yang dekat dengan hari H pencobloan (17 April) membikin film ini dikait-kaitkan dengan politik elektoral. Banyak pihak yang menuding bahwa film dokumenter ini memiliki maksud membuat penontonnya golput. Ditunggangi oleh yang pemilik kepentingan dan tuduhan lainnya. Sangat disayangkan ketika film dokumenter ini dikaitkan dengan politik elektoral. Hasilnya sebagian orang gagal menyerap substansi film.
Perilaku pemilih di Indonesia sebetulnya cenderung menekankan pada hal-hal emosional.

Mengedepankan hal sentimental yang akhirnya menjadi gorengan renyah untuk dieksploitasi lagi dan lagi. Alhasil pilihan ditentukan secara emosional. Hingga esensi film untuk menjaga dan memperbaiki kerusakan lingkungan luput dari pandangan.
Film ini ingin mengajak audiens untuk menentang oligarki. Kerusakan lingkungan, korban jiwa, kesenjangan sosial akibat industri batubara menjadi topik utama dalam film.

Apakah film ini menjadi kambing hitam dari pesta demokrasi kita atau dijadikan alat kampanye menguntungkan kelompok tertentu? Menurut saya tidak terlihat adanya tanda yang menunjukkan adanya tendensi ke arah politik praktis. Kalau kita cermati, karya-karya Watchdoc lainnya secara konsisten membahas mengenai ekologi dan sosial.

Sexy Killers dan Jurnalisme Advokasi
Watchdoc dikenal sebagai rumah produksi yang menyajikan karya-karya yang menampilkan masyarakat pinggiran. Tercatat sedikitnya Watchdoc telah membuat 165 episode dokumenter, 714 feature televisi dan 45 karya video komersil dan non komersil. Menurut Andhy Panca Kurniawan, salah satu pendiri dari Watchdoc, kehadiran Watchdoc memang menjadi antitesis dari tayangan televisi dewasa ini.

Maka tak heran jika karya-karya mereka banyak diperdebatkan. Tak sedikit yang beranggapan bahwa karya Watchdoc bukan karya jurnalistik. Pun demikian, pengamat film Eric Sasono menyebutnya sebagai dokumenter advokasi. Karena advokatif, maka cover both side pun tak perlu diperlukan.

Ada pula yang memberi label jurnalisme advokasi. Septiawan Santana Kurnia, dalam buku Jurnalisme Sastra menjelaskan bahwa jurnalisme advokasi merupakan kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh wartawan dengan cara menyuntikkan opini ke dalam berita, tanpa mengingkari fakta.

Sexy Killers menampilkan diri sebagai karya yang digunakan untuk menggiring opini publik. Data yang disajikan merupakan fakta dan nyata adanya. Film ini mengambil beberapa potongan berita dari televisi dan dokumen-dokumen publik. Kemudian membuat sebuah opini yang dikuatkan dengan data dan fakta realitas di lapangan yang kemudian diolah berdasarkan sudut pandang si wartawan.

Dalam penyajiannya Sexy Killers menampilkan sebuah narasi berbeda dengan karya jurnalistik umunya. Di mana orang-orang yang terpinggirkan inilah yang menjadi narasumber utama. Isu yang diangkat jelas mengenai permasalahan orang marginal dan terpinggirkan suaranya.
Terlepas dari hal tersebut, Eksekutif Produser Sexy Killers, Ari Trismana menjelaskan, “Kami hanya membuka fakta-fakta yang tentu tidak disentuh ataupun jika disentuh media konvensional sebatas permukaan saja. Kami memberi ruang bagi warga yang suaranya tidak memiliki tempat di media-media konvensional hari ini.”

Akhir kata, kita sebagai penonton dituntut untuk lebih bijak dan dewasa. Akankah kita menjadikan film ini hanya sebatas perbincangan tanpa tindak lanjut? Bisakah kita membuat perubahan dari hal terkecil di lingkungan kuta? Karena, kita tahu, Indonesia bukan hanya milik para elit politik dan pemilik modal. Namum milik semua warga bangsa, termasuk mereka yang dipinggirkan di tanah airnya sendiri.

*Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Pernyiaran Islam IAIN Surakarta

Komentar