Bagi umat Islam, bulan Ramadan adalah bulan istemewa. Bulan yang dikenal dengan syahru al-shiam (bulan puasa), syahru al-mubarokah (bulan berkah), syahru al-maghfirah (bulan ampunan) dan lain sebagainya. Bulan yang memiliki banyak nama ini, menunjukkan pada keistimewaannya.
Saking istemewanya, masyarakat muslim Jawa biasanya menyambutnya dengan berbagai macam kegiatan yang sudah menjadi tradisi. Apabila kita buka di mesin pencarian google, akan ditemukan setidaknya ada 16 macam kegiatan untuk menyambut bulan Ramadan, meskipun bisa jadi lebih dari itu jumlahnya. Laman Bimas Islam Kemenag RI juga pernah merilis sejumlah tradisi di masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dalam menyambut bulan Ramadan, di antara seperti Nyadran, Apeman, Padusan, Dugderan, Palon Unggahan, Pisowanan, dan lain sebagainya.
Tradisi-tradisi tersebut merupakan kegiatan yang mengumpulkan masyarakat dalam jumlah besar. Misalnya, nyadran atau ziarah kubur yang dilakukan di sebagian daerah eks Mataram (Solo-Yogyakarta), adalah tradisi di mana masyarakat pada suatu daerah berkumpul dengan mengeluarkan sedekah (makanan) untuk dimakan bersama dengan sebelumnya diiringi doa bersama di makam, masjid, atau mushola. Bahkan di sebagian daerah Boyolali tradisi nyadran ini menjadi ajang berkumpul keluarga besar. Sebagian keluarga yang merantau akan pulang pada saat itu, bahkan ada yang menyebut lebih sakral dibanding lebaran.
Dalam tradisi nyadran, biasanya disertai juga tradisi apeman. pada kegiatan ini, masyarakat membuat makanan yakni kue berbahan dasar tepung beras dan tepung terigu, mirip dorayaki di film doraemon. Bagi masyarakat Jawa, apem ini adalah makanan peninggalan para wali, mempunyai filosofi ampunan yang berasal dari kata ‘afuwwun’. Apem yang telah dibuat kemudian disajikan di dalam acara-acara perkumpulan doa bersama masyarakat, seperti kenduren dan sebagainya.
Tradisi nyadran yang dilakukan pada pertengahan bulan sya’ban ini, kemudian disusul dengan kegiatan padusan di daerah Boyolali dan Klaten. Beberapa tempat-tempat mata air (umbul) biasanya menggelar acara-acara besar. Di dalamnya banyak masyarakat dari daerah setempat dan luar daerah berdatangan untuk melakukan mandi besar. Setidaknya dalam dasa warsa terakhir, tim pengelola umbul membentuk panitia penyelenggaraan padusan yang sekaligus menyediakan hiburan rakyat. Dalam kegiatan ini, aktifitas ekonomi masyarakat menjadi meningkat. Namun sebenarnya bukan di situ poinnya. Kegiatan padusan ini disinyalir sudah ada sejak zaman para wali, di mana tujuannya sebenarnya adalah ajaran untuk mensucikan diri dalam menyambut bulan suci Ramadan. Meninggalkan semua perbuatan buruk dan menuju amalan-amalan baik di bulan Ramadan.
Hampir serupa dengan nyadran atau sadranan, di Banyumas ada tradisi perlon unggahan atau acara syukuran yang menyajikan makanan-makanan tradisional. Serundeng sapi dan sayuran berkuah menjadi ciri khas pelaksanaan kegiatan ini. Ada juga pisowanan, atau tradisi berziarah kepada para sesepuh. Di dalamnya juga ada makanan yang kemudian dibagikan kepada sesama peziarah lainnya.
Selain itu, dalam salah satu grup whatsapp, salah satu senior saya mengatakan bahwa di Kudus ada tradisi dangdangan semacam dugderan di Semarang dan sekitarnya. Tradisi ini merupakan kegiatan arak-arakan atau semacam karnaval yang di dalamnya diiringi bedug dan tarian tradisional. Biasanya dilaksanakan satu atau dua minggu menjelang Ramadan tiba. Kegiatan ini tentu dilakukan oleh banyak orang dan mengundang banyak penonton.
Tradisi-tradisi tersebut nampaknya ampuh menyadarkan masyarakat menyambut datangnya bulan Ramadan yang diyakini sebagai bulan sakral dan istemewa. Akan tetapi, pandemic covid-19 membuat situasinya menjadi berbeda. Pemerintah dengan tegas melarang diselenggarakannya kegiatan yang mengumpulkan massa dalam julmlah besar. Acara-acara yang biasa digelar dengan melibatkan banyak orang, kini harus libur sementara. Nyaris tak ada lagi acara-acara sebagaimana biasanya. Datangnya bulan Ramadan rasanya biasa biasa saja. Bahkan ada yang belum menyadari bahwa esok telah masuk bulan puasa.
Beruntung, kini sebagian besar masyarakat kita telah menggunakan perangkat media yang terhubung melalui internet. Selain itu, hampir semua masyarakat di Indonesia mempunyai media elektronik televisi, sebab radio kini mulai ditinggalkan sebagian orang. Nampaknya, media-media baik cetak, elektronik maupun media online cukup berhasil menyadarkan kembali datangnya bulan Ramadan. Hirup pikuk datangnya bulan Ramadan cukup ramai diperbincangkan di dalamnya. Banyak masyarakat kita, khususnya anak-anak muda beramai-ramai memasang story whatsapp dan memposting di whatsapp group permohonan maaf, sebelum memasuki bulan Ramadan. Fenomena ini, sebenarnya secara esensi sama dengan tradisi apeman sebagaimana disinggung di muka. Acara-acara televisi kita, juga banyak yang diarahkan untuk menampilkan drama, dan kajian-kajian Islami. Ada kultum menjelang berbuka, acara-acara religi seperti film walisongo, para pencari Tuhan, dan lain sebagainya.
Jika tradisi-tradisi yang biasa diselenggarakan masyarakat kita selalu identik dengan sedekah atau aktifitas membagikan makanan, di saat pandemic ini masyarakat kita juga cukup kuat menampilkan bagaimana budaya giving itu tetap ada. Meskipun tidak melulu dengan makanan, kegiatan filantropi dengan memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau sembako nampaknya pesat berjalan. Tak ayal jika Indonesia masuk dalam kategori negara tertinggi dalam hal filantropi saat pandemic ini.
Rasanya, ajaran para pendahulu ini sukses menciptakan masyarakat yang gemar bersedekah dengan dakwah bil-hal. Yakni aktifitas dakwah yang secara langsung mengajak masyarakat praktik yang dibungkus dengan tradisi. Di dalam setiap tradisi yang diselenggarakan, jarang sekali ada dalil tentang sedekah yang didengungkan. Melainkan, orang diajak langsung mengeluarkan sedekah tanpa harus mengerti dalilnya. Ini nampaknya pelajaran berharga.
Memang saat ini, media digital telah menjadi satu cara sendiri dalam bermasyarakat. Namun, tradisi Jawa yang telah berjalan sebaiknya tidak dihilangkan. Masyarakat Jawa yang suka berkumpul memang menjadi masalah tersendiri dalam menghadapi pandemic ini. Akan tetapi, tradisi-tradisi baik di atas harus terus lestari, setelah pandemic corona tentunya.