“Kul bikasbika walaa ta’kul bidiinika”
Kalimat ini saya dapatkan dari Kiai Abdurrahman bin Yahya, Pengasuh Pesantren Nujaba, Kragilan, Mojosongo, Boyolali dalam sebuah obrolan. Saya tanyakan lebih lanjut qoul di atas dari siapa? Beliau sampaikan bahwa qoul tersebut dari Guru Mulia beliau Habib Hasan bin Abdullah As-Syathiri, Tarim, Yaman.
Kalimat di atas singkat tapi sangat sarat makna di saat sisi politik terlalu kental dalam keberagamaan kita. Lebih khusus lagi, tentu saja perintah mulia ini ditujukan bagi para murid-murid Habib Hasan bin Abdullah As-Syathiri yang terjun di masyarakat menjadi para pendakwah risalah kenabian pasca nyantrik di Ribath.
Menjadi pendakwah haruslah bekerja. Dengan cara itu ia mendapatkan rejeki. Dengan rejeki yang ada ia bisa berdakwah dengan ikhlas dan totalitas. Pendakwah tidak boleh menjadikan ilmu agama yang dimiliki sebagai sumber penghasilannya. Hal ini berpotensi akan munculnya hasrat manipulatif dan mudahnya agama ditarik dalam wilayah politik sesaat.
Menempatkan agama secara mulia adalah dengan menempatkan agama dan segenap perangkatnya (Ulama, Habaib, Kiai, Muballigh dengan segenap ajarannya, ritual dan tradisi yang ada) sesuai fitrahnya. Menempatkan agama di bawah ketiak politik adalah penistaan. Hal ini terjadi ketika agama dijadikan kendaraan untuk kepentingan politik praktis. Kesadaran menjunjung agama harus ditanamkan ke segenap umat Islam, apalagi para pendakwah.
Empat Tipologi Agama dan Politik
Mari kita lihat pola keberagamaan terkait dengan agama dan politik di dalam ranah praktik keseharian saat ini. Kecenderungan yang terjadi, agama sebenarnya bukan tidak digunakan, akan tetapi agama dipinjam dengan manipulatif. Dalam hal ini ada empat tipologinya.
Pertama, dipinjam dengan cara palsu, berbentuk norma tanpa substansinya. Yang dikatakan tak teramalkan. Ajaran ada dalam ranah harfiah/tekstual/normatif belaka. Ia hadir dalam beragam diskursus tetapi nihil dalam tindakan.
Kedua, dipinjam selektif, menggunakan sebagian dari normanya. Ajaran yang dipakai yang menguntungkan saja. Dalam adagium Jawa, “pilah pilih”. Agam dipilah dan dipilih. Yang menguntungkan saja yang akan digunakan sebagai dasar justifikasi tindakan.
Ketiga, dipinjam kontekstualnya, norma sengaja ditransplantasikan ke dalam konteks dengan latar belakang yang berbeda. Ada penyerupaan (tasyabbuh) yang salah kaprah. Di sini kita diingatkan oleh Almarhum Gus Dur pentingnya pribumisasi Islam. Dan keempat, agama dipinjam dengan antitujuan, norma anti-agama digunakan kembali untuk mencapai tujuan yang berlawanan. Sesat pemahaman dan penerapan.
Refleksi bagi Pegiat NU
Pertanyaan reflektifnya: dalam konteks kita berkhidmat untuk NU, di manakah posisi kita saat ini? Tentu kita berharap tidak masuk dalam empat tipologi di atas. Kita ingin menjadi penjunjung harkat dan martabat NU, bukan yang menginjak atau memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi atau golongan. Menempatkan NU pada semestinya, tentu dengan cara mengembalikannya kepada spirit khittah An-Nahdliyyah di mana NU adalah organisasi keagamaan yang fokus kepada gerakan sosial keagamaan.
Terlalu menarik NU pada wilayah politik praktis akan men-down grade marwah NU. Kalau yang turun pangkat adalah pengurus atau pelakunya, barangkali masih bisa dipahami. Tetapi kalau sampai itu menurunkan wibawa dan marwah NU sebagai organisasi mulia tinggalan Mbah K.H. Hasyim Asy’ari, kita patut bersedih. Jadi, mari kembali kepada gerakan sosial keagamaan yang menjadikan warga NU benar-benar sebagai subyek aktif dalam perjuangan, bukan sekedar obyek pasif (sasaran penderita). Pekerjaan rumah di wilayah ini begitu menganga ketika melihat beragam fakta persoalan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dsb. Tentu kita sepakat bahwa agama tidak hanya dilihat dari sisi “agama” saja sebagaimana yang di-dhawuh-kan Gus Yahya, Ketum PBNU kita dalam https://jateng.nu.or.id/nasional/ketum-pbnu-minta-pengurus-disiplin-dan-taat-aturan-organisasi-mMlCW.
Dari mana kita memulai cita-cita mulia di atas. Mari kembali kepada nasehat Hasan bin Abdullah As-Syathiri melalui salah satu murid beliau. Mari bekerja, mencari nafkah halal yang berkah. Milikilah kompetensi agar menjadi pembenar obyektif bahwa kita memang dibutuhkan. Mewarnai kehidupan dengan kiprah di manapun kita berada. “Kul bikasbika wa laa takul bidiinika”.