Seorang bapak yang secara ekonomi memiliki keterbatasan bercerita soal Maulid Nabi yang diadakan di rumah orang kaya. Undangan bisa ratusan orang dengan suguhan menu yang enak-enak.

Pulangnya masih dihadiahi “berkat” lumayan banyak dan uang seratus ribu rupiah atau mungkin lebih.

“Saya sekarang gak berani mengundang orang untuk baca diba’/barzanji bareng-bareng di rumah. Kalau suguhan untuk para undangan ala kadarnya dan “berkat” yang dibawa pulang juga ala kadarnya, biasanya diledek “undangan maulid kelas askeskin”, demikian cerita bapak itu kepada saya. Sedih sekali saya mendengarnya.

Bapak itu bercerita, dulu ia biasa mengundang puluhan orang untuk baca shalawat di rumahnya , sebelum perayaan Maulid Nabi di kampungnya sebesar sekarang.

Sekarang tidak lagi. Hawatir bapak itu diledek undangannya masuk katagori askeskin.

Mungkin ada yang bilang, “kalau bapak itu ikhlas, kenapa mesti malu?” Eh…saya kasih tahu ya. Mendengar ledekan yang menyangkut status sosial seseorang itu kayak disambar petir. Bikin mental down. Tidak elok soal itu, bahkan sekedar dijadikan lelucon dan bahan candaan.

Harga manusia dan kemanusiaan itu mahal, jangan dibuat lelucon hanya karena status sosialnya berbeda dengan si kaya.

Hingga di sini saya tak bisa mengucapkan kata-kata lagi. Bapak itu bukan mempersoalkan besarnya biaya yang digunakan untuk merayakan Maulid Nabi, tetapi karena perayaaan di rumah orang kaya itu disertai suatu narasi atau tepatnya lelucon yang digunakan untuk menghakimi seseorang karena status kelasnya.

Nabi dalam sejarahnya bukan sekadar sayang dan melindungi yang lemah. Beliau juga membangun sistem sosial yang adil bagi yang lemah.

Jika kita merayakan kelahiran Manusia Agung yang sangat menyayangi yang lemah, pantaskah kita meminggirkan yang lemah, meski menurut kita hanya sekadar lelucon?

Selamat merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semoga kita termasuk umatnya yang selalu menyayangi yang lemah dan kelak kita dapat syafaatnya.

Sumenep, 4 September 2025.

Komentar