Beberapa waktu lalu HMPS KPI IAIN Surakarta menyelenggarakan diskusi online dengan tema menarik: Peran Media, Menjernihkan atau Memperkeruh Suasana dalam Wabah Corona? Jika tema itu dianggap sebagai pertanyaan retoris, tentu tak perlu jawaban. Sebab, jawabnya sudah jelas: media harus menjernihkan, bukan memperkeruh. Hanya saja jika pertanyaan itu bermaksud menanyakan kondisi media Indonesia terkini dalam mewartakan corona tentu menarik dan memantik diskusi panjang.

Sebagian kita mungkin masih ingat bagaimana reporter TV One memberitakan pasien positif Corona pertama di Indonesia. Ya, reporter TV One itu mengenakan masker gas. Tampak provokatif dan berlebihan. Tak pelak TV One mendapat banyak kritik. Saya ingat, Kompas TV bahkan membuat talkshow dengan tema “masker reporter TV One” itu.

Cara TV One yang berlebihan itulah yang kiranya menambah keruh suasana. Karena berpotensi menambah panik masyarakat dan dianggap menyampaikan informasi tidak akurat (dengan memakai masker gas saat siaran langsung, padahal cukup dengan masker biasa). Tampak reporter itu tidak mendapatkan literasi kesehatan yang memadai (atau memang sekadar cari sensasi?)

Lepas dari itu, di akhir diskusi muncul satu pertanyaan menarik: Bagaimana dengan orang-orang di desa yang masih santai-santai saja, masih berkerumun dan seolah tak terjadi apa-apa. Apakah benar kita telah mengalami banjir informasi? Mengapa mereka seolah tak tersentuh informasi?

Lantaran pertanyaan itu, saya tergelitik dan berpikir bahwa jangan-jangan banjir informasi ini hanya untuk kelas menangah perkotaan belaka. Pikiran ini muncul setelah saya menonton video pendek di Twitter, tentang seorang penjual nasi goreng yang dengan polos bertanya kepada babinsa yang sedang sosisaliasi corona “viruse medal jam pinten, pak?” Virusnya keluar jam berapa, Pak? Sontak, video pendek itu memancing tawa netizen dan viral (betapa tipis beda tragedi dan komedi).

Pertanyaan tukang nasi goreng itu tulus belaka saya kira. Polos. Ia tampaknya memang tidak tahu apa-apa tentang corona. Lalu, sampai manakah banjir informasi itu? Banjir yang bikin sebagian orang merasa stres dan tertekan. Apakah hanya di perkotaan saja?

Banyak kemungkinan, boleh jadi informasi tentang corona yang memadai tidak sampai pelosok-pelosok pedesaan. Di media sosial saya melihat beberapa teman mencetak pamflet untuk ditempel di beberapa titik di desa mereka. Mereka menganggap media konvensional masih dibutuhkan untuk menyentuh akar rumput. Sebab, banjir informasi tidak terjadi di pedalaman-pedalaman, di mana internet dan media sosial bukan makanan utama.

Kemungkinan berikutnya adalah mereka sebetulnya tahu bahaya corona, namun terdesak kondisi ekonomi. Ya, tidak semua orang bisa work from home. Mereka harus ke sawah, ke pasar, ke tempat-tempat di luar rumah mereka untuk mendapatkan uang. Sebuah anekdot yang getir mengatakan: mereka lebih takut kelaparan daripada kena corona. Maka, di sinilah pentingnya solidaritas, pentingnya saling membantu.

Pada diskusi itu banyak juga pertanyaan (semi curhat) mengenai media yang bikin panik karena setiap hari memberitakan corona. Corona ada di televisi, koran, portal online, media sosial, group-group WA. Lalu harus bagaimana? Padahal jika panik dan stres bisa menurunkan imun. Jika imun turun rentan terkena penyakit, termasuk corona.

Pertama-tama, yang perlu dipahami adalah sudah menjadi tugas media untuk menyampaikan informasi yang penting, dan sesuatu yang penting hari ini adalah corona. Saya berlangganan koran Kompas. Untuk keperluan diskusi saya amati headline koran Kompas selama bulan Maret. Dari 31 hari hanya dua hari headline tidak bicara corona, selebihnya corona dan corona.

Gentar juga mendapat asupan berita seputar corona terus menerus. Tiap hari kita dengar yang meninggal karena corona terus bertambah, APD kurang, ekonomi lesu, banyak PHK, dst. Seolah sajak Goenawan Mohammad berdengung di telinga kita: bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata. Namun, apakah kita harus protes dan minta media tidak memberitakan corona?

Kiranya, yang perlu dipertimbangkan adalah diet media. Kita merasakan banjir informasi dan merasa panik tersebab gawai kita terkoneksi dengan interenet dan berita-berita berhamburan tiap hari. Tidak semua berita perlu kita ikuti. Durasi mengakses gawai pun perlu dibatasi. Untuk sementara waktu, bisa juga kita log out dari Twitter, Facebook dan Instagram. Lalu menghabiskan waktu di dunia nyata, bukan maya.

Terkait diet media saya teringat pendapat Bre Redana di koran Kompas beberapa hari lalu: Tubuh yang sehat perlu asupan makanan bergizi, begitu pun otak yang sehat memerlukan asupan yang sehat, tidak menelan semua informasi bulat-bulat dan mendistribusikannya lagi bulat-bulat. Benar kata Bre Redana, kita tampaknya perlu belajar lagi “mengunyah informasi”

Akhirulkalam, semoga kita semua dikaruniai kesehatan. Sehat jasmani, sehat rohani.

 

 

Komentar