Abd. Halim*

Bagi teman-teman yang hidup di tanah rantau, mudik atau pulang kampung adalah satu hal yang dirindukan. Setelah sekian lama bergulat dengan pekerjaan, tugas atau kondisi yang mengharuskan kita di tanah rantau, sesekali kita rindu untuk melihat kembali napak tilas di mana kita dilahirkan. Di tempat pertama kali kita belajar tentang dunia dan sekitar.

Mencintai tanah kelahiran itu adalah naluri dari setiap manusia. Ia tidak butuh dalil dan alasan ini itu untuk mengungkapkan kecintaannya kepada kampung halaman. Nabi pun juga mencintai tanah kelahirannya, Mekkah. Saat diusir dari Mekkah, Nabi bersabda, “Andaikan saya tidak diusir dari Mekkah, niscaya aku akan tinggal di sana selamanya”. Pun ketika Nabi hendak sampai ke tanah Madinah, Nabi berdoa, “Cintakanlah ya Allah, tanah Madinah kepada kami sebagaimana kami mencintai tanah Mekkah”.

Saat pulang kampung, kita seolah memenuhi haus dahaga dari kerinduan jiwa kepada tanah kelahiran, pohon-pohon yang menjadi saksi hidup kita sejak kecil, tetangga-tetangga kita yang ikut membentuk perilaku kita semasa di kampung. Dan yang terpenting adalah menjenguk orang tua, keluarga, saudara dan handai taulan dan teman sepermainan saat kecil untuk sekedar bertegur sapa dengan mereka. Sungguh ini adalah kenikmatan yang luar biasa yang dirindukan oleh setiap orang, yang merantau.

Inilah mudik atau pulang kampung tahunan yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita. Namun, apakah kita pernah memikirkan pulang kampung yang sebenarnya? Dari mana kita berasal dan ke mana akan kita kembali? Suka atau tidak suka, pada saatnya kita akan pulang kampung sesungguhnya yakni pulang kampung sowan mudik berjumpa Tuhan yang menciptakan kita.

Kalau mudik ke kampung halaman saja butuh perjuangan dan biaya yang tidak sedikit, bagaimana jika mudik pulang kampung sowan Gusti Allah besok? Sungguh akan sangat melelahkan karena besok kita tidak bisa membayangkan di akhirat ada rest area seperi kita temui saat di dunia. Pantas saja, rasulullah Saw. Pernah berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari sebagai berikut,

Wahai Abu Dzar! Perbaharuilah kapalmu karena laut itu sangat dalam. Ambillah bekal yang cukup karena perjalannya jauh. Ringankan beban bawaan karena lereng bukit itu susah dilalui, dan ikhlaslah beramal karena Tuhan maha teliti!

Pesan Nabi kepada Abu Dzar ini memiliki makna yang sangat dalam. Bahwa manusia akan mengalami mudik sowan Gusti Allah besok setelah meninggal. Perjalanan akan sangat jauh dan melelahkan, maka harus punya kapal yang tangguh. Kapal yang tangguh ini barangkali kendaraan yang akan kita tunggangi selama perjalanan mudik. Pakai apa? Wallhu a’lam.

Namun, Syeikh Nawawi al-Bantani menafsirkan bahwa memperbaharui kapal itu adalah memperbaharui niat. Niat menempati unsur terpenting dalam Islam. Segala sesuatu sangat bergantung dengan niatnya. Jika niat bagus, maka baguslah amalan itu, dan sebaliknya.

Perjalanan mudik sowan gusti Allah juga sangat jauh, maka ambillah bekal yang cukup. Bekal yang cukup ini adalah amal baik. Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan selama di dunia. Oleh karena itu, Abdul Mustaqim, penulis buku Spritualitas Kematian menyatakan bahwa hidup ini adalah kesempatan untuk menyiapkan bekal untuk mudik sowan Gusti Allah kelak di hari kiamat.

Karena perjalanan itu berat dan melelahkan, maka sedikitkanlah beban. Beban ini adalah dosa-dosa dan keburukan yang akan membuat terjal perjalanan kita besok di akhirat. Ia adalah bukit-bukit yang susah dilewati karena dosa-dosa yang dilakukan selama di dunia terutama dosa-dosa yang berkenaan dengan haqqul adami, karena pertanggungjawabannya langsung dengan orang yang pernah disakiti dan dilukai.

Sudahkah, kita punya bekal yang cukup untuk mudik sowan Gusti Allah? Untuk pertanyaan ini, nampaknya kita sepakat bahwa bekal kita masih sangat kurang. Untuk itu, mari selalu menebar kebaikan dan menahan diri dari berbuat keburukan kepada orang lain. Semoga Allah mempermudah dan memperlancar mudik kita, baik mudik tahunan di dunia maupun mudik ke kampung akhirat, kelak! Amin.

Komentar