Masih terekam betul di ingatanku tentang kehidupan bertetangga semasa masih bertempat tinggal di Desa Cepiring, Kabupaten Kendal. Aku yang waktu itu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) dengan bebasnya masuk melalui pintu belakang ke rumah Mak Ru, tetangga depan rumahku. Pintu tersebut langsung menghubungkan ke bagian pawon atau dapur, ruang tempat makanan dan rasa diolah.
Aku memang lebih suka bertandang ke rumah Mak Ru dengan menyelinap lewat dapur. Bukan melalui pintu depan yang menyambungkan ke ruang tamu. Sebab pikirku yang kala itu lebih disibukkan bermain di luar rumah, aku bukanlah orang asing atau tamu. Aku merasa menjadi bagian dekat dengan keluarga Mak Ru. Begitu pula dengan Mak Ru dan keluarganya yang bisa langsung memasuki rumahku. Karena zaman dulu, rumah orang-orang terbuka lebar. Tidak terkunci rapat seperti sekarang.
Memori tersebut menancap kuat hingga sekarang. Aku yang langsung bergegas menghampiri Mak Ru yang tengah berjongkok sembari meniupkan angin melalui bambu berlubang untuk mengobarkan api lebih besar di tungku. Agar makanan yang dimasak di atas panci dengan api menyala lekas matang. Harum yang mulai menyeruak menandakan makanan siap diangkat dan dihidangkan. Sebuah sesi yang paling kutunggu-tunggu. Aku membantu Mak Ru mengambil piring saja lalu menatanya di atas meja makan.
Bukan tanpa sebab aku mampir ke rumah Mak Ru. Karena aku mendapatkan mandat dari nenekku yang lebih akrab kupanggil Ibu. Kata Ibu, Mak Ru akan masak oblok-oblok terong. Tentu porsinya tidak kecil, apalagi keluarga Mak Ru cukup besar dengan anak yang lebih dari lima. Mak Ru pun menawari Ibu untuk mengambil masakannya nanti ketika sudah matang. Pesan itu diobrolkan keduanya saat sedang berbelanja di tukang sayur keliling yang ngetem di ujung gang.
Lalu, akulah yang disuruh untuk membawa masakan itu dari rumah Mak Ru ke rumahku. Namun, tak lupa Ibu juga membekaliku dengan aneka oleh-oleh yang dibeli ibu kandungku yang kupanggil Mama saat berplesiran ke luar kota pada pekan sebelumnya. Jadi, ada barang yang dipertukarkan dan cerita yang mengiringinya.
Begitulah kisahku bertetangga yang semakin akrab berkat makanan. Mak Ru dan Ibu memang sering saling berbagi masakan yang tengah mereka racik. Mungkin, mereka memegang prinsip, “jangan sampai tetanggamu hanya mencium aroma masakanmu. Tapi juga harus mencicipi nikmatnya.” Namun, Ibuku bukanlah seorang muslim. Sehingga, ini juga menunjukkan bukti toleransi yang nyata. Bahwa perbedaan kepercayaan tidak menghalangi antarwarga untuk menjalin hubungan silaturahmi.
Mereka tidak meributkan agama yang dianut. Mak Ru tidak menolak kehadiran Ibu, begitupula Ibu yang senantiasa menjaga harmonisasi interaksi mereka. Keduanya begitu jago membuat jalinan pertemanan keduanya tetap utuh. Rupanya, salah satu caranya adalah melalui makanan. Ibu dan Mak Ru sama-sama gemar memasak. Perempuan yang sama-sama telah dikaruniai cucu ini kebetulan juga memegang peranan penting di rumah, mengatur siklus kenyang bagi keluarganya.
Ibu adalah koki andal yang bertugas memastikan aku, Mama, Papa, dan adik-adikku tidak kelaparan dan mendapatkan kelayakan gizi yang cukup lewat makanan yang dikonsumsi. Begitu pula Mak Ru. Sebab anak-anak mereka sibuk bekerja. Apalagi tipikal keduanya bukanlah orang yang betah berdiam di rumah. Makanya mereka suka sekali mengisi waktu dengan memasak, menjajal aneka resep baru, dan saling memberi masukan atas masakan masing-masing. Mereka kerap saling meminta dan memberi bumbu dapur saat sewaktu-waktu kehabisan. Tinggal bergegas menyambangi rumah tetangga kesayangan.
Makanan dan masakanlah yang kian mempererat mereka. Meski keduanya telah berpulang ke Sang Pencipta, Mak Ru dan Ibu adalah teladan soal bagaimana membangkitkan persatuan dan kerukunan lewat hal-hal sederhana. Tidak usah muluk-muluk melalui topik yang berat. Cukup lewat masakan dan makanan.
Makanan Kunci Persatuan
Lalu kenangan itu terbawa hingga aku menginjak usia seperempat abad. Seiring waktu dan banyaknya momen yang aku lalui, memang benar adanya bahwa makanan adalah kunci untuk membuat Indonesia bersatu.
Pernyataan ini jelas tergambar ketika aku mencoba mengulik beberapa tradisi dan kebiasaan yang melibatkan makanan dan warga dalam jumlah besar. Misalnya, di tempatku lahir dan besar, ada tradisi Weh-Wehan tiap kali menyambut Maulud Nabi. Ini adalah momen kami para tetangga saling berkunjung ke rumah masing-masing sambil membawakan makanan tertentu. Misalnya memberikan sumpil ke tetangga. Jajanan ini bentuknyya setiga, merupakan perlambang hubungan kita dengan Tuhan serta kita dengan sesama manusia.
Jadi tradisi ini sekaligus pengingat bahwa ibadah dan hidup tidak melulu mengejar hubungan yang transedental. Namun, bagaimana kita menyeleraskan juga kehidupan bersosial dan ibadah dengan Si Penguasa Jagat Raya.
Kalau buatku, tradisi Weh-wehan ini juga menyenangkan. Pasalnya, aku bisa ngobrol dengan anak tetangga yang sebaya denganku yang mungkin jarang bertemu karena lain sekolah. Lalu kami bisa saling memamerkan makanan yang didapat dari para tetangga.
Dari tradisi yang simpel ini, terlahir sebuah interaksi yang bisa jadi selama ini terhalang pintu yang kunci rapat serta tuntutan pekerjaan yang menghadang.
Lalu ada pula tradisi tumpengan yang menandai sebuah perayaan besar dalam fase kehidupan manusia. Tumpeng yang berbentuk kerucut dengan ujung segitiga lancip, lagi-lagi juga menyelipkan makna tentang keselarasan kita dalam membangun hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan manusia. Makanan-makanan di Indonesia memang tidak melulu mengenyangkan tapi turut mengingatkan pentingnya memupuk persatuan antarwarga karena kita sama-sama Indonesia.
Tradisi menyantap makanan porsi besar secara massal juga berpengaruh dalam kerukunan bangsa ini. Misalnya, di Jawa masih lestari kebiasanan melahap bersama menu liwetan atau bancakan. Liwetan atau bancakan ini umumnya digelar untuk memperingati agenda besar tertentu misalnya HUT Republik Indonesia atau Malam Satu Suro. Beralaskan daun pisang yang digelar di area lapang seperti lapangan atau jalan raya, bancakan atau liwetan menjadi momen yang mengundang banyak orang berkumpul. Tiap orang yang datang berkerumun dan bersiap menyuap nasi liwetan dan bacakan pakai jari. Tiap mereka menanggalkan identitas diri dan melebur jadi satu dengan warga yang juga ikut berebut nasi liwet. Melupakan sejenak status yang melekat lantaran nasi liwet sebaiknya dikudap lebih nikmat secara bersama-sama.
Didukung Modernitas
Rupanya, modernitas turut mendukung tradisi jamuan makan bersama kolega untuk melobi persatuan, mempererat hubungan, serta membuat kita saling mengenal dengan lawan bicara. Karena obrolan yang dilangsungkan saat sedang makan bersama cenderung lebih cair. Barangkali, amarah dan emosi yang tertahan bisa terluapkan dan tersalurkan lewat makanan. Kemarahan bisa mereda lewat sepiring makanan lezat yang terhidang.
Tak usah mengelak, ingatkah kita topik apa yang kita bahas saat pertemu seseorang yang asing untuk pertama kali? Kemudian, tema apa yang akan diobrolkan ketika bersua dengan kawan yang telah lama berpisah? Kebanyakan pasti pernah memasukkan topik makanan yang disuka untuk membuka obrolan yang berlanjut ke perbincangan hangat berikutnya. Pasalnya, makanan adalah topik aman dan tidak sensistif. Beberapa orang tidak akan keberatan untuk terang-terangan bercerita soal makanan. Justru akan menggembirakan jika berujung kecocokan soal selera makanannya.
Membicarakan selera makanan, warga Indonesia juga memiliki kesamaan soal urusan lidah. Kita tidak bisa berpaling dari kelezatan makanan terenak di dunia yang dinobatkan ke rendang, makanan asli Sumatera Barat. Jika untuk itu, tidak ada yang menolaknya.
Rendang membuat persatuan kita semakin awet dan rasa kebanggan terhadap Indonesia semakin membuncah. Kita lantas mengelu-elukan prestasi ini dan tidak ingin makanan ini sampai direbut oleh bangsa lain. Untuk mengupayakan itu, kita saling bahu-membahu meramaikan lini masa dengan konten tentang rendang yang merupakan aset kekayaan Indonesia.
Ya, masyarakat Indonesia memang bakal reaktif jika sudah menyangkut makanan dan sebuah pencapaian di kancah internasional, aksi klaim, rebut-merebut dengan bangsa lain, dan tak kalah penting tentang segala sesuatu yang viral.
Karena yang sedang trending akan terus dikulik dan dikupas. Bahkan kami rela bersatu untuk memburu makanan enak yang tengah digandrungi warganet. Sampai-sampai bermunculan akun media sosial tentang rekomendasi tempat makan enak yang mewadahi para pecinta makanan agar lebih produktif dan tidak membuang waktu percuma dengan kegiatan yang tidak pasti. Ya, cara mengisi waktunya dengan jelajah kuliner berdasarkan panduan yang telah tersebar di media sosial.
Dan ada satu makanan yang termasuk sejuta nikmat yang sayang untuk dilewatkan. Yakni nasi goreng. Di mana pun kita berpijak, nasi goreng selalu berevolusi dan memiliki aneka tambahan penyedap rasa yang lengkap. Namun bentuk dan cita rasanya selalu sama di tiap wilayah.
Naik Kelas Diplomasi
Makanan juga dijadikan taktik diplomasi. Seperti yang dicontohkan Joko Widodo yang bertemu dan membincang berbagai hal dengan Prabowo Subianto di tempat makan Sate Khas Senayan di FX Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ini seperti seolah ingin menyuguhkan ke publik bahwa makanan tidak hanya sekadar pelepas lapar. Namun juga mendekatkan yang sempat regang. Membawa isu krusial menjadi ringan dibahas dan menemukan solusi yang diperbincangkan saat makan.
Selain itu, makanan juga jadi isu menarik di era teknologi sekarang. Berbagai Youtuber berlomba-lomba mengunggah video yang mengulas rekomendasi tempat makan untuk kita. Jika dilihat secara statistik, tema makanan memang paling banyak dipesan oleh para artis. Jadi bisa disimpulkan, makanan tetap bertengger dan akan selalu diminati banyak kalangan lintas gaya hidup.
Begitulah sekelumit perjalanan makanan dalam mengemban misi untuk merekatkan persatuan dan menjaga kerukunan bangsa.