Catatan Roadshow Ki Ageng Ganjur ke Belanda dan Aljazair #2

Hari kedua di  Belanda, 13 September merupakan jadwal pertama Ki Ageng Ganjur melaksanakan workshop. Mulanya kami agak pesimis saat akan memulai workshop musik tradisional Indonesia di even pasar rakyat Pandora, Den Haag. Rasa pesimis ini muncul karena kami memberikan workshop musik tradsional di kalangan masyarakat Eropa yang modern.

Saat para crew setting alat para pengunjung melihat alat-alat musik yang kami pasang dengan tatapan aneh. Ada yang heran dan penasaran, namun ada juga yang berbinar senang karena melihat alat musik yg pernah mereka lihat dan dengarkan namun sudah lama mereka tinggalkan karena merantau di negeri orang. Mereka melihat saron, kecapi, suling dan kendang seperti melihat masa lalu yang telah terlubur waktu.

Suasana gedung de Broodfabriek di Rijkswijk Den Haag yang menjadi tempat pelaksanaan even Pandora sudah mulai rame. Para pengunjung mulai berdatangan secara bergelombang. Para orang tua  yang sudah lanjut usia berdatangan dengan pasangan. Beberapa pasangan muda mengajak anak2 dan pasangannya. Bahkan anak-anak muda juga secara berkelompok datang dengan teman sebaya. Mereka bukan saja orang- orang Indonesia tapi juga orang Eropa yang menjadi pasangan hidup orang Indonesia dan anak-anak muda Eropa.

Untuk menarik perhatian pengunjung, para musisi Ganjur yg berkolaborasi dengan Iman Jombot segera memainkan musik. Di luar dugaan, begitu musik dimainkan perhatian pengunjung langsung tertuju pada stand workshop Ki Ageng Ganjur yang letaknya persis di samping pintu masuk. Mereka mulai terbawa alunan musik kecapi, kendang yang dirangkai dengan suara seruling dan saron. Beberapa diantaranya mulai bergerak mengikuti irama meski terlihat masih malu-malu.

Suasana menjadi semakin meriah ketika Hastuti, vocalis Ganjur dan Mell Shandy, sang lady rocker Indonesia mulai membawakan lagu tradisional, mulai Es Lilin, Caping Gunung, Imaginnya John Lennon sampai lagu dangdut dan campur sari. Sontak suasana berubah. Seperti membangunkan orang tidur, tanpa dikomando para pengunjung langsung turun joget bersama, memenuhi lantai yang ada di depan stand workshop. Para lansia, anak muda sampai anak kecil semua berjoget.

Melihat suasana yang makin meriah dengan antusiame pengunjung yang tinggi, rasa pesimisme kami langsung lenyap. Setelah larut dalam kegembiaraan bersama, kami mengajak pengunjung untuk berlatih menabuh gamelan dan memainkan alat musik tradisional yang ada. Di luar dugaan mereka menyambut tawaran ini secara antusias. Mulai para lansia, pemuda sampai anak-anak bergiliran mengikuti workshop. Mereka semakin tertarik dan excited ketika diajak berkolaborasi memainkan gamelan bersama Ganjur.

Selain menabuh gamelan para pengunjung juga bisa berfoto dengan memakai baju tradisional Nusantara yang disediakan oleh crew Ki Ageng Ganjur. Wajah mereka berbinar bahagia saat berpose dengan jarit, surjan dan baju kebaya sambil mengenakan caping.

Dari sini terlihat jelas, bahwa musik adalah bahasa universal. Keberagaman dan perbedaan yang ada pada saat itu tersatukan oleh alunan musik. Berbagai sekat yang ada lebur dalam kegembiraan bersama menikmati musik. Komunikasi yang tersendat menjadi lancar melalui musik.

Ada satu kebanggaan dan rasa percaya diri ketika kami bisa melatih orang-orang Eropa bermain gamelan. Di sini kami merasa sejajar dengan mereka. Ini artinya kebudayaan telah mampu mengangkat kita, bangsa Indonesia menjadi sejajar dengan bangsa Eropa. Kita bisa menjadi pelatih, guru dan mentor bangsa Eropa yang sudah maju untuk berlatih seni budaya yang eksotik dan dikagumi bangsa lain.

Berkaca dari peristiwa ini saya jadi berpikir, betapa naifnya orang yang tega mencampakkan budayanya sendiri agar terlihat modern dan maju. Sudah selayaknya kita menjaga dan mengembangkan khazanah seni budaya secara kreatif. Karena seni budaya terbukti tidak saja menjadi sumber kreatifitas yang dikagumi bangsa lain tetapi juga bisa meningkatkan martabat sehingga kita bisa sejajar dengan bangsa lain.

Komentar