Winarto*
Dewasa ini media sosial (medsos) dan aplikasi semakin menjamur jenisnya. Mulai dari BBM, Facebook, WhatsApps, Instagram, LINE hingga Twitter dan masih banyak jenis lain. Diprediksi akan terus berkembang dengan fitur yang lebih lengkap dan tampilan lebih menarik.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat tersebut membuat cara komunikasi jauh berbeda dari sebelumnya. Dulu hanya dilakukan dengan cara manual tatap muka atau via telephone. Kini, melalui medsos tersebut, komunikasi satu sama lain dilakukan secara online, menjadi cepat, dekat dan terasa tanpa sekat.
Namun, tak jarang nilai-nilai etika dikesampingkan. Kata-kata cacian dan mengolok-olok sering kita baca di medsos. Bahkan, tak jarang berlanjut konflik fisik yang berujung penganiayaan. Tak hanya itu, komunikasi murid kepada gurunya, anak kepada orang tua, tak lagi menggunakan tutur kata yang sopan dan hormat. Begitulah, ekspresi-ekspresi komunikasi di medsos dewasa ini, banyak yang dilampiaskan begitu norak dan memalukan.
Melalui medsos juga, kemudahan-kemudahan komunikasi dimanfaat oleh oknum tertentu untuk melancarkan perbuatan jahat mereka. Berita hoax sering kita jumpai di depan mata kita. Berbagai penipuan juga tak sepi beredar. Bahkan ancaman serta teror juga tak ketinggalan.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut, jika terus meluas dikhawatirkan akan mengganggu keharmonisan publik. Oleh karena itu, diperlukan norma-norma yang bisa dijadikan acuan bermedia sosial yang santun.
Islam, yang salah satu fungsi kehadirannya sebagai rahmat seluruh alam, memberikan perhatian terhadap fenomena ini. Secara eksplisit diingatkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, misalnya dalam surah Al Baqarah ayat 263 “perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (qaulun ma’rufun wa maghfirah khairun min shadaqatin yadba’uha adza).
Secara teknis, nilai-nilai agung tersebut diantaranya adalah adab dan tawadhu’. Penulis menilai kedua karakter tersebut sebagai seni karena mampu menciptakan keindahan dan keharmonisan terhadap sesama.
Adab
Secara etimologi, kata “adab” dimaknai sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Adapun “beradab” berarti mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan (www.kbbi.web.id).
Adab merupakan nilai yang dapat dijadikan patokan dalam berhubungan satu sama lain. Manusia yang beradab (insan adabiy) yang memberikan kemuliaan dan penghormatan kepada orang lain agar hubungan semakin harmonis.
Adab yang baik bisa ditunjukkan melalui lisan maupun perilaku. Melalui lisan, seseorang yang menggunakan medsos hendaknya menulis kata-kata yang baik, lembut dan sopan.
Jauh hari sebelum bermunculan medsos, nabi sang pemilik akhlak paling agung, sudah berpesan untuk berkata atau menulis yang baik, “barang siapa beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hendaknya berbicara yang baik atau diam” (man kaana yukmin billahi wal yaumil akhir, fal yaqul khairan au liyasmut).
Lebih lanjut, diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa nabi Muhammad bersabda, “Hak seorang atas atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak.”
Tak hanya perkataan, perilaku mereka seyogyanya senantiasa mecerminkan kehangatan dalam bergaul. Perilaku yang baik selalu menunjukkan penghormatan. Hal ini karena perilaku merupakan cermin dari perkataan/tulisan yang baik. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya dengan salaman, senyum, mimik wajah hormat, menundukkan kepala, tidak melototi dan sejenisnya. Dalam bermedia sosial bisa ditunjukkan dengan cara melengkapi tulisan dengan emoji, emoticon atau stiker yang menyejukkan seperti emoji happy, smile, laughter tears, smile, like, piss, in love dan lain-lain.
Terlebih bagi anak muda, para santri atau murid, seharusnya menempatkan adab sebagai akhlak yang agung. Mereka hendaknya memposisikan adab pada tingkat yang tinggi, lebih tinggi daripada ilmu (al adabu fauqa al ‘ilmi). Sehari-hari, seharusnya membiasakan diri untuk berkata yang sopan dan lembut. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan (ta’dzim), kepada guru, terlebih kepada orang tua.
Tawadhu’
Tawadhu’ secara bahasa berarti ketundukkan dan rendah hati. Sifat tawadhu’ adalah karakter yang memposisikan dirinya lebih rendah dari orang lain. Perasaan ini memungkinkan untuk belajar lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sehingga terbuka dan menerima nasehat-nasehat baik sebagaimana pesan Allah dalam Al Qur’an surah Al ‘Ashr ayat 2: “Dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran” (wa tawa shaubil haq wa tawa shaubish shabr).
Karakter tawadhu’ juga mengarahkan untuk berprasangka baik (khusnudzan) terhadap seseorang. Khusnudzan mampu meminimalisir tuduhan-tuduhan tak berdasar yang mengarah pada kebencian.
Selain itu, tawadhu’ juga bersedia mengakui kelebihan atau kebenaran orang lain. Pengakuan dibutuhkan sebagai bentuk penghormatan, juga membuka pikiran kita untuk bersedia menerima ilmu dari orang lain, bahkan dari “lawan” sekalipun.
Memiliki sifat ini, kebiasaan buruk dalam bermedsos dapat dihindari. Misalnya menulis kata-kata yang mencerminkan kesombongan, prasangka buruk (su’udzan), tuduhan tanpa bukti, memfitnah dan lain lain.
Untuk mencapai sifat tawadhu’ diperlukan upaya membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, baik lahir maupun batin. Membersihkan diri itu berupaya untuk tau kadar diri sehinga tidak merasa paling benar, paling baik, paling pintar, paling kaya dan sejenisnya.
Pembersihan diri dapat dilakukan dengan introspeksi diri (muhasabah), dzikir dan metode lain yang mampu mengurai keras atau kakunya hati. Sehingga hati menjadi lembut dan tidak mudah melampiaskan kemarahannya di media sosial.
Demikianlah upaya kami untuk menampilkan kembali nilai-nilai etika dalam masyarakat, terutama untuk merespon problem penggunaan medsos akhir-akhir ini. Harapannya, semoga tulisan ini tidak hanya berbagi ilmu (transfer of knowledge) tetapi juga sebagai pendidikan adab (transfer of value). Sehingga tutur kita dalam bermedia sosial makin bijak dan menebar rahmat.
* Dosen IAIN Surakarta