Judul tulisan ini agak sensitif, karena komunitas/ kelompok yang dituduh radikal, pada dasarnya tidak mau disebut sebagai radikal. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai aktivis atau pejuang agama, dibanding julukan “radikal”. Mungkin ini karena stigma negatif yang berhasil dilakukan oleh penguasa (pemenang sejarah) untuk melabeli sebuah kelompok tertentu. Padahal, arti kata radikal awalnya adalah netral. Siapapun yang bersikap keras dan memiliki tekad kuat terhadap sesuatu itu disebut radikal. Jadi, orang yang memiliki tekad kuat mempertahankan keutuhan Bangsa dan agamanya, meskipun harus mengorbankan banyak hal termasuk nyawa  disebut radikal juga. Kategori seperti ini bisa disebut pahlawan juga.

Nah, sekarang kita membahas menangkal radikalisme agama. Upaya pemerintah untuk menangkal gerakan radikalisme agama karena dianggap membahayakan keutuhan Negara sudah dilakukan dengan banyak cara. Ada program deradikalisasi, ada program mewacanakan moderasi beragama, dan lainnya. Saya ingin mengatakan bahwa semua program itu, jika tidak dilakukan dengan dialog (yang saling memanusiakan), tidak akan menyelesaikan masalah, tapi justru memperumit masalah. Upaya deradikalisasi, jika dilakukan dengan konfrontatif, melabeli sebuah kelompok dengan ungkapan “pengasong agama”, “manipulator agama” “penghianat Bangsa” dan lain-lain, menurut saya hanya akan memperuncing masalah dan membuat suasana semakin tegang. Bagaimana bisa memperuncing masalah? Mari kita bahas.

Pertama, secara psikologis, kelompok apapun yang ditekan, didiskriminasi dan dimarginalkan, maka semua perlakuan itu akan menyatukan mereka untuk melawan. Sederhananya, siapapun yang ditekan justru akan semakin solid dan kuat untuk melawan. Kita tentu ingat sejarah Yahudi yang dulu pernah ditekan, bahkan ingin dilenyapkan oleh Nazi Jerman. Tapi Yahudi justeru tidak hilang dari muka bumi, mereka semakin solid dan kemudian berubah menjadi sebuah kekuatan besar. Nah, ketika sekarang tidak lagi ditekan dan diberi kebebasan sepenuhnya di Amerika, soliditas itu katanya menurun, dan mereka tidak lagi disatukan dengan sekte “keyahudiannya”.

Kedua, berkali-kali saya mengatakan, dunia ini terlalu rumit untuk disimpulkan. Meskipun banyak aspek yang harus dikritik dari kalangan radikalisme agama, tapi harus jujur diakui banyak kelebihan mereka yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Apakah itu? Ketulusan, kejujuran, kegigihan menjalankan agama, dan lain-lain. Jadi, jika terus-menerus nyinyir, membully, mengata-ngatai mereka sebagai “pengasong agama”, “manipulator agama”, sebenarnya yang sok suci itu siapa? Maaf, di sini saya ingin mengatakan, yang dilakukan oleh para “sok intelektual” yang status-statusnya setiap hari membully kalangan radikalisme agama, menurut saya itu bukan sikap akademisi, tapi provokator. Karena apa yang dilakukan, itu justru memperuncing masalah, dan membuat suasana semakin tegang. Ingat, kekerasan (tidak hanya fisik, tapi juga buliyan dll), hanya akan melahirkan kekerasan lainnya

Ketiga, sejarah sudah berkali-kali membuktikan, bahwa menyelesaikan masalah itu dengan dialog. Buku-buku, pemikiran-pemikiran yang menjadi rujukan radikalisme agama itu jangan dihindari apalagi dijauhi, tapi justru harus kita baca, kenapa dan apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Selain itu, kita juga harus memperluas wawasan, apa yang menyebabkan terjadinya radikalisme agama itu? Apakah faktor ketidakadilan global? bentuk protes terhadap penjajahan panjang Barat kepada Negara muslim? kekagetan budaya karena cepatnya perubahan sosial? Modernitas yang menggusur berbagai otoritas lokal? Atau karena memang kegagalan dalam menafsirkan agama. Jika kita mengkritik mereka sebagai orang kaku yang tidak memiliki pandangan yang luas, jangan-jangan kita sendiri yang kaku dan picik dalam memandang dunia ini.. Mudah-mudahan, kita semua tumbuh menjadi orang yang arif, bijaksana serta bermanfaat bagi kehidupan, bukannya menambah masalah kehidupan. Wallahu A’lam Bis-Showab.

Komentar