Harakatuna.com. Secara lahiriah, perempuan bersifat lemah lembut dan penurut. Apabila terjadi suatu masalah pertama kali yang merespons adalah perasaan dan emosi sesaat. Utamanya saat menghadapi persoalan pelik semisal menjadi korban pelecehan seksual.
Hal itu tidak bisa secara langsung dibuka di depan orang banyak. Sebab, perempuan masih harus mempertimbangkan segala hal. Mereka berpikir bahwa dengan melaporkan kasus tersebut, maka harus siap menanggung malu di mata masyarakat. Bahkan, beban psikologis mereka akan semakin memberat setelah suasana lingkungan berubah toxic.
Ditambah lagi kalau nanti terjadilah perundungan, pengucilan, dan diskriminasi di masyarakat. Belum lagi bila mereka beranggapan bahwa mereka bukanlah pasangan ideal serta kemungkinan tipis untuk mendapatkan pasangan terbaik, hal ini disebabkan karena mereka ternodai oleh kasus pelecehan ini.
Perempuan dan Dilema
Dari pada beberapa kemungkinan yang terjadi, maka mereka lebih memilih bungkam dibanding memilih berurusan dengan hukum. Alhasil, bila ada masalah menyerbu, mereka hanya bisa mengobati luka sendiri dan dipendam sedalam mungkin.
Meski begitu, mereka tetap mengkhawatirkan bom waktu yang menggungkap persoalan ini. Tidak menutup kemungkinan pula, segelintir di antara mereka melampiaskan kekecewaan lewat dinding media sosial.
Di ruang publik inilah mereka menemukan kenyamanan karena mereka lebih didengar dan diperhatikan secara serius walaupun sebatas lewat kolom komentar. Namun, tak sepenuhnya korban yakin kalau kasus pelecehan yang dialaminya itu ditindaklanjuti pihak berwajib. Sebab, postingan-postingan dari korban tak menjamin kepastian kronologi kasus pelecehan yang mereka alami.
Beruntung, kalau dari postingan tersebut bisa viral. Bagaimana jika kalah viral dengan yang lain, tentunya hanya akan menjadi pajangan. Sejauh ini para korban masih tabah mencari keadilan dari balik ruang media sosial, sekalipun tidak kunjung mendapat sorotan atau bahkan tidak sama sekali.
Pelecehan di Maya dan Nyata
Pelecehan tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi sangat pula rentan terjadi di dunia nyata. Namun, tidak keseluruhan kasus yang terjadi di dunia nyata dijamin viral mendadak. Seperti dilansir dari BBC News Indonesia.com (7/12/21) Hannah Al-Rashid perempuan penyitas pelecehan seksual di ruang publik ini pernah menceritakan pengalaman buruknya mengenai kasus pelecehan yang dialami. Yakni ketika beliau diserang dua lelaki pengendara motor telah berhasil meraba dan menyentuhnya kemudian langsung pergi.
Di saat bersamaan, beliau juga tak berani berbuat apa-apa, beliau syok berlebih. Bahkan, rasa trauma yang beliau alami masih terbawa sampai detik ini meski beliau sudah tergabung menjadi penyitas pelecehan seksual.
Dari situ, Saya yakin semua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual entah secara verbal atau non verbal. Sampai-sampai, menyisakan trauma berat bahkan. Meninggalkan bekas lara dan luka batin mendalam. Anehnya, para korbannya sering kali menyalahkan si korban dengan anggapan bahwa si korbanlah yang telah mengundang hasrat pelaku.
Semisal dengan mengenakan pakaian ketat atau rok mini, berdandan menor, memakai perhiasan berlebihan, dan sebagainya. Padahal, pakaian tidak menjamin para perempuan selamat dari incaran pelaku.
Ada pula kasus wanita bercadar yang dilecehkan di tempat umum. Hal ini dikuatkan berdasarkan survei dari BBC News Indonesia.com (7/12/21), perempuan pemakai rok dan celana panjang 18%, baju lengan panjang 16%, hijab 17%, seragam sekolah 14%, dan baju longgar 14%. Tak bisa kita langsung mendoktrin secara rigid memaksakan mereka menggunakan pakaian tertutup.
Memang benar pakaian tertutup bisa sedikit meminimalisir adanya pelecehan, tetapi tak ada yang tahu niat jahat berasal dari mana. Tidak ada jaminan atas hal itu. Saya menduga, kemungkinan ada motif lain mengapa perempuan yang menutup aurat dengan benar masih tetap kebobolan.
Bisa jadi pelecehan itu dilakukan karena ada pihak-pihak yang berniat buruk untuk menodai. Seperti melecehkan dengan sengaja perempuan bercadar dengan motif agar dicap sebagai perempuan nakal meski secara penampilan terlihat taat. Kemungkinan terburuknya si korban merasa minder dengan penampilannya. Alhasil, si korban akan mengubah penampilannya juga, yang semula berkerudung menjadi lepas.
Korban menganggap kejadian pelecehan itu disebabkan karena penampilannya. Seolah-olah pelecehan ini memberikan teror pada si korban agar tidak lagi taat agama seperti sebelumnya. Kemungkinan terburuk korban mengalami kegoyahan terhadap keyakinannya, bahkan bisa saja berpaling dari agama dan kepercayaannya itu.
Berkaca dari kasus-kasus yang baru-baru ini beredar, dilansir dari Pikiranrakyat.com (7/12/2021), Novia Widyasari menjadi korban pelecehan seksual hingga merembet ke kasus bunuh diri dengan meminum racun sianida di pusara ayahnya.
Ironisnya, pelaku merupakan anggota polisi muda yang baru merintis karirnya. Tentu hal ini menjadi sorotan penuh di muka publik. Seolah slogan polisi melayani masyarakat dengan setulus hati hanyalah menjadi pajangan belaka di depan kantor. Polisi yang seharusnya mampu melayani masyarakat dengan baik, malah mencoreng citranya sendiri. Tak heran apabila kepercayaan masyarakat mulai pudar, sehingga mereka tak ingin lagi berurusan dengan kepolisian atau dengan hukum yang berbelit-belit.
Tak hanya itu yang membuat publik memanas, justru ditambah dengan adanya pernyataan terbuka bahwa si pelaku ini dijatuhi hukum pidana kurungan atas kasus aborsi yang mereka lakukan. Hal yang mendasarinya disebabkan keduanya berhubungan layaknya suami istri atas dasar suka sama suka. Kemudian lama-kelamaan muncul adanya unsur pemaksaan dari pihak pelaku untuk melakukan hal tersebut. Hingga akhirnya korban mengandung di luar nikah, sementara pihak pelaku tidak mau bertanggung jawab dikarenakan mempertahankan karir yang masih seumur jagung.
Menurut informasi yang saya lansir dari CNN Indonesia.com (9/12/2021) di kasus ini Almarhumah Novia pernah melaporkan eksploitasi seksual serta pemaksaan aborsi ke Komnas Perempuan. Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa Novia mengalami kekerasan dan pelecehan seksual secara berulang sejak menjalin hubungan pacaran dengan pelaku tahun 2019. Beliau menyatakan bahwa Novia Widyasari sudah mendapatkan pelayanan konseling dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto.
Saya mengapresiasi keberanian dari si korban atas kelapangan hatinya mau melapor dan bersedia menerima bimbingan konseling. Meski sudah dilakukan pembimbingan secara privat tetap saja rasa trauma berat disertai depresi yang dialami korban tak kunjung membaik. Dari kondisi korban inilah yang membuat korban terdesak hingga melakukan bunuh diri. Bila ditilik lebih dalam, sebetulnya si korban juga ada kesalahan karena tidak bersegera melaporkan sejak awal ketika diajak berhubungan. Kalau saja sudah diusut dari awal, tentu kasus ini tidak akan merembet pada kasus lain sampai harus memakan nyawa korban.
Delik Media Sosial
Menurut Ahmad Khadafi, di negeri kita dunia hukum mengenal tiga delik yakni delik aduan, delik biasa, dan delik viral. Yang lebih populer, di negeri kita yakni delik viral yang selalu berhasil membuat warganet heboh tujuh turunan.
Beruntung kasus tersebut bisa viral sehingga bisa ditangani lebih lanjut lantas bagaimana dengan kasus di luar sana yang kalah viral bahkan, tak terhitung jumlahnya. Penyebab kalah viral hanya ada dua antara akun sosmed kurang aktif atau karena tenggelam dengan kasus lain. Para korban sudah berusaha mencari keadilan lewat dinding sosial media malah tidak kunjung mendapatkan penanganan.
Umumnya kasus pelecehan itu viral setelah sudah berhasil ditelisik para buzzer budiman baru kemudian pihak berwajib menindaklanjuti. Pernah sesekali viral tagar percuma lapor polisi satu hari satu oknum. Hal ini ditujukan sebagai bentuk kritik dari warganet atas kekecewaan mereka terhadap kinerja kepolisian yang dianggap lamban. Bahkan, untuk penanganan sendiri perlu melalui proses seolah-olah seperti dipersulit.
Mencari jalan keadilan tidaklah semudah menegakkan tiang bendera di halaman. Perlu proses dan waktu teramat panjang, belum lagi bila dihitung dari banyaknya kendala yang dihadapi. Viral menjadi salah satu opsi terbaik di saat permasalahan pelik mengenai kasus pelecehan makin menggila. Butuh kesabaran ekstra dalam menilik suatu kasus secara mendalam agar mata publik dan pihak berwajib terbuka seutuhnya.
*Umi Nur Baity, mahasiswi Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Raden Mas Said Surakarta bergiat di UKM LPM Dinamika 2021.