Ajaran agama yang ekslusif kini marak ditemui Indonesia. Biasanya, tampak dari aktivitas kelompok, pemakaian bahasa, gestur, busana, dan konflik. Menurut banyak pengamat ekslusivitas terjadi sebab doktrin pandangan yang menganggap bahwa agamanya sebagai satu-satunya yang benar.
Apakah dengan meyakini kebenaran ekslusif pada agamanya merupakan jalan kepada kedalaman spiritual?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut butuh melihat genealogi tempat dan doktrin para pemeluk agama. Jika suatu pemeluk agama berada pada masyarakat majemuk bisakah dia menerima?
Jika tidak, kemungkinan alasan yang muncul bahwa dunia (Islam) akan menjadi lebih baik jika tanpa keberadaan agama lain. Ini menjadi semacam ketidaksingkronan teologi dan norma sosial agama yang menancap di tubuh sebagaian pemeluk agama di Indonesia.
Tetapi jika penganut agama berada pada suatu komunitas yang memeluk ajaran agama yang sama, ini tidak menjadi masalah. Masalah, bilamana mereka berada di luar komunitas yang kemudian menyalahkan penganut yang lian.
Kalau merujuk pada teks Al-Quran, keragaman adalah menjadi sunnatullah. Sudut pandang diri (self) dan lain (the other) harus dijadikan satu kaitan yang saling melihat dunianya. Maksudnya, melihat diri juga harus melihat kaitan orang lain dan melihat yang lain juga melihat dalam siaran keberadaan dirinya.
Ini yang harus ditemukan adalah titik temu antara keduanya. Sebab, perbedaan sering dijadikan justifikasi dari status quo dalam ranah teologis. Mungkin bukan karena dari segi pengetahuan, melaikan karena pesan-pesan Islam yang bernilai luhur jarang sekali dihayati.
Fenomena itu juga terjadi sejak tahun silam. Kalau kita tilik sejarah, begitu banyak perbedaan dijadikan argumen konflik. Nah, disini penting untuk merumuskan dengan jelas dan tajam untuk melihat cita-cita kedamaian kemanusiaan oleh para agamawan/otoritas di Indonesia. Termasuk juga pandangan dari kacamata penguasa.
Tanpa melihat dua sisi itu, Islam kadang dijadikan sebagai pakaian luar untuk menyelimuti ambisi-ambisi jahat yang sengaja disembunyikan. Sering, karena umat Islam sebagian belum terdidik secara baik, maka mereka sering dipermainkan oleh politisi atau seseorang yang tidak bertanggungjawab.
Menurut saya, sesungguhnya Islam sudah mengatur bagaimana moral kemanusiaan harus dijadikan laku, pandu dan sandaran hidup. Hal demikian mungkin bisa menjadi kenyataan jika orang mau berangkat dari etika Al-Quran.
Dalam Al-Quran pada surah al-Hujarat [49]: 10,13 dan 15; al-Nisa [4]: 58; an-Nahl [16]: 90; al-Maidah [5]: 8; dan lainnya—yang kesemuanya—mengemukakan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, toleran, persaudaraan, yang harus dijadikan landasan utama bagi umat Islam. Bisa diterapkan kalau didukung oleh orang-orang yang punya kapasitas tinggi dan sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Dengan itu, kita harus/bisa menegosasikan ulang langkah kita melihat semua apa yang bias diambil dari dasar keberagama-kemanusiaan di atas agama dan kebijakan.
Yang harus diambil adalah belajar memahami persamaan dan mendalami pesan Al-Quran secara jujur dan bertanggungjawab. Kalau itu bisa dilaksanakan, kita bukan hanya hidup pada tataran sinar kehidupan dengan ruh Al-Quran, melainkan juga ruh kehidupan sosial yang bernama Bangsa Indonesia. Itu.
Selengkapnya baca di I