Dalam kata pengantar buku Interaksi Islam (2024), saya menulis begini (kalimat terakhir paragraf pertama): “Islam yang kita saksikan saat ini merupakan hasil dari interaksi dan pergumulan yang melibatkan beragam penafsiran yang dipromosikan, dinegosiasikan, diperdebatkan, dan akhirnya terbentuk sebagai sistem keimanan yang terus berkembang dan berubah dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda.”

Salah satu cara memahami kalimat di atas ialah dengan melihat bagaimana Islam zaman modern dicoba di-ilmiah-kan, sesuatu yang tak dilakukan ulama terdahulu. Ini bukan soal salah atau benar, tapi menggambarkan bahwa Islam bukan agama statis. Selalu ada pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam mendekati Islam – dan agama apapun – dalam ruang dan waktu berbeda. Seringkali pergeseran itu terjadi sebagai dampak dari interaksi dengan dunia luar yang, bagi sebagian orang, dianggap sebagai musuh.

Mari saya jelaskan poin ini secara detail dengan beberapa ilustrasi. Saya akan memulai dengan biografi Muhammad yang ditulis oleh penulis Mesir Husain Haikal, berjudul Hayatu Muhammad (Kehidupan Muhammad). Buku ini pertama kali terbit tahun 1935, dan sudah dicetak ulang ratusan kali dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia.

Yang unik dari karya Haikal ini ialah metode yang dikembangkan penulisnya dalam menyajikan kehidupan Nabi dengan standar kajian ilmiah (baik dalam pengertian rasional maupun saintifik). Maka, jangan merasa aneh jika Anda menemukan kisah-kisah spektakuler yang tidak masuk akal dipersoalkan dalam buku ini.

Misalnya, kisah Muhammad kecil dibelah dadanya ketika masih berada di bawah asuhan Halimah. Kisah ini disebutkan dalam kitab-kitab sirah (biografi Nabi). Haikal menyebut satu versi kisah tersebut, namun kemudian mempersoalkannya karena tidak masuk akal. Jika manusia dibelah dadanya ya mati, kecuali jika dilakukan oleh bu dokter!

Pada halaman 73, Haikal menulis begini: “(Para orientalis dan pemikir Muslim) menemukan sandaran dari (pendapat) sejarawan Arab dan Muslim ketika mereka menolak hal-hal yang tidak masuk ranah akal terkait kehidupan Nabi yang Arab.” Haikal menjadikan Al-Quran sebagai sumber utama dalam menulis biografi Nabi, dan dia menyadari bahwa Kitab Suci kaum Muslim itu tidak menyebut mukjizat Nabi.

Coba bandingkan dengan cara pandang ulama-ulama terdahulu. Kisah-kisah spektakuler yang tidak masuk akal itu menghiasi setiap lembaran kehidupan Muhammad. Mereka bahkan mengembangkan satu genre tersendiri yang disebut “dala’il al-nubuwwah” (bukti-bukti kenabian) yang berisi kisah-kisah mukjizat Nabi. Mereka menjadikan mukjizat tersebut sebagai bukti bahwa Muhammad adalah nabi.

Di zaman modern yang mengedepankan rasionalitas, keberadaan mukjizat tidak dapat meyakinkan manusia modern. Muhammad perlu dihadirkan (dalam bahasa Haikal) sebagai manusia “yang seluruh kehidupannya merefleksikan kemanusiaan agung, dan dalam menetapkan risalahnya tidak perlu mengacu pada kisah-kisah spektakuler (khawariq) yang dahulu disebutkan” (hal. 73).

Kenapa Haikal menempuh jalan “ilmiah” ini? Dia sedang bergelut dengan kesarjanaan Barat yang sejak abad ke-18 diselimuti oleh gerakan Pencerahan yang mengagungkan akal. Pergulatan Haikal dengan semangat rasionalisme di Barat sangat tampak dalam kata pengantar bukunya. Kendati mengkritik tajam gambaran Muhammad yang disajikan orientalis, Haikal memuji pendekatan saintifik mereka yang dianggapnya “memberi bekal bagi anak-anak Islam dan anak-anak (dunia) Timur untuk melakukan kajian yang diharapkan mencapai kebenaran.”

Maka, dia berungkali menekankan perlunya pembahasan ilmiah (bahts ilmi). Haikal sendiri mewanti-wanti bahwa pendekatannya akan mengagetkan para pembaca. Pendekatan ilmiah, katanya, mengasumsikan peneliti tidak memberi penilaian terlebih dahulu, melainkan “memulai investigasinya dengan observasi, kemudian menguji dengan eksperientasi, komparasi, klasifikasi, dan baru kemudian mengambil konklusi.” Dalam “preface”-nya untuk karya Haikal ini, Syeikh al-Azhar al-Maraghi membenarkan bahwa metode ilmiah bersifat Qurani karena “Al-Quran menjadikan akal sebagai pemutus dan bukti sebagai basis ilmu.”

Apa yang dilakukan Haikal merupakan fenomena yang tidak terisolasi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Haikal menyebut pendahulunya yang melakukan hal serupa, yaitu Muhammad Abduh. Dalam bukunya al-Islam wa al-Nasraniyah ma’a al-‘Ilm wa l-Madaniyah, Abduh mengajukan argumen bahwa Islam merupakan agama paling rasional dan pro-sains, minimal dibandingkan Kristen.

Buku tersebut merupakan kumpulan esai yang merespons pandangan sejarawan dan mantan menteri luar negeri Perancis Hanotaux dan jurnalis Kristen Farah Antun. Polemik antara Abduh dan Hanotaux tidak terbatas pada koleksi esai ini, melainkan juga tersebar di beberapa media lainnya di Mesir waktu itu. Berawal dari dua tulisan Hanotaux tentang Islam yang dimuat di majalah Perancis pada bulan Maret 1900, dan sekitar dua minggu berikutnya versi Arabnya muncul di majalah al-Mu’ayyad di Mesir.

Dalam dua artikelnya, Hanotaux menuduh kaum Muslim kesulitan beradaptasi dengan peradaban modern. Argumennya kurang begitu jelas. Ia mengaitkan keprimitifan Muslim dengan agama dan ras. Dalam responsnya, Abduh memfokuskan pada soal agama dengan menekankan bahwa Islam lebih pro-sains dan pro-penalaran dibandingkan Kristen.

Polemik Abduh-Hanotaux mengundang pro-kontra luas di Mesir, yang melibatkan banyak penulis muda. Poin yang ingin saya sampaikan ialah upaya mengilmiahkan Islam di zaman modern merefleksikan dua hal. Pertama, respons terhadap tuduhan Barat bahwa Islam bukan agama rasional. Kedua, keinginan untuk menyajikan Islam sebagai “agama modern” yang – seperti halnya Kristen – dapat didekati dengan pendekatan saintifik dan rasional.

Polemik Abduh dengan Farah Antun juga menggambarkan dua poin itu. Adalah Rasyid Rida yang mendesak Abduh supaya merespons pandangan Antun. Awalnya, Antun merupakan sahabat karib Rida. Keduanya berasal dari Suriah yang memilih pindah ke Mesir untuk menikmati alam kebebasan di sana saat itu. Mereka berangkat bareng naik kapal menuju Alexandria. Sementara Antun yang Kristen menetap di Alexandria, Rida yang Muslim berlanjut ke Kairo untuk berguru ke Abduh. Di Alexandria, Antun menerbitkan jurnal al-Jami’ah, di Kairo Rida menerbitkan jurnal al-Manar.

Antun tergolong jurnalis Kristen yang “liberal”. Dia sangat mengagumi kajian historis sejarawan Perancis Ernest Renan tentang Yesus historis, berjudul Vie de Jesus. Buku Renan diterjemahkan ke bahasa Arab dan dimuat berseri di jurnalnya. Yang membuat hubungan Antun-Rida retak ialah tulisan Antun tentang Ibnu Rusyd di mana dia berargumen bahwa (saya kira dia benar!) pandangan ulama ortodoks telah menghambat kebebasan berpikir dalam Islam.

Rida marah dan mendesak Abduh untuk merespons. Rida sendiri melakukan agitasi terhadap Antun, sehingga jurnalnya bangkrut. Kritik keras Rida di antaranya bisa dibaca dalam bukunya Syubuhat al-Nasara wa Hujaj al-Islam, yang juga diangkat dari 16 esai yang diterbitkan di jurnal al-Manar.

Untuk menolak tuduhan Islam ortodoks menghambat penalaran, Rida berupaya sekeras tenaga memperlihatkan Islam sebagai agama paling rasional. Kalau membaca buku ini, saya kira, Anda akan kaget. Demi memperlihatkan Islam sebagai agama paling rasional dan superior, Rida tidak segan-segan mengecilkan peran Nabi Musa (karena diasosiasikan dengan agama Yahudi) dan Isa (diasosiasikan dengan Kristem). Misalnya, dia mempertanyakan peristiwa Musa membelah lautan dengan tongkatnya, walaupun dibenarkan dalam Al-Quran. Kata Rida, apa yang dilakukan Musa itu bukan hal luar biasa. Musa dan pengikutnya menyeberang lautan ketika air surut, hal yang juga bisa dilakukan orang lain seperti Napoleon Bonaparte!

Lihat betapa rasionalnya Rida! Mukjizat Musa membelah laut dipahami sebagai peristiwa alami. Seolah-olah Rida sedang menawarkan penjelasan saintifik tentang peristiwa eksodus yang digambarkan Alkitab dan Al-Quran sebagai mukjizat. Tapi jangan salah! Jangan mengira Rida adalah seorang rasionalis sejati. Dia tampil sebagai rasionalis semata untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad lebih unggul dari Nabi Musa dan Isa.

Salah satu “trope” yang digunakan polemikus seperti Rasyid Rida ialah meneguhkan rasionalitas Islam sembari menyerang ajaran agama lain – dalam hal ini, Kristen – sebagai tidak masuk akal dan inkoheren. Saya menjadikan buku Rida ini sebagai bacaan di kelas “Islam and Christian-Muslim Relations” dan memantik diskusi menarik dari mahasiswa-mahasiswa saya yang umumnya beragama Kristen. Sebagai respons atas tuduhan irasional, Islam malah ditampilkan Rida sebagai agama paling rasional dan cocok dengan sains.

Dari beberapa ilustrasi di atas, saya ingin mengatakan bahwa “saintifikasi Islam” (supaya lebih keren dari “mengilmiahkan Islam”) muncul dalam konteks pergumulan dengan peradaban modern, terutama pengaruh dari para pemikir Pencerahan. Saya kira bukan kebetulan bahwa Rasyid Rida menamai jurnalnya dengan “al-Manar”, yang berarti “mencusuar” yang menggambarkan sinar cerah (Pencerahan). Masa-masa di mana Rasyid Rida, Abduh dan Haikal hidup dikategorikan Albert Hourani sebagai “zaman liberal dunia Arab” (Lihat, Arabic Thought in the Liberal Age).

Itulah zaman di mana, kata Hourani, para pemikir Arab terkesima dengan ide-ide dan peradaban Barat. Pengaruh pemikiran Pencerahan cukup dominan. Bahkan orang yang kritis terhadap Barat, seperti Rida, bermaksud menampilkan Islam yang tercerahkan agar bisa diterima di Barat. Kita perlu tahu genealogi pengetahuan (wah istilah keren sekali ini, mengingatkan pada Genealogy of Knowledge-nya Foucault) seperti ini agar mengerti duduk persoalan. Saya sarankan baca karya Hourani itu dan juga kritik Hourani terhadap bukunya sendiri.

Tanpa mengerti konteks “saintifikasi Islam”, jangan-jangan kita malah bersikap lebih Barat dari Barat sendiri, padahal kita berkoar-koar anti Barat. Pertanyaannya sekarang: “Barat” yang mana? Saya lahir di sebuah desa bernama “Bataal Barat.”

Komentar