Dalam edisi editorial Harakatuna, Menunggu Dampak Positif Transisi Pemerintahan Baru Untuk Penanganan Terorisme, memiliki harapan bahwa Pancasila akan terus berkibar, Bhinneka Tunggal Ika tak terluka, dan radikalisme dan terorisme menghilang dari Indonesia. Setidaknya, hal itu terlihat dari kesiapan Prabowo membuat program yang matang untuk pemerintahan yang maju mengglobal bebas polusi terorisme.
Lanskap Politik Mutakhir
Mungkinkah peralihan pemerintahan baru, Prabowo-Gibran, berdampak baik bagi pemberantasan paham radikalisme dan terorisme? Sebelum menjawab ini, mari kita lihat dulu lanskap politik Indonesia. Selama ini, Presiden Joko Widodo optimistis transisi kepemimpinan nasional yang akan berlangsung pada 20 Oktober 2024 akan berjalan dengan baik. Selain kepentingan untuk anaknya, ia juga setidaknya ingin menjaga stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.
Meski di dalamnya terdapat intrik politik, mulai sengkarut hubungan Prabowo dengan partai besutan Surya Dharma Paloh yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem), jalan maju-mundur bergabungnya partai PDIP, hingga pergantian kepala BIN dari Budi Gunawan ke Herindra. Semua fakta ini menyiratkan bahwa transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo tidak terlalu mulus jika diulik secara mendalam.
Namun dari luar tampak langsing dan tirus. Bahkan Kepala Negara tak henti-hentinya selalu menyatakan bahwa transisi pemerintahan kali ini telah berjalan dengan baik. Bahkan Malaysia diklaim iri dan sebagainya. Hal itu berkaitan dengan rencana-rencana program unggulan yang akan dilaksanakan oleh Presiden Prabowo beserta para menterinya di masa pemerintahan mendatang.
Kembali ke pertanyaan, mampukah pemerintahan Prabobowo ngatasi terorisme? Pada suatu kesempatan dalam Dialog Publik PP Muhammaddiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat, 24 November 2023, Prabowo pernah menyampaikan bahwa radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tumbuh subur saat rakyat putus asa dan kehilangan harapan mengenai masa depan. Prabowo melihat, para penghasut lebih mudah memengaruhi orang-orang yang tidak punya harapan dan merasa diperlakukan dengan tidak adil. “Itu adalah lahan subur untuk terorisme, radikalisme, dan ekstremisme. Itu keyakinan saya”. Rekaman ini masih bisa dilihat di kanal YouTube PP Muhammadiyah.
Mengatasi Radikalisme-Terorisme Ala Prabowo
Dalam hal mengatasi radikalisme dan terorisme, Prabowo memiliki keyakinan dengan berbagai cara. Pertama, melakukan percepatan transformasi pembangunan. “Kita harus membawa kemakmuran kepada seluruh rakyat kita,” ucapnya. Menurut Prabowo, pembangunan menjadi kata kunci untuk memakmurkan rakyat. Jika rakyat kecil makmur dimungkinkan tidak terjerat masuk dalam perilaku radikalisme dan terorisme.
Cara kedua, dengan menghilangkan kemiskinan. Menurut Prabowo, rakyat tidak boleh menghadapi keadaan kurang makan, tidak punya pekerjaan, dan tidak ada harapan akan masa depaan. “Insya allah kita akan menghilangkan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme kalau kita bisa membawa hasil-hasil yang nyata kepada rakyat kita. Kalau orang-orang yang katakanlah di luar nalar sehat masih mau menimbulkan kekerasan, itu namanya sudah kriminal, harus dihadapi dengan penegakan hukum yang tegas,” ujarnya.
Prabowo melihat, dengan hilangnya kemiskinan dari muka bumi Indonesia, atau makmurnya masyarakat, akan hilang juga masalah-masalah seperti radikalisme dan terorirme yang akan ditimbulkan oleh rakyat Indonesia. Karena itu, Prabowo mengatakan masalah radikalisme dan terorisme tidak akan muncul ketika kondisi rakyat sudah makmur, tidak ada kelaparan dan keputusasaan, serta pekerjaan mudah didapatkan.
Tambahan Untuk Prabowo
Namun demikian, penyebab radikalisme tidak sekadar faktor ekonomi. Ada hal lain yang selama ini menjadi momok menyeramkan mengapa seseorang menjadi martir teroris. Penjelasan singkat, orang menjadi teroris karena faktor pemikiran, politik, psikologis, pendidikan, sosial, keagamaan dan masih banyak lagi. Radikalisme-terorisme muncul dan berkembang lewat mana saja, bukan hanya persoalan ekonomi. Sebab, nyatanya banyak orang kaya malah terlibat radikalisme dan terorisme seperti teroris suami-istri dan anak di Surabaya. Mereka memiliki perekonomian dan pendidikan yang mapan, tetapi karena doktrin agama, ia menjadi pembunuh yang paling mematikan.
Belum lagi para residivis terorisme masih menjadi ancaman dengan melakukan aksi teror kembali, seperti yang terjadi pada peristiwa bom Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, 7 Desember 2022. Padahal mereka sudah kaya dan memiliki pendidikan yang mapan. Jadi sekali lagi, bukan alasan ekonomi orang menjadi teroris.
Hari ini, berdasarkan data The Global Terrorism Index 2024 yang dikeluarkan Institute for Economics and Peace (IEP), Indonesia berada di peringkat ke-31. Ini artinya, tantangan pemerintahan Prabowo dalam pemberantasan radikalisme-terorisme masih panjang.
Ada tren terorisme bermain di dalam siber, dunia digital. Mereka memanfaatkan digital baik perekrutan maupun pendanaan terorisme. Terbaru, propaganda terorisme melalui gim video, yakni berupa bendera ISIS. Jadi, melihat tren perkembangan dunia radikalisme dan terorisme ini, Pak Prabowo harus meningkatkan lagi cara, strategi dan taktik dalam penanganannya. Saya rasa, potensi munculnya ideologi-ideologi baru terkait jihadisme-radikalisme-terorisme di Indonesia masih panjang. Itu.