Membaca postingan IG Kalis Mardiasih hari ini membuat makan siang saya sedikit terhenti. Tulisan yang menyoal tentang kasus bullying dan kekerasan seksual di pondok pesantren. Selesai membaca, nasi yang tinggal dua kali suapan itu saya tuntaskan segera. Dua kasus ini melulu menjadi trending dan momok bagi dunia pendidikan khususnya. Ribuan seminar, konferensi, sosialisasi bak pemanis saja. Selesai satu kasus, ribuan kasus sudah mengantri di belakangnya.

Seperti halnya kasus bullying pada bulan Februari 2024. Kejadian di Kediri, Jawa Timur. Seorang santri berinisial B (14 tahun) harus meregang nyawa karena dianiaya oleh seniornya. Parahnya lagi pondok pesantren tersebut tidak mengantongi izin resmi dari Kemenag. Yang terbaru pada tanggal 17 September 2024, seorang santri berusia 13 tahun meninggal karena ulah seniornya di salah satu pondok di Sukoharjo, Jawa Tengah (Tempo, 2024). Korban menghembuskan nafas terakhirnya karena luka yang diderita olehnya.

Dari dua kasus di atas, kasus bullying biasanya diikuti oleh kekerasan. Jika merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan amandemennya menetapkan bahwa bullying adalah tindakan  kriminal.  Menurut  Pasal  76C  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun 2014,  segala  bentuk kekerasan  terhadap  anak  dilarang  keras.  Pelanggaran  terhadap  ketentuan  ini  dapat  dikenai  hukuman penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 72 juta. Jika tindakan kekerasan tersebut menyebabkan  luka  berat  pada  anak,  pelaku  dapat  menghadapi  hukuman  penjara  hingga  5  tahun dan/atau  denda  maksimal  Rp  100  juta.  Apabila  kekerasan  tersebut  berujung  pada  kematian  anak, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp 3 miliar.

Kasus kekerasan seksual pun berjalan seirama dengan kasus bullying. Masih ingat dengan kasus yang menimpa 13 santriwati pondok pesantren di Bandung? Kasus kekerasan seksual yang terungkap pada 2021 ini berakhir dengan hukuman mati bagi pelaku yang tak lain adalah pengasuhnya sendiri yaitu HW. Hukuman mati diberikan dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022 dan dipertegas oleh MA setelah menolak kasasi yang diajukan oleh pelaku.

Komnas perempuan mengapresiasi sikap yang diambil oleh MA. Bukan karena apa, selain trauma yang mendalam bagi korban, pelaku juga mengakibatkan sembilan bayi lahir dari perilaku bejat ini. Oleh karena itu, hak restitusi korban juga berlaku. Dari hak perawatan dan pengasuhan anak. Biaya dari restitusi ini akan digunakan untuk pemenuhan biaya hidup anak-anak dan biaya pendidikan mereka hingga dewasa nanti. Putusan ini sejalan dengan amanat RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu.

Dari banyaknya kasus mengenai bullying dan kekerasan seksual, seharusnya menjadi pemicu bagi pondok pesantren untuk lebih baik lagi dalam upaya preventif kasus bullying dan kasus kekerasan seksual. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama; membentuk satuan tugas khusus. Anggotanya bisa dari berbagai unsur, dari para ustaz, pengurus santri, dan perwakilan dari setiap angkatan. Dari satgas inilah, sosialisasi digalakkan di setiap event yang ada di pondok tersebut.

Kedua; jenis hukuman bagi pelaku. Jika kasusnya masih tergolong ringan, hukuman yang masih bersifat fisik, sebaiknya diganti dengan pelaku menjadi duta kasus tersebut. Tentu sebelumnya pihak orangtua dilibatkan dalam upaya menyadarkan pelaku agar bisa berubah. Keterlibatan orangtua bisa menjadi kekuatan untuk menumbuhkan kesadaran pelaku bahwa perilakunya tidak dibenarkan. Ketiga; aturan yang tegas dan jelas dari pengasuh. Peran pengasuh tidak bisa dianggap sebelah mata. Bagi mayoritas pondok pesantren, takdzim kepada Kyai wajib hukumnya. Jika dari atas sudah jelas aturannya maka akan memudahkan yang bawah untuk mengikutinya.

Keempat; monitoring berkala dari Kemenag. Dari kasus yang penulis sebutkan di atas, pondok pesantren di Kediri dan Bandung ternyata masih belum mengantongi izin dari Kemenag. Seperti banyak kasus yang terjadi, pihak terkait akan bergerak jika kasus viral terlebih dahulu. Kemenag harus proaktif dalam mendata pondok pesantren yang ada di bawah kewenangannya. Dari pondok pesantren yang masih skala kecil hingga pondok pesantren yang mempunyai ribuan santri. Monitoring ini berfungsi untuk mencegah kyai atau ustaz gadungan mendirikan pondok pesantren abal-abal.

Semoga pada hari santri yang jatuh pada 22 Oktober 2024 ini, pondok pesantren bisa berbenah dan terbuka untuk semua kalangan. Orangtua yang menitipkan anaknya di pondok bisa tenang dan ikhlas sepenuhnya. Tidak ada keraguan dan pertentangan sedikitpun. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama harus menjaga marwahnya. Bisa menjadi role model yang ideal dalam melahirkan calon santri yang tafakkahu fiiddin. Amin.

Komentar