Sejak pertama kali muncul di Wuhan, Cina pada akhir 2019, kini virus bernama Korona (Covid-19) ini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan berbagai varian kasus dan korban. Virus yang hingga kini belum ada vaksinnya ini telah berhasil ‘memaksa’ terjadinya perubahan besar dalam tatanan hidup umat manusia. Baik secara ekonomi, sosial-budaya, politik, hingga keagamaan.
Penyebarannya yang sangat cepat dan tanpa bisa diprediksi, telah memicu munculnya berbagai kebijakan yang cenderung reaktif-temporal. Seperti lockdown maupun pembatasan sosial (social distancing). Akibatnya, implementasi dari kebijakan tersebut justru memunculkan persoalan baru. Ancaman krisis ekonomi, politik dan sosial-budaya pun menjadi sangat terbuka.
Secara ekonomi, tentu sangat tidak mungkin jika negara (dalam jangka waktu yang tidak pasti) terus dituntut untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak pandemi. Sementara kebijakan pembatasan sosial tentu berpengaruh pada tingkat produksi dan pendapatan masyarakat maupun negara. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka stabilitas ekonomi dan politik menjadi taruhannya. Secara sosial-budaya situasi ini pun telah berdampak pada meningkatnya tindak kriminal. Hingga menggerus tingkat sensitiftas dan kohesivitas sosial. Kultur trust masyarakat semakin menurun, baik secara vertikal (kepada pemerintah) maupun secara horizontal (antara warga). Jika terus dibiarkan, maka potensi terjadinya social-chaos dalam skala besar tak dapat dihindarkan.
Sebagai indikator awal atas prediksi tersebut adalah munculnya ungkapan, #IndonesiaTerserah. Sebuah ungkapan akibat dari tidak adanya ‘ketidakpastian’ yang memicu rasa jenuh. Orang menjadi cenderung abai dan “seenaknya” terhadap berbagai kebijakan dan himbauan. Kesadaran dan kepercayaan bersama akan bahaya pandemi menjadi pudar. Haruskah kita mencari siapa yang (di)salah(kan)? Masyarakat atau pengambil kebijakan? Tentu bukanlah saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Evaluasi dan terobosan baru harus segera disiapkan. Sebab pandemi masih berlangsung.
Mengembalikan Trust
Indonesia, secara geografis adalah negara yang sangat luas. Kultur dan struktur sosialnya pun beragam. Tetapi, kebijakan berbasis dan berorientasi ekonomi tampak lebih dominan dibanding sektor yang lain dalam penanganan pandemi. Dimensi yang seharusnya menjadi pendukung, seolah dijadikan sebagai basis utama gerakan penanganan.
Akibatnya, respons masyarakat pun cenderung reaktif dan temporal. Menggantungkan hidup pada subsidi dan bantuan sosial. Kesadaran untuk saling mensubsidi dan membantu, meskipun ada tetapi tergolong masih kecil. Maka tidak heran, saat subsidi dan bantuan dialirkan keributan pun bermunculan. Semua merasa berhak mendapatkan. Semua mengklaim terdampak pandemi hingga merasa paling layak ‘disantuni’. Tidak sedikit yang sampai berebut bantuan hingga mengabaikan protokol kesehatan yang seharusnya menjadi pedoman. Bahkan, tidak sedikit pula pihak yang malah memanfaatkan situasi demi meraih keuntungan pribadi, dari segi ekonomi, politik hingga popularitas.
Hal tersebut, cukup menjadi bukti bahwa kultur trust di tengah masyarakat secara perlahan telah mulai luntur. Kepedulian dan kedermawanan (meski tidak semua) masih sebatas menjadi jargon dan gerakan simbolis-formalistik. Belum menyentuh pada level kesadaran bersama (collective awareness). Padahal semua pihak tentu memiliki tujuan yang sama, ingin pandemi segera berakhir. Untuk itu, diperlukan upaya sinergi untuk menumbuhkan trust dalam gerakan bersama ini. Saatnya semua pihak harus saling menumbuhkan keyakinan untuk berkontribusi sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Tidak melulu harus pada sektor ekonomi.
Sejarahnya kemerdekaan bangsa Indonesia telah cukup menjadi bukti, bahwa keberhasilan bangsa ini bukan hanya atas peran ‘penguasa’ sumber daya ekonomi. Semua unsur memiliki peran yang tidak bisa dinafikan. Trust menjadi kunci atas keberhasilan perjuangan ini. Untuk dapat kembali memunculkan kultur trust tersebut, patut dipikirkan langkah alternatif, yang berasal dari spirit dan karakter bangsa Indonesia.
Mengembalikan Spirit Agama
Indonesia bukanlah negara agama. Bukan pula negara sekuler. Tetapi agama telah dan akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Maka dari sinilah, perlu kiranya kita menggunakan spirit agama sebagai langkah alternatif menangani pandemi.
Sejak muncul kebijakan social distancing, peran agama seolah ‘ter(di)lupakan’. Berbagai praktik keberagamaan justru kontra-profuktif. Bahkan dalam banyak kasus menjadi media penyebaran virus. Akibatnya, tidak sedikit dari institusi keagamaan yang justru harus ditutup dari berbagai aktifitas. Terutama melibatkan massa dalam jumlah besar. Situasi ini turut menambah suasana kepanikan.
Untuk itulah, spirit agama sebagai faktor penggerak perubahan sosial harus kembali ‘digerakkan’. Agama dalam situasi masyarakat yang panik, harus kembali diposisikan sebagai katalisator gerakan perubahan. Caranya dengan kembali mengoptimalkan fungsi berbagai institusi agama sebagai agen pendidik (pemberi pengetahuan) sekaligus pengontrol masyarakat. Sehingga institusi agama dapat kembali membangun kultur trust masyarakat. Caranya dengan menciptakan suasana sama-sama belajar (bukan menggurui) atas sesuatu yang baru, yaitu Covid-19. Tidak hanya menggali informasi dari sisi teks suci (dalil naqli), tetapi juga merefleksikan realitas yang sedang terjadi (dalil aqli). Sehingga muncul pemahaman bersama untuk selanjutnya diaplikasikan menjadi tindakan nyata.
Jika pola tersebut dapat diwujudkan, maka di tengah situasi yang penuh kepanikan, kebosanan dan ketidakpastian akibat pandemi, maka gerakan berbasis keagamaan dapat menjadi alternatif dalam menyambut new normal dengan penuh optimisme. Meski terminologi new normal ini pun lahir dari konteks (krisis) ekonomi, tetapi orientasi di masa pandemi ini bisa digerakkan ke arah yang lebih komprehensif, termasuk dimensi keagamaan. Menjadikan agama sebagai katalisator gerakan, bukan berarti kembali membuka (tanpa mempertimbangkan protokol kesehatan) tetapi menggerakan kembali spirit agama untuk proses pembelajaran menyikapi pandemi.
Dengan kata lain, kini saatnya tempat ibadah atau institusi keagamaan lainnya, harus difungsikan sebagai ruang pembelajaran sekaligus kontrol pelaksanaan new normal. Para pemuka agama harus diberikan bekal terlebih dahulu tentang protokol standar kesehatan. Setelah itu, merekalah nantinya yang akan menjadi agen dalam menciptakan ruang dan habitus baru bagi kehidupan masyarakat.
Sehingga, agama dapat menjadi garda terdepan menyambut new normal. Sebuah kondisi yang harus dimaknai bukan semata sebagai hal yang sama sekali baru, tetapi upaya kontekstualisasi atas tradisi lama yang baik (menjaga kebersihan, kesucian, kebersamaan, dan kemaslahatan bersama), yang sempat terlupakan, dalam kondisi kekinian.