Islamsantun.org – Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, berpesan kepada masyarakat Indonesia agar jangan sampai bermain dan menjadi korban politik identitas atau politisasi agama. Pasalnya, politik identitas berbahaya karena dapat menimbulkan perpecahan dan friksi di masyarakat.
Tidak hanya Presiden Joko Widodo, sejumlah menteri seperti Menko Polhukam Mahfud MD juga mewanti-wanti agar masyarakat tidak terjebak dengan politisasi agama yang saling menjatuhkan, menjelekkan, dan membasmi pihak lain (detik/1/3/2023). Bahkan Dewan Pers pun turut menyemarakkannya dengan mengeluarkan pedoman pemberitaan isu keberagaman sebagai bentuk pencegahan menguatnya politik identitas di media massa jelang Pemilu 2024 (Antaranews, 18-1-2023).
Bukan Culture War
Pelarangan memainkan politisasi agama bukan bentuk culture war terhadap Islam. Sebab, kandidat di partai-partai politik di Indonesia tidak ada yang membenci sedikitpun terhadap Islam. Malahan, mereka semua sangat cinta terhadap Islam dengan bukti selain ia memeluk agama Islam, ia juga sering membantu aktivitas dan kegiatan yang diadakan orang Islam.
Isu politisasi agama bukan isapan jempul belaka. Ia ada dan sering dimainkan oleh sebagian partai dalam memperebutkan kekuasaan. Isu politisasi agama bukan hanya ditujukan kepada Anies Baswedan karena telah terbukti memainkan politik identitas di Pilkada 2017. Namun ia peringatan keras terhadap partai politik atau persons yang bakal berlaga di pemilu 2024.
Mengapa ini bisa dianggap sebagai peringatan keras? Karena timbulnya politisasi agama akan menghancurkan integritas umat yang telah lama dibangun oleh para pendiri bangsa Indonesia (Amy Gutmann, 2003). Ini juga bisa menghancurkan ragam kekayaan baik etnik, suku, adat istiadat, bahasa dan agama di Indonesia. Pada gilirannya, ia mengantarkan polarisasi di tengah masyarakat dan memungkinkan terjadinya perang budaya dan sosial.
Bukan Memerangi Islam
Mengingatkan politisasi agama bukan untuk memerangi umat Islam. Ini bukan pula agenda global Barat, yang aktivis khilafah mengecap mereka sebagai negara kapitalis sekuler. Bukan. Tapi ini untuk antisipasi terjadinya permusuhan di antara anak semua bangsa. Memperebutkan kekuasaan sesaat tidak perlu adanya politisasi agama seperti di Pilkada Jakarta 2017.
Tidak perlu pula menjual fasilitas masjid untuk kepentingan politik partisan. Masjid dan mimbar keagamaan lainnya harus dijauhkan dari politisasi untuk kepentingan politik praktis. Agama dan masjid tidak boleh dijadikan sebagai alat menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam (Sumanto Al-Qurtuby, 2018).
Fitnah atas nama dampaknya begitu mengerikan. Agama di-framing sedemikian rupa sehingga menyulut perilaku radikal. Dampaknya seperti apa yang kita lihat dua dekade ini, yakni Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), Bom Ritz Carlton (2009), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Mapolresta Solo (2016), Bom Kampung Melayu (2017), serta Bom Surabaya dan Sidoarjo (2018). Ini adalah bentuk kejahatan teroris yang mengatasnamakan ajaran agama Islam.
Menghentikan Politisasi Agama
Politisasi agama adalah bentuk kejahatan. Siapa yang menjalaknkan politik ini biasanya akibat miskin strategi dan memiliki rasa was-was atas ketidakmampuan mengolah image diri. Bisa dibilang kurang percaya diri. Mereka hanya ingin menang dengan menjual agama. Siapa yang kurang percaya diri akibat belum bisa memantaskan diri alias tidak tahu diri.
Demokrasi adalah adalah mimpi buruk bagi aktivis politik yang selalu melakukan politisasi agama. Karena itu sudah sebaiknya politisasi agama tidak diberikan ruang gerak dalam kontestasi politik 2024 ini. Kendati sudah saatnya kita menghentikan politisasi agama menjelang pemilu 2024.