Apa yang pertama kali terlintas ketika mendengar kata kematian? Sebagian dari kita akan menjawab takut, seram, menyedihkan, mencekam, dll. Itulah kesan pertama saya ketika mengetahui drama korea “Move to Heaven (MtH)” yang mengangkat tema kematian.

Serial Netflix dengan jumlah sepuluh episode ini berhasil menyadarkan saya sisi lain dari kematian, perpisahan dan kenangan. Awalnya saya mengira film ini layaknya film detektif yang menganalisis sebab kematian seseorang. Ternyata dugaan saya salah, melalui pekerjaan membersihkan tempat kematian yang dianggap tidak wajar, kita bisa mengetahui pesan apa yang ingin disampaikan oleh sang jenazah kepada mereka yang masih hidup. Saya tak akan menulis sinopsis drama ini, silakan Anda tonton sendiri bagi yang berminat.

Hanya saja, semakin kesini saya merasa tema kematian ini kian dekat dengan kehidupan kita. Sebenarnya sebelum pandemi pun kita juga sering mendengar berita kematian. Namun, entah kenapa kabar lelayu di saat pandemi memberi kesan lebih mendalam. Berpisah dengan keluarga, sahabat, tetangga yang beberapa waktu lalu masih sehat dan berinteraksi dengan kita tentu menjadi berita duka yang memilukan.

Nah, dalam drama MtH tersebut, sang sutradara, Kim Sung Ho mengangkat berbagai potret kematian. Ada yang menyakitkan, mengharukan, dan juga membahagiakan. Eh, apakah kematian juga bisa membahagiakan? Tentu bisa. Manakala “pesan” kematian kita bisa ditangkap dengan apik oleh orang di sekitar kita. Anggaplah seperti wasiat kematian.

Memang orang mati tidak bisa berbicara lagi. Tetapi bak pepatah berujar, “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Yap, setiap insan yang berpulang tentu meninggalkan kesan. Ada kesan yang baik dan buruk, atau dalam bahasa agama, husnul khatimah atau su’ul khatimah.

Nah, tugas kita yang hidup adalah mempersiapkan “pesan” kematian apa yang hendak kita tinggalkan pada orang-orang yang hidup. Hidup itu layaknya pazel, sebagai pemain kita perlu menyusun pecahan-pecahan tersebut menjadi satu gambaran yang utuh. Pazel akan berakhir di akhir kehidupan ini.

Pazel tersebut adalah karya-karya pengabdian yang dilakukan sepanjang hayat. Misalnya saja para nakes yang gugur berjuang selama pandemi, mereka sudah meninggalkan kesan yang luar biasa di hati seluruh masyarakat Indonesia; atau para prajurit TNI KRI Nanggala 402 yang tenggelam dalam kesunyian lautan beberapa waktu lalu. Dalam hal inilah, “kematian adalah nikmat” jika meminjam salah satu judul buku Pak Quraish Shihab.

Selain mempersiapkan “pesan” kematian, ada lagi hal yang lebih mengkhawatirkan, yaitu sudah mati sebelum kematian. Sebab mati sejatinya adalah tidak berfungsinya sesuatu sesuai dengan fungsi yang diharapkan darinya. Tanah yang gersang sehingga tidak dapat menumbuhkan tanaman disebut tanah yang mati. Begitu pula manusia yang gagal memanusiakan manusia, sejatinya telah menemukan “kematiannya” sebagai manusia.

Kalau kita merujuk pada Al-Quran, setidaknya ada dua gambaran kematian yang dapat di-tadabburi. Uniknya, dua gambaran kematian ini juga terletak di akhir surat, yaitu surat An-Naba’ dan Al-Fajr.

Pertama, gambaran kematian yang tersirat di akhir surat An-Naba’ adalah kematian yang membawa penyesalan. Orang-orang yang ingkar kepada Tuhan mengatakan, “yaa laitanii kuntu turaaba”, “Duhai, kiranya dahulu aku jadi tanah saja”. Ini gambaran penyesalan, karena gagal mempersiapkan pesan kematian dengan sebaik-baiknya.

Gambaran yang berlawanan dapat kita lihat di akhir surat ke-89. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan pemeliharamu dengan hati yang rela, lagi diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku”. Inilah kematian yang diinginkan oleh semua orang, mati yang meninggalkan cerita baik yang senantiasa dikenang.

Seraya mengucap doa bagi mereka yang saat ini terbaring di rumah sakit, semoga segera diangkat penyakitnya; begitu pun yang sudah mendahului kita, semoga mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Sekarang tibalah saatnya kita juga memikirkan, pesan kematian seperti apa yang ingin kita tinggalkan untuk menuntaskan pazel kehidupan yang disediakan oleh Tuhan. Wallahu a’lam.

Komentar