Akhir tahun ini dunia maya Indonesia dihebohkan dengan perdebatan seputar keadilan sahabat Abu Hurairah. Topik ini sebenarnya sudah selesai dibahas oleh para ulama. Di era modern, kritikus Abu Hurairah diwakilkan oleh Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam dan Abu Rayyah dalam Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah. Keduanya pun sudah mendapat sanggahan keras dari ulama lainnya.
Tulisan sederhana ini tidak akan mengulang pembahasan yang sudah ada. Tetapi mencoba menguraikan mengapa perdebatan ini kembali terjadi dan apa hikmah yang dapat dipetik dari polemik ini.
Sebagaimana disampaikan di awal, topik ini bukan hal baru. Mahasiswa Ulum al-Hadis atau peminat kajian hadis dan sejarah Islam awal, tidak asing dengan diskusi ini. Mengapa topik ini dikaji secara mendalam? Sebab ada kaitannya dengan naqd al-sanad, kritik sanad, yang melibatkan keilmuan al-jarh wa al-ta’dil (penilaian ulama tentang kejelekan dan kebaikan perawi hadis), tarikh al-ruwwah (sejarah periwayat hadis), dll.
Di sinilah letak permasalahannya. Tidak semua pembahasan keagamaan dapat serta merta disampaikan secara publik. Apalagi melalui platform tiktok, yang audiens-nya sebagian besar anak muda dan lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan. Padahal Imam Ali karramallahu wajhah mengatakan: khathib al-nas bi qadri ‘uqulihim, ajaklah manusia berbicara sesuai dengan kadar intelektual mereka. Dalam bahasa Al-Quran, Allah Swt mengutus nabi dan rasul bilisaani qaumihim, sesuai dengan bahasa kaumnya.
Kalaulah topik itu diangkat secara privat dalam kelas Ulum al-Hadis atau Bahtsul Masa`il di pesantren, tentu tidak akan menjadi bola liar. Karenanya dalam berdakwah, salah satu aspek penting adalah memahami sasaran dakwah secara tepat. Sayangnya berdakwah di media sosial mempunyai sasaran yang beragam dan luas, sehingga kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan keagamaan perlu diutamakan.
Meski demikian, nasi sudah menjadi bubur, diskusi sudah terkubur, menyisakan penghakiman hingga babak belur. Namun, polemik ini bisa menjadi titik balik bagi umat Islam untuk membangkitkan kesadaran dalam beragama. Keheranan dan kemarahan sebagian orang terhadap wacana ‘nyeleneh’ yang diangkat ke publik menjadi bukti bahwa selama ini umat belum beragama dengan kesadaran penuh.
Empat Kesadaran Penting
Ada empat kesadaran yang perlu dibangun untuk menjadi umat Islam yang mencerahkan pembawa kesejukan bagi semesta, rahmatan lil ‘alamin.
Pertama, kesadaran humanitas, perlu melihat sahabat dengan pandangan proporsional. Sebab mereka juga manusia, bukan nabi yang terjaga dari dosa (ma’shum). Memang ulama hadis berikutnya memberikan satu kaidah: kullu shahabah udlun, setiap sahabat pasti adil. Sebelum lanjut pembahasan, perlu dipahami bahwa konsep keadilan dalam ilmu hadis bukan sebatas adil yang bermakna sama rata sebagaimana hakim memutuskan perkara. Keadilan dalam kajian periwayat hadis berkaitan dengan integritas, muruah, akhlak, moral seorang perawi hadis.
Ulama sepakat bahwa semua sahabat itu mempunyai integritas yang tinggi. Dalam sejarah, kita pun melihat sosok sahabat yang luar biasa dedikasinya untuk pengembangan dakwah Islam. Namun bukan berarti sahabat itu bebas dari kesalahan.
Ketika turun ayat 82 Surat Al-An’am yang menegaskan bahwa “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk”. Sahabat merasa gusar dan galau. Mereka pun bertanya kepada Nabi, “Siapakah di dunia ini yang tidak pernah melakukan kezaliman?” Sahabat memahami zalim dalam arti kebahasaan, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Hal itu pernah dilakukan oleh sahabat Nabi.
Nabi lantas menjawab bahwa zalim yang dimaksud pada ayat itu adalah kesyirikan sebagaimana yang termaktub dalam Surat Luqman ayat 13. Mendengar hal itu, para sahabat merasa lega. Sebab kalaulah mereka kadang masih melakukan kekhilafan, tetapi tak sekejap mata pun ada hasrat untuk menyekutukan Tuhan.
Dari fragmen kisah itu dapat dipahami bahwa sekelas sahabat yang sangat dekat dengan Nabi pun masih melakukan kesalahan. Hanya saja, self-alarm sahabat dalam melakukan dosa-dosa kecil sangat kuat. Sehingga penyesalan dan pertobatan dari dosa yang dilakukan luar biasa mendalam. Mereka bisa berminggu-minggu salat taubat atas dosa yang ‘mungkin’ oleh orang sekarang dianggap kecil dan biasa saja.
Kesadaran bahwa sahabat juga manusia bukan lantas menyamakan generasi sahabat dengan generasi berikutnya, apalagi manusia modern. Tentu mereka punya keutamaan, terutama karena dekat dengan Nabi dan menjadi saksi sejarah pewahyuan Al-Quran. Namun, poin yang ingin digarisbawahi adalah jangan sampai umat Islam mendewakan sahabat sehingga menutup ruang celah untuk dikaji.
Kedua, kesadaran otentisitas. Perlu dipahami bahwa kajian hadis mempunyai kompleksitas dibanding memahami Al-Quran. Terutama dalam analisis otentisitas. Al-Quran sudah selesai dengan kajian sejarah otentisitasnya. Sebab Al-Quran diriwayatkan secara mutawatir oleh orang banyak dari masa ke masa. Berbeda dengan hadis yang dalam sejarahnya, tidak selalu diriwayatkan secara mutawatir. Bahkan masyhur diketahui, hadis lebih banyak diriwayatkan dengan jalur ahad (tidak sampai derajat mutawatir yang meyakinkan).
Dalam memahami Al-Quran, kita tidak perlu bertanya dulu, apakah ayat ini sahih meyakinkan dari Nabi atau tidak. Namun, dalam memahami hadis, sebelum masuk pada kajian makna hadis, perlu dijelaskan kualitas sanad hadis. Siapa saja yang meriwayatkan, bagaimana kualitas periwayatannya, adakah rawi yang di-jarh atau dikritik oleh ulama hadis, apakah para perawi hadis dari masa ke masa itu dipastikan ketemu secara langsung ataukah ada rangkaian sanad yang terputus karena rawi yang tidak hidup sezaman, dll. Pertanyaan itu perlu dijawab untuk mengukuhkan kualitas sanad hadis, apakah sahih, hasan, dha’if, atau bahkan mau’dhu (palsu).
Jika melihat sejarah, pada perkembangan berikutnya, terutama di masa Muawiyah dan Abbasiyah, untuk mendukung pemerintahan penguasa kala itu, sering diciptakan hadis-hadis palsu. Tujuannya dua: meneguhkan penguasa, menjatuhkan oposisi. Banyak ulama hadis yang menguraikan pembahasan hadis-hadis palsu. Karenanya dalam kajian hadis, dikenal istilah naqd al-hadis (kritik hadis), yang diturunkan menjadi naqd al-sanad (kritik sanad) dan naqd al-matn (kritik matan). Sayangnya, orang sering melihat bahwa istilah kritik pasti bertujuan untuk menjatuhkan hadis dan ini berasal dari kajian orientalis Barat.
Prof. Ali Mustafa Ya’qub, allahu yarham, dalam buku “Kritik Hadis” menegaskan bahwa istilah tersebut bukan berasal dari Barat. Justru lahir dari tradisi intelektual Islam. Misalnya Imam Ibn Abu Hatim al-Razi dalam kitabnya al-Jarh wa al-Ta’dil sudah menyebutkan istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad). Kritik hadis lahir dari upaya untuk menyeleksi mana hadis yang sahih meyakinkan dari Nabi dan mana yang tidak. Jika ingin dikaji lebih lanjut, mengapa ada upaya selektif tersebut? Jawabannya berkaitan dengan kesadaran yang pertama. Bahwa para periwayat hadis juga manusia, yang dalam transmisi hadis bisa melakukan kesalahan, baik tidak disengaja atau pun disengaja dengan tendensi tertentu.
Ketiga, kesadaran historisitas, bahwa sejarah masa lalu tidak selamanya menawan. Jika saja mau membaca buku sejarah Islam dasar yang diajarkan di madrasah, kita akan menemukan satu fragmen kelam sahabat ketika mereka saling berperang. Di antaranya ada perang Shiffin dan perang Jamal.
Dengan kesadaran sejarah tersebut, kita dapat belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena perbedaan pandangan keagamaan, tidak boleh menyebabkan umat terpecah. Terlampau banyak perang yang terjadi di masa lalu. Tentu itu warisan yang tidak boleh dilanggengkan. Sebaliknya dari sejarah kita juga belajar ada banyak ulama yang menghibahkan hidupnya untuk belajar. Mereka mengangkat pena, alih-alih mengangkat senjata. Ini adalah teladan ulama salaf yang perlu dilanjutkan hari ini.
Dalam kajian hadis, analisis sejarah juga penting. Sejarah hidup periwayat hadis, sejarah penggunaan diksi kata dalam satu hadis, hingga sejarah kemunculan hadis di masa Nabi (asbab al-wurud). Sampai di sini, dapat dipahami bahwa belajar hadis itu susah-susah gampang. Karenanya perlu membangun kesadaran yang keempat, yaitu kesadaran intelektualitas. Umat Islam harus menjadi generasi pembelajar. Jangan bangga dan senang karena sudah belajar dari satu kitab, satu guru, satu majelis ilmu saja.
Kembali Belajar Jangan Sambat
Ada satu kisah keteladanan dari seorang ulama hadis yang terkenal susah menyerap ilmu. Ia sudah berkelana ke berbagai pesantren untuk menimba pengetahuan, tapi tak kunjung pintar. Alhasil dia menyerah dan hendak kembali ke kampung halaman. Dalam perjalanan, ia mampir beristirahat ke dalam gua. Ia terpaku dengan aktivitas alam di bawah kuasa Tuhan. Ada air yang terus menetes pada batu yang keras hingga menyebabkan batu itu nyaris berlubang. Padahal air itu sangat lembut, tak berbanding dengan batu yang cadas. Namun konsistensi air, setitik demi setitik, juga akhirnya membuat batu keras tak berkutik.
Melihat hal tersebut, tokoh hadis terkenal ini urung kembali ke kampung. Ia lanjutkan perjalanan mencari ilmu, belajar dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya ia menjadi ulama hadis terkemuka. Dari kisah batu cadas itu, ia pun mendapat gelar Ibn Hajar ‘anak batu’ Al-‘Asqalani.
Sosok Ibn Hajar adalah pembelajar yang tak kenal lelah mencari ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya saat ini, nama dan karyanya selalu disebut dan dibahas dalam kajian-kajian hadis seantero dunia. Jika sekiranya ia tak bertemu dengan ‘batu’ dalam gua dan memilih untuk menyerah, bisa jadi kita tak mengenal sosoknya hari ini.
Kesadaran untuk terus belajar inilah yang perlu ditanamkan. Sebab ilmu Allah amat luas, ibarat samudera yang tiada bertepi. Termasuk dalam kajian hadis, yang menjadi titik tolak tulisan ini. Di balik klaim “ini hadis sahih, ini lemah” yang sering dilontarkan para dai di media sosial hari ini, ada konstruksi keilmuan yang kokoh nan canggih, yang sudah dibahas oleh ulama terdahulu. Ada banyak aspek ilmu hadis yang belum diulas. Lanjutkan dan kembangkan ilmu yang sudah diwariskan oleh para ulama. Jika pada akhirnya kita masih mengulang apa yang sudah dibahas oleh ulama terdahulu, maka kecenderungannya hanya dua: kita terlambat lahir ataukah kita yang sambat untuk berpikir. Wallahu a’lam.