Bagi yang pernah belajar di pesantren, barangkali pernah merasakan sensasi menangis di kamar mandi. Menangis di tengah guyuran air, untuk menyamarkan suara tangisan. Sebab menangis bisa bermacam-macam, bisa karena kangen orang tua, bisa karena uang saku habis tapi kiriman belum datang, bisa juga karena baru saja mendapatkan hukuman akibat pelanggaran yang dilakukan.
Mereka yang pernah nyantri mungkin juga pernah mengalami “pedihnya” kena sakit kulit. Hidup bersama dengan orang sebanyak itu, penyakit kulit sering kali tak terhindarkan. Apalagi kadang ada kebiasan tukar handuk, sarung, baju dll (atas nama pertemanan, kebersamaan, solidaritas). Itu baru sakit kulit, belum sakit-sakit yang lain. Bisa dibayangkan sedang sakit, tapi jauh dari orang tua.
Menurut pengakuan sejumlah kawan, belajar di pesantren awalnya memang tidak mudah, tapi jika sudah terbiasa lama kelamaan akan nyaman-nyaman saja. Mereka yang sebelumnya hidup bersama dengan orang tua harus terpisah dan melakukan segala sesuatunya dengan mandiri. Ditambah jadwal pesantren yang padat dan aturan ketat. Ada sekian kitab yang harus dipelajari, ada banyak ayat dan hadis yang harus dihafal dan ada sejumlah kegiatan yang harus diikuti.
Setahun pertama, masa-masa adaptasi, boleh jadi menjadi masa-masa sulit. Hanya saja, para santri itu lama-lama akan menikmati kehidupan pesantren. Semakin hari mereka akan semakin mengerti bahwa menuntut ilmu itu memang tidak mudah, tidak bisa instan. Butuh kesabaran, keikhlasan, keteguhan dan perjuangan panjang. Masa-masa sulit itu pasti ada, tapi pasti berlalu juga.
Di antara penyumbang keteguhan dan kesabaran mereka dalam menuntut ilmu adalah petuah para guru dan ustadz. Misalnya, saya punya seorang guru yang gemar menyitir ayat tentang keutamaan para penuntut ilmu. Kerap ia sampaikan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Akan mulia hidupnya orang-orang yang terus belajar.
Maka, dalam mengarungi hidup dan belajar di pesantren harus tangguh dan tidak boleh banyak mengeluh. Sebab, suatu ilmu (terutama ilmu agama) harus dipelajari dengan hati-hati, pelan-pelan dan sungguh-sungguh. Itu jika dia benar-benar ingin menguasai ilmu secara utuh. Sudah sungguh-sungguh saja masih ada yang gagal, apalagi jika tidak.
Melihat cara santri belajar agama, tak aneh jika beberapa orang mengeluhkan fenomena beragama di era digital. Sejumlah orang memilih belajar agama secara instan, hanya belajar di internet, tanpa bimbingan guru/ustadz/kiai. Anehnya, mereka merasa sudah mumpuni dalam urusan agama. Merasa lebih santri dari santri.
Padahal, jika dibandingan dengan santri yang belajar bertahun-tahun boleh jadi mereka berjarak jauh sekali dalam hal keilmuan. Hanya saja sosial media dan internet membuat mereka seolah-olah sangat keren. Belum lagi ditambah kemampuan personal branding yang memadai, jadilah mereka “pakarnya pakar”
Sebetulnya, belajar agama di internet tidak sepenuhnya salah. Kita tentu tak menolak kemajuan teknologi. Tapi, jika ingin betul-betul menguasai ilmu agama jangan merasa cukup belajar di internet. Dan jika ilmunya belum cukup, jangan menjadi sok paling tahu. Salah-salah kita bukan menunjukkan “jalan yang benar” tapi malah menjerumuskan.
Pada suatu kesempatan Gus Baha’ pernah mengatakan, belajar agama hanya semata bersandar pada teks itu “mengundang bahaya”. Belajar agama mestinya disertai pembimbing/guru. Agar para pembelajar itu mendapat teladan. Gus Baha’ mencontohkan soal nahi munkar. Menurutnya jika hanya mempelajari teks, bisa saja seseorang menerjemahkan nahi munkar (mencegah kemunkaran) dengan angkat pentungan, sweeping diskotik di bulan puasa dsb. Tapi jika punya guru/kiai, ia akan memiliki teladan tentang bagaimana mengimplementasikan nahi munkar dengan bijak. Teladan dalam menjalankan Islam yang kontekstual.
Apa yang disampaikan Gus Baha’ tentang “jangan hanya mempelajari teks saja” kiranya bisa disamakan dengan “jangan hanya belajar agama dari internet saja”. Ya, yang instan memang menggoda, tapi kebanyakan yang instan-instan juga kurang bagus untuk kesehatan. Betul, Indomie goreng itu memang enak (apalagi ditambah telur, sawi dan rawit), tapi apa iya setiap hari kita akan makan Indomie goreng?
Akhirul kalam, semoga kita bisa menjadi pembelajar sepanjang hayat. Doa terbaik untuk guru-guru kita.